MENUTUP PINTU IJTIHAD, MEMBUKA PINTU MUJAHADAH

Jurnal Suficademic | Artikel No.44 | April 2023

MENUTUP PINTU IJTIHAD, MEMBUKA PINTU MUJAHADAH
Oleh: Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. “Pintu ijtihad sudah ditutup”. Ini isu lama yang dilontarkan Abu Hamid Al-Ghazali (1050-1111 M) dalam karyanya Al-Munqidz min al-Dhalâl (Penyelamat dari Kesesatan). Ia merasa hampir tersesat dengan pemikiran rasionalnya. Sampai ia memutuskan untuk “menutup pintu ijtihad”.

Karena ia tokoh sentral, seorang hujjah dan spiritualis dalam dunia Islam khususnya Sunni, maka pemikirannya terhadap ini banyak diterima. Terutama para pengamal tasawuf dan pesantren tradisional. Selain juga ada yang menolak.

Yang menerima berargumen, bahwa hasil pemikiran ulama terdahulu sudah memadai bagi kita untuk memahami semuanya. Tidak perlu lagi dibuat produk pemikiran baru. Sementara yang menolak menyebutkan, ketika pemikiran telah dibatasi, itulah awal kemunduran Islam. Semua kejumudan dan keterbelakangan kita hari ini dianggap sebagai buah dari tertutupnya pintu ijtihad ini.

Bagaimana cara kita menengahi perdebatan ini? Atau bagaimana pernyataan Alghazali dapat dimengerti dalam konteks yang dapat memajukan kehidupan umat?

Kategorisasi Ilmu

Begini. Ilmu dapat dibagi dalam banyak kelompok. Misalnya, ilmu agama dan ilmu akhirat. Ilmu ‘ain dan ilmu kifayah. Ilmu agama dan ilmu sains. Ilmu tauhid, ilmu fikih dan ilmu tasawuf. Dan lain sebagainya.

Pertanyaannya, ilmu mana yang pintu untuk berijtihad sudah ditutup? Apakah semuanya? Kalau semua sudah ditutup, termasuk untuk bidang sains misalnya, maka benar seperti yang disinyalir kelompok penentangnya bahwa kita akan mengalami set back. Tanpa ijtihad di bidang sains dan teknologi, kita akan terjajah dan terus kalah.

Atau mungkin ada bidang ilmu yang tidak perlu lagi diberi pemikiran berlebihan. Sebab, kalau semua orang berijtihad di bidang itu, bisa menyebabkan kita berputar-putar dalam sesuatu yang tidak berujung.

Atau mungkin, disisi lain, ada problem dengan tata cara “ijtihad” kita. Sehingga mendapat peringatan keras agar hal itu tidak dilakukan lagi. Kecuali dengan cara tertentu. Sebab, ijtihad tanpa metodologi hanya akan memproduksi pengetahuan itu-itu saja. Tanpa metodologi, ilmunya yang lahir tidak memberi signifikansi atas bangunan pengetahuan yang telah ada. Malah bisa merusaknya.

Mengapa Ijtihad “Dilarang” (Ditutup), Bagian Mana yang Dilarang?

Untuk menjawab “mengapa ijtihad dilarang” atau “bagian mana yang dilarang”, kita akan melihat apa yang terjadi dalam dunia Islam; sampai lahir ide “pintu ijtihad telah ditutup”.

Sekitar satu atau dua abad setelah Nabi SAW tiada, terjadi revolusi pemikiran dalam dunia Islam. Dari hanya ada satu Quran sebagai sumber bahan pemikiran, para ulama mulai mengembangkan ilmu dalam berbagai tema agama dan pengetahuan. Ilmu agama dan pengetahuan berkembang dalam berbagai kategori dan cabangan ilmu (baik ilmu agama maupun sains). Begitu banyak kitab yang lahir untuk mendokumentasikan pemikiran dan temuan.

Khususnya dalam bidang keagamaan, mazhab pemikiran tumbuh begitu banyak, mungkin puluhan. Namun hari ini hanya tersisa sekitar 8: jakfari, zaidi, hanafi, maliki, syafii, hambali, ibadi dan zahiri. Begitu banyaknya pemikiran yang lahir dari para ulama, sehingga hampir tidak ada ruang lagi untuk berkreasi. Semua sudah dibahas/diregulasi dalam berbagai turunan pemikiran. Khususnya fikih ibadah (syariat).

Alquran itu sendiri sebenarnya sangat universal (ada semua, tapi generik). Hanya berisi hukum-hukum yang bersifat prinsipil. Detilnya kemudian dituangkan dalam berbagai produk fikih (pemikiran). Sampai dikatakan, Islam itu agama yang sangat rigid (detil) bahkan dogmatik. Semua aspek kehidupan dicoba regulasi, sampai kepada yang sifatnya sunat.

Sebagai contoh: “Berapa rakaat shalat tarawih?” Anda bisa berargumen sesuai dalil dan pemikiran fikih yang ada. Ada yang berargumen bahwa shalat tarawih itu 8 rakaat. Ada yang punya dalil 20 rakaat. Ada yang 36 rakaat. Ada yang percaya itu cuma sunat yang bisa dilakukan sesuai selera. Bahkan ada yang punya dalil bahwa tarawih itu tidak ada dan tidak dikerjakan oleh Nabi SAW. Banyak sekali dalil dan pemikiran fikih di bidang ini. Hampir-hampir tidak ada ruang lagi untuk dibahas. Sudah ada pilihan semua. Artinya, “pintu ijtihad sudah tertutup”. Tinggal pilih mazhab mana yang Anda suka. Ngapain dibuat diskusi lagi!

Oleh karena itu, pintu ijtihad dalam bidang fikih mirip-mirip atau bahkan boleh dikatakan sudah “tertutup”. Celah risetnya sudah sangat sempit. Sudah terlalu banyak perdebatan ulama di bidang itu.

Bahkan, produk pemikiran terhadap sesuatu hampir selalu tersusun dari dua pandangan berbeda. Ada yang pro, ada yang kontra. Bahkan sampai ke era moderen, status bunga bank sekalipun