“TEKNOLOGI RUH”: ALAT PEMBUKTIAN HIPOTESA RELIJIUS

Jurnal Suficademic | Artikel No.43 | April 2023

“TEKNOLOGI RUH”: ALAT PEMBUKTIAN HIPOTESA RELIJIUS
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Ketika Anda mengatakan: “Saya percaya bahwa Allah itu ada”. Itu adalah pernyataan iman, kepercayaan atau dalam bahasa riset ilmiah disebut “hipotesa”; bahwa Allah itu (diduga) ada. Semua manusia lahir dalam keadaan fitrah, punya insting atau feeling tentang ketuhanan. Jadi, sejak awal, manusia sudah punya konsep dan rasa percaya bahwa Tuhan itu ada.

Hanya saja, karena tidak tau Allah ada dimana dan tidak pernah dijumpai selama hidupnya, ia menjadi ragu. Bahkan tidak sedikit yang meninggalkan keyakinan itu dengan menjadi ateis. Sebagian lain meneruskan untuk tetap yakin-yakin saja. Tetapi tidak mau meng-upgrade keimanan melalui proses pembuktian. Mereka memilih taklid secara buta. Tanpa mau menggunakan potensi kemanusiaannya untuk mengobservasi keberadaan hakiki dari Allah SWT.


Pertanyaannya, “Apakah Tuhan/Allah itu betulan ada?” inilah yang harus dibuktikan.

“Saya percaya bahwa Allah itu ada”; dalam skripsi, tesis atau disertasi, pernyataan seperti ini dapat ditemukan di akhir Bab 2. Bab ini berisi konsep, dalil (aqli atau naqli), hukum, teori atau argumentasi. Di ujung semua landasan teoritis ini dicantumkan sebuah pernyataan “kepercayaan” terhadap sesuatu yang menjadi inti pertanyaan. Itulah “hipotesis”. Jadi, manusia secara alamiah sudah membangun konsep berfikir sejak awal, sesederhana apapun itu, sebelum dilacak kebenarannya. Itulah kenapa perlu ada kerangka teoritis di Bab 2 dalam sebuah riset ilmiah.

Namun sebelumnya, di Bab 1, manusia sebagai makhluk inderawi juga telah melihat apa yang terjadi di alam semesta. Banyak hal aneh terjadi. Sehingga memunculkan rasa penasaran untuk diketahui sebab musababnya. Semua fenomena pasti ada sebab atau akibatnya. Manusia ingin tau berbagai kekuatan (variabel) yang bermain di balik itu. Manusia ingin tau apa wujud (penyebab) di belakang semua maujud (kejadian/akibat). Ataupun, apa akibat (maujud) dari fenomena sebuah wujud.

Dalam bahasa ilmiah kenabian, Bab 1 ini disebut “paradigma tauhid”. Manusia ingin membangun link, antara masalah yang dilihat dengan misteri dibalik itu. Manusia secara alamiah ingin membuktikan “kesatuan wujud”, antara Y dengan berbagai variabel X pendukungnya. Antara sesuatu dengan lainnya pasti ada hubungan. Tidak mungkin sesuatu berdiri sendiri tanpa ada hubungan, pengaruh atau ketergantungan. Itu konsepsi tauhid. Segala sesuatu di alam semesta saling terkait. Antar fenomena dengan numena, itu menyatu. Keseluruhan yang ada itu sebenarnya “satu”, ahad, tunggal, atau manunggal melalui wasilah (faktor/variabel) tertentu.

BACA: “Ontologi Tauhid: Membangun Paradigma Sufistik dalam Riset Saintifik”

Jadi, Bab 1 dalam fenomena ilmiah berisi “Paradigma Tauhid”. Belakangan dinamakan “Pendahuluan”. Sedangkan Bab 2, awalnya bernama “syariat”. Isinya bangunan konsep, hukum, argumentasi, definisi, premis, aksioma, proposisi, atau dalil-dalil (naqliyah dan aqliyah); yang di ujungnya dikunci dengan “hipotesis”. Dalam hal ini, hipotesanya adalah “Saya percaya bahwa Tuhan itu ada” (Ha, Hipotesis Alternatif). Kalau anda seorang ateis, tinggal tambah satu lagi hipotesisnya: “Saya tidak percaya bahwa Tuhan itu ada” (Ho, Hipotesis Null). Kalimat tauhid adalah pernyataan negasi dan afirmasi, gabungan dua hipotesis ini. “Tidak ada Tuhan (null), selain Allah (alternatif)”.

Dalam kenyataannya, kepercayaan kepada ada/tidak adanya Tuhan menjadi primary hypothesis atau main belief. Semua manusia di muka bumi punya hipotesa ini dalam benaknya. Hipotesa inilah yang melahirkan agama. Agama adalah “kepercayaan” atau “keyakinan” kepada adanya Tuhan (yang kemudian dalam dalil naqli/kitab suci kita disebut namanya sebagai “Allah”).

Metode (tarikah) apa yang harus ditempuh atau digunakan untuk membuktikan bahwa “Allah itu Ada”?

Langkah selanjutnya dalam metode ilmiah adalah membuktikan, apakah hipotesis di atas bernilai benar atau salah. Kita harus membangun epistemologi untuk mencapai kebenaran. Harus ada alat, mekanisme kerja, teknik pengukuran, jenis data, dan metode analisis untuk memperoleh pengetahuan tentang itu. Ini semua dijelaskan dalam Bab 3 sebuah karya ilmiah dalam judul “Metodologi”. Dalam bahasa aslinya disebut “Tarikat”. Tarikat dalam bahasa Arab artinya “jalan”, “langkah”, “cara”, “teknik” atau “metode” untuk mencapai pengetahuan yang meyakinkan.

Manusia punya 4 alat epistemologi untuk memperoleh pengetahuan. Tiga alat ada pada dirinya, satu alat ada di luar dirinya. Keempatnya dapat digunakan untuk menangkap berbagai bentuk ontologi (wujud), termasuk Tuhan (Allah). Alat yang ada pada diri manusia adalah rasio, indera dan ruh. Sedangkan yang ada di luar dirinya adalah teks (i.e., kitab suci). Kita bahas satu persatu, dimulai dari yang terakhir.

BACA: “Relasi Agama dan Sains dalam Empat Level Ontologi”

Pertama, “teks”. Untuk menjawab apakah Allah itu ada, kita bisa menggunakan berbagai teks yang ada di dunia, termasuk kitab suci (Quran). Kita ambil Quran, kita tarik satu persatu ayat-ayat yang menyebutkan bahwa Allah itu ada. Kalau perlu ambil buku atau kitab lainnya dari berbagai agama dan filosofi yang juga menyebutkan bahwa Tuhan itu ada. Lalu ambil kesimpulan bahwa “Tuhan itu ada”.

Pertanyaan setelah itu, apakah Tuhan/Allah memang ada? Ya, ada! Tapi dalam realitas tekstual. Kita percaya, secara tekstual Allah itu ada. Ini mirip penelitian kualitatif dengan pendekatan literatur. Pada akhirnya bisa dijawab, bahwa Tuhan itu ada, tapi dalam wujud literatif. Sebenarnya, ini sudah terjawab di Bab 2. Dalam studi kepustakaan, Allah itu sudah disebut ada. Jadi, syariat itu mampu menjawab bahwa Tuhan itu ada hanya pada level teks.

Pertanyaannya lagi, apakah Realitas (Ontologi) Allah yang sesungguhnya itu ada dalam wujud teks? Jawabannya, tidak! Teks, sesuci apapun, bukanlah Tuhan. Teks itu “berita” bahwa Tuhan itu ada. Teks itu Kalam ilahi dalam wujud kertas, tinta dan tulisan (baharu/makhluk). Maka untuk mencapai pengetahuan tentang Tuhan dalam wujud/ontologi atau realitas yang hakiki (Dzati), peneliti butuh alat riset lainnya, yaitu akal.

Kedua, “akal” (rasio). Rasio bisa bekerja secara mandiri. Akal/intelek bisa membangun argumentasinya sendiri, bahwa Tuhan itu ada. Salah satu cara kerja akal adalah melalui “hukum kausalitas”. Hukum ini akan terus membangun hukum sebab-akibat dari sebuah fenomena (maujud) sampai ke level atas (wujud). Sampai akhirnya akan bertemu “Wajibul Wujud”, “Causa Prima”, “Penyebab Awal” atau “Penggerak Utama” (Tuhan).

Kalau mata rantai kausalitas tidak pernah berakhir, itu secara rasional akan dianggap mustahil. Sebab, sesuatu dipercaya “logis” kalau ada awal dan akhir. Cara berfikir logis ini sudah dibangun sejak era Aristoteles, bahkan sudah ada jauh sebelumnya. Para filsuf (rasionalis) Islam seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina hadir untuk menyempurnakannya. Sehingga dengan ini, melalui metode argumentasi filosofis (rasio/intelek) dapat dibuktikan bahwa Tuhan itu memang ada.

Pertanyaannya, apakah Tuhan itu hakikinya ada dalam wujud rasio (ide-ide yang logis)? Jawabannya, “tentu tidak!”. Metode rasional hanya berfungsi untuk membuktikan bahwa Tuhan itu secara logis ada. Tuhan dapat “diketahui” keberadaannya melalui hukum-hukum akal. Sementara wujud hakikinya, itu tidak bisa diobservasi dengan akal. Akal tidak mampu menjangkau Realitas (dzat) Tuhan. Akal hanya mampu “berfikir” bahwa Tuhan merupakan wujud yang “Wajib Ada”. Untuk itu perlu dicari alternatif alat riset lainnya guna melacak keberadaan wujud Dzat dari Allah SWT.

Ketiga, “indera”. Alat inderawi kita juga terbatas daya jelajah risetnya. Ia hanya mampu membangun persepsi atas apa yang mampu dilihatnya. Indera hanya mampu mengobservasi objek/wujud (ontologi) yang sifatnya kasat, punya dimensi ruang dan waktu. Karena itu, indera mengarahkan keyakinan kita kepada “materialisme”. Oleh sebab itu, penelitian empirik inderawi cenderung positivistik dan sekuler (meniadakan unsur-unsur non-materi). Kecuali lewat kesadaran rasional tertentu, akan terbangun persepsi bahwa alam materi adalah “tanda-tanda” (ayat) dari wujud sakral yang ada dibelakangnya.

Alam semesta sendiri masih menjadi misteri. Ada “kekuatan besar” yang mengaturnya, yang belum sepenuhnya dipahami manusia. Pengetahuan kuantum dalam fisika moderen juga menyimpulkan hal yang sama. Ada energi immateri yang belum habis terlacak, yang menjadi sumber kejadian semua elemen atom di semesta ini. Karenanya, penelitian observatif inderawi hanya akan menjawab keberadaan Tuhan pada level “tanda-tanda kekuasaan-Nya”. Sementara, wujud Tuhan itu sendiri tidak bisa diobservasi secara langsung. Dalam tulisan terdahulu kami sebut, bisa buta dan “terbakar” kita (QS. Al-Baqarah: 55).

BACA: “Spiritual and Scientific Observation, Usaha Menembus Petala Langit dan Bumi”

Saudara-saudara sekalian, tiga bentuk metodologi (tarikah) di atas hanya akan membuat seorang researcher mampu membuktikan gejala keberadaan Tuhan pada berbagai wujud ontologi “rendah” (fisika dan filosofis). Hipotesa bahwa Tuhan itu ada hanya akan terbukti secara “teks”, “rasional” dan “inderawi”. Semua itu belum sampai kepada temuan Realitas (Wujud) sesungguhnya dari Tuhan. Karena itu dibutuhkan alat epistemologi yang lebih canggih untuk mengobservasi wajah Allah. Namanya “ruh”.

Keempat, “ruh”. Ruh merupakan alat riset paling sophisticated yang melekat pada diri manusia. Begitu canggihnya alat ini, sehingga hanya beberapa orang cerdas saja yang mungkin mampu mengoperasikannya. Teknologi ruh mampu mengobserve berbagai ontologi metafisika murni (seperti Tuhan, malaikat, batin kitab, esensi nabi/rasul, hari akhir dan takdir). Semua ini merupakan wujud yang tidak dapat dijangkau oleh akal dan indera secara absolut. Nabi melalui mekanisme perjalanan ruhnya pernah menjumpai semua wujud metafisika ini. Beliau pernah melihat surga, neraka, malaikat, Ruh dan bahkan bertemu dengan Allah SWT.

Ruh adalah alat metode riset “wujudiyah”. Wujud Tuhan yang ingin diobserve oleh ruh adalah dalam wujud dalam realitas hakiki (Dzat). Tuhan yang ingin ditemui oleh ruh bukan lagi Tuhan dalam bentuk teks suci, ide-ide rasional atau fenomena kebesaran ayat di ufuk semesta (afaqi). Tapi dalam Wajah aslinya.

Tuhan adalah Wujud batiniah, Cahaya di atas cahaya, Esensi yang maha abadi. Sementara ruh juga esensi spiritual, wujud batin, cahaya esoterik, tiupan Allah dalam diri kita. Jadi, ruh adalah esensi ketuhanan dalam diri kita. Ketika unsurnya sama, sama-sama immaterial murni, maka sangat memungkinkan bagi kita dalam dimensi ruh untuk “melihat” Allah. Hanya unsur sejenis yang dapat bertemu atau menyatu. Karenanya, konsep wahdatul wujud itu berlaku pada dimensi ini. Bukan pada dimensi fisik dengan non fisik.

Cerita bahwa ruh bisa digunakan dalam riset bukanlah cerita hayalan. Metode ini sudah pernah digunakan oleh ratusan ribu orang dalam sejarah. Dalam sebuah record disebutkan ada 124.000 orang (nabi) yang sukses menggunakan metode ini. Itu yang tercatat. Beberapa diantaranya berhasil membawa “berita” atau catatan penting dari riset spiritual mereka dalam bentuk karya-karya supra-ilmiah yang disebut “kitab suci”. Saya curiga ada jutaan lainnya yang mampu menggunakan metode khusus ini, setelah ditambah para wali dan sufi disepanjang zaman, terkhusus yang mewarisi ilmu-ilmu gnostik dari Baginda Nabi SAW.

BACA: Kitab Suci “Karya Ilmiah” Para Nabi

Nabi (dan para sufi) itu bukan orang bodoh. Walau terkadang terlihat bodoh (jadab). Ketika disebut “ummi”, bukan berarti tidak bisa membaca. Tapi metode risetnya sudah melampaui bacaan. Nabi Muhammad SAW banyak bertemu orang-orang cerdas semacam Buhairah, Waraqah bin Naufal dan mungkin banyak sekali pendeta besar lainnya selama berdagang di Syams yang menjadi salah satu pusat Kristen dimasa itu. Saya curiga, Injilnya Nabi Isa as sudah sangat Beliau kuasai. Jangan-jangan bisa dihafalnya. Karena ingatan beliau memang super kuat.

Hanya saja, kalau melihat gaya tarikat dengan amalan-amalan khusus termasuk menyepi ke Gua Hirak secara reguler, metode Beliau untuk mencapai Tuhan sudah melampaui teks bacaan, sudah melampaui rasio dan indera. Beliau sudah bermain dengan ruh. Ruh adalah makhluk “ummi”, tidak butuh bacaan. Malah untuk mengaktivasi ruh, Anda harus belajar mematikan mata inderawi dan membuang akal pikiran (untuk sementara). On-off sifatnya. Ruh adalah makhluk tersendiri yang harus bekerja secara murni, tidak boleh dicampuri unsur-unsur baharu. Kecuali Anda sudah terlatih dan telah berada pada level berkesadaran “Gamma”, itu bisa saja keduanya dikombinasi, antara rasio dan intuisi.

BACA: “Spiritual Brainwaves, Menata Gelombang yang Berkesadaran Ilahi”

Karena itu, riset wujud melalui “metode ruh” sebagaimana diterapkan para nabi adalah metode menghidupkan “mata batin” (bashirah). Ini satu-satunya jenis ‘mata’ yang dapat mengobservasi, menyentuh, menjangkau dan merasakan kehadiran Allah. Ketika akal dan indera hanya mampu memahami Tuhan sebagai sosok yang jauh (transcendent); melalui ruh, Allah justru terasa lebih dekat dari urat leher (immanent). “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (QS. Qaaf: 16).

Sebagai sebuah metode, “ruhiyah scientific method” punya prosedur kerja sangat ketat. Lebih ketat dari standar metode empirik. Butuh bertahun-tahun juga untuk sukses mengobservasi sebuah objek metafisik, khususnya keberadaan Allah. Seorang akademisi/peneliti saja mungkin butuh rata-rata 40 tahun untuk menjadi profesor dalam bidang observasi sains tertentu. Seorang nabi/wali juga begitu, lama harus mengasah keahlian ini sampai ia mampu secara kamil mukammil dapat melihat Allah dalam setiap shalat dan ibadahnya. Tapi, terkadang dalam waktu singkat juga bisa dicapai berbagai bentuk kecerdasan ini dalam kadar tertentu. Tergantung ketekunan seorang murid dan kecakapan master yang membimbingnya.

Ruh itu sangat sensitif. Dia punya gelombang kesadaran yang sangat tinggi dan vibrasi super halus. Ia bisa membaca “otak” kita. Sensornya tajam sekali. Kalau kita sedikit saja kurang adab, berniat buruk dan perilaku jahat; ruh tidak mau aktif. Anda harus menjalani kehidupan yang bersahaja, penuh etika dan kejujuran bersama sang Supervisor (Guru) untuk dapat menghidupkan ruh.

Metode aktivasi ruh sangat unik. Dilakukan dengan mematikan gelombang ego, meniadakan kesadaran berfikir dan menutup kecerdasan inderawi. Semua ritual yang dilakukan nabi dalam kesunyian dan kegelapan (ditambah puasa dan pengulangan bacaan-bacaan tertentu melalui pendekatan “rasa”) merupakan upaya memperkuat sistem kerja ruh. Sampai pada satu momentum; ruh menjadi aktif, mampu bergerak, ‘terbang’, ‘naik ke langit’, dan terkoneksi dengan asal usulnya (Allah). Tidak cukup dengan pola ibadah dalam kerangka syariah biasa untuk menghidupkan qalbu/ruh. It does not work! Seribu rakaat shalat setiap hari, sampai hitam jidat sekalipun, ruh tidak akan aktif. Itu ada metodenya sendiri.

Ketika ruh sudah terbebaskan dari berbagai persepsi yang kita buat, disitulah ia mampu bergerak untuk mengobservasi alamat Tuhannya. Bahkan Tuhannya sendiri yang akan “turun” untuk memperkenalkan Diri kepadanya. Sehingga ruh dapat mengalami secara langsung (iluminatif-empirikal) bahwa Tuhan itu secara Dzat ada, bisa ditemui dan diajak bicara.

Bahkan ruh bisa tenggelam dalam samudera Wujud yang ditemuinya, sehingga para spiritual researcher dapat mengalami fana dan baqa. Pada fase ini, mereka bisa kehilangan kesadaran akan eksistensi cangkang materialnya. Mereka bahkan dapat berbicara dan bergerak atas nama Tuhannya. Wama yantiqu ‘anil hawa in huwa illa wahyuy yuha (QS. An-Najm: 3-4). Ketika ruh telah tersambung kembali dengan Allah, mereka akan menjadi Ruhullah, Kalamullah, Habibullah, Khalilullah atau Ayatullah. Metode iluminatif-sufistik inilah yang disebut “perjalanan kembali” ke Tuhan yang asli. Ini menjadi domain keahlian para nabi dan sufi (ahli irfan). Orang-orang ini sudah bermain pada ontologi kelas “atas” (metafisik). Masih ada orang-orang yang mewarisi ilmu ini sampai kiamat, walau sedikit jumlahnya. Bisa dicari, pasti dapat.

Sebagai sebuah metode ilmiah, ruh juga punya mekanisme kerja yang terukur. Ia punya “skala” tersendiri dalam menangkap dan menganalisa wujud yang ditemukan. Dia bisa mengukur secara tepat, apakah wujud yang dijumpainya itu dalam getaran “kanan” atau “kiri”, “ashabul yamin” atau “ashabusy syimal”, “malaikat” atau “setan”. Tidak mungkin tertipu. Sistem ruh itu robust sekali.

Justru kita yang tidak menguasai sistem ruh yang sering buta dan tertipu, tidak tau yang mana Tuhan dan yang mana iblis. Hanya ruh yang bisa mengidentifikasi baik-buruk, benar-salah secara Haqq (absolut). Sebab, Tuhan langsung yang bicara dan memberitau. Sementara akal dan indera hanya bisa membangun persepsi dan bahkan bersifat skeptis. Karena itu, kebenaran atau level pengetahuan yang dicapai dengan metode ruh bersifat “haqqul yakin” (absolutely true, ontologi hakiki). Sedangkan kebenaran yang diperoleh melalui riset akal dan inderawi bernilai “ilmul yakin” (ontologi konseptual) dan “ainul yakin” (ontologi perseptual).

Kelangkaan Guru

Metode riset ruh sangat langka. Bukan langka metodenya. Tapi langka gurunya. Dokter bedah syaraf pun langka, dibandingkan jumlah dokter bedah bisul. Apalagi ahli dalam “bedah ruh” yang tidak dapat dijangkau oleh mikroskop biasa. Makanya, supervisor dalam bidang ruh haruslah seseorang yang mewarisi “kacamata” dari Tuhan. Kecerdasan iluminatifnya (mukasyafah) harus tinggi. Ia harus bisa melihat dengan mata Tuhan, berbicara dengan mulut Tuhan dan mendengar dengan telinga Tuhan. Ia harus mampu meneropong keadaan batin seorang murid, tau apa penyakit dan bisa dioperasi lewat metode tertentu. Itulah yang disebut proses penyucian jiwa, yang dilakukan oleh para ahli yang punya ‘license’ (izin praktik) dari Tuhan:

كَمَآ اَرْسَلْنَا فِيْكُمْ رَسُوْلًا مِّنْكُمْ يَتْلُوْا عَلَيْكُمْ اٰيٰتِنَا وَيُزَكِّيْكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَّا لَمْ تَكُوْنُوْا تَعْلَمُوْنَۗ

Sebagaimana Kami mengutus kepadamu seorang Rasul dari (kalangan) kamu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Kami, menyucikan kamu, dan mengajarkan kepadamu Kitab dan hikmah (ilmu Irfan), serta mengajarkan apa yang belum kamu ketahui” (QS. Al-Baqarah [2]:151)

Jadi, kalau ingin meng-upgrade metodologi riset, dari alam rasio dan fisika ke alam ruhiyah; kita harus mencari supervisor yang ahli dan sangat berpengalaman di bidang ini. Harus orang “suci”. Dalam artian, dia sendiri sudah pernah menempuh jalan mujahadah untuk mensucikan diri dan “berjumpa” Tuhannya.

Kesimpulan

Dominasi kecerdasan saintifik yang materialistik yang kita terima dari Barat hanya membuat kita “setengah cerdas”. Metode riset kontemporer tidak membahani kita untuk berkomunikasi dengan Allah. Metode riset positivistik hanya mengajari kita cara menelaah kondisi makhluk (alam materi, unsur-unsur ‘duniawi’). Sehingga kita seperti tersesat dalam kecerdasan kita sendiri. Kita meraba-raba dalam berbagai mazhab teks/konsep tentang Allah, tanpa pernah mampu untuk bertemu (liqa’/rujuk/wushul) dengan Realitas Allah yang hakiki. Dalam pertumbuhan era spiritual ini, manusia harus melengkapi kembali metode riset sosial dan fisikanya dengan metode metafisika. Sehingga semua bentuk ontologi dapat terkuasai. Bisa menguasai dunia, sekaligus akhirat.

BACA: ” Spiritual Intelligence”: Agama dan Pengetahuan paska Google Search dan Chat GPT

Kita “percaya” bahwa Allah itu ada. Hipotesis (kepercayaan) yang kita terima sejak kecil ini harus dibuktikan lewat metodologi yang kuat. Sehingga saat usia dewasa seperti sekarang, Wujud dari Tuhan yang kita yakini bisa dirasakan kehadiran-Nya (melampaui teks dan logika, melampaui dalil syariat dan filosofi belaka).

Ketika Allah bisa diobservasi eksistensinya sebagaimana pengalaman para nabi dan sufi, maka itu disebut “pengalaman hakikat”. Dalam metode ilmiah, ini diulas dalam Bab 4 yang biasanya diberi judul “Hasil dan Pembahasan”. Semua temuan dan dinamika yang secara langsung ditemui dalam pengalaman beragama pada level ruhiyah (rasa) dipaparkan disini. Setelah itu, di Bab 5, diringkas semua temuan tersebut dalam pengetahuan baru berbentuk “Kesimpulan”. Dalam tradisi kenabian, Bab kesimpulan ini disebut “Makrifat”. Isinya adalah teori atau dalil-dalil baru (bisa berbentuk dalam karya kitab), hasil dari proses mengkonfirmasi sebuah hipotesa sebelumnya.

Jadi, pernyataan “Saya percaya bahwa Allah itu ada” bisa disebut sebagai hipotesa, bisa juga makrifat. Disebut “makrifat” ketika Anda sudah berjumpa secara konfirmatif dengan wujud yang Anda percaya itu. Jika tidak, maka itu masih sebatas “hypothetical condition”. Anda memang beriman kepada Allah, tapi hipotetis. Padahal, agama menginginkan kita menggunakan seluruh potensi kemanusiaan kita (termasuk ruh) untuk menaikkan level keimanan kepada tingkatan pembuktian yang bernilai makrifati (confirmed).

Sehingga terkenal kalimat, “awal agama adalah makrifat kepada Allah” (awaluddin makrifatullah). Kita sering menyebut peristiwa turunnya wahyu di gua Hirak adalah awal turunnya agama Islam. Artinya, awal Muhammad SAW aktif tersambung dengan wujud Allah dan para malaikat-Nya adalah awal dari agama Islam. Dalam kerangka yang sama kita dapat menyimpulkan, kita mungkin belum ber-Islam secara hakiki (masih hidup di era jahiliah), selama ruh kita belum “diislamkan” (dipertemukan dengan Allah dan para malaikat-Nya, The Metaphysic).

Selama ini kita hanya ber-Islam pada level lahiriah semata (level material dan konseptual). Semua kita sibuk berdebat tentang Allah yang tidak pernah dijumpai wujud hakikinya. Kita ini mirip sekali dengan kehidupan para ahli kitab di zaman jahiliah. Mereka menguasai kitab/teks tentang Tuhan dengan segala tafsirnya, tapi tidak tau cara menemui Tuhan yang banyak tersebut dalam lembaran itu. Sampai kemudian datang seorang nabi/wali untuk mengajarinya. Tapi mereka tolak, akibat sudah terlalu banyak teori atau persepsi yang dibangunnya. Semua ilmu (konsep dan persepsi) itu menjadi hijab untuk mengenal Allah yang sesungguhnya.

Al-islamu ilmiyun wa ‘amaliyun. Islam itu agama ilmiah, agama metodologis, agama riset. Islam merupakan agama sains alam dan sains spiritual. Islam itu agama untuk mengobservasi berbagai wujud fisik sampai ke metafisik. Karena itu nabi mengajarkan, bahwa tahapan ilmiah dalam beragama sebenarnya tidak banyak. Hanya terdiri dari 5 Bab: (1) “Paradigma Tauhid” – Pendahuluan, (2) “Syariat” – Landasan Teori, (3) “Tarikat” – Metodologi, (4) Hakikat – Hasil dan Pembahasan, dan (5) “Makrifat” – Kesimpulan. Seperti dikatakan Nabi SAW:

الشَّرِيْعَةُ أَقْوَالِيْ ، وَالطَّرِيْقَةُ أَفْعَالِيْ ، وَالْحَقِيْقَةُ حَالِيْ ، وَالْمَعْرِفَةُ رَأْسُ مَالِيْ

Syariat adalah perkataanku (dalil), tarekat adalah perbuatanku (metode pembuktian), haqiqat adalah keadaan (batin/penglihatan)-kudan makrifat adalah pangkal harta-ku (Kasyf al-Khafa’, juz 2, halaman : 7).

BACA: “Syariat-Tarikat-Hakikat-Makrifat: Metode Ilmiah dalam Beragama”

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

5 thoughts on ““TEKNOLOGI RUH”: ALAT PEMBUKTIAN HIPOTESA RELIJIUS

  1. lihatlah seekor cacing tanah begitu besar cintanya, kadang-kadang manusia itu tidak sadar bahwa dirinya dicintai oleh seekor cacing tanah.
    cacing tanah itu menyuburkan tanah begitulah tugas mereka tanpa lelah.
    camkanlah bahwa manusia itu tidak akan lebih dari cacing tanah.

Comments are closed.

Next Post

MENUTUP PINTU IJTIHAD, MEMBUKA PINTU MUJAHADAH

Sun Apr 2 , 2023
Jurnal […]

Kajian Lainnya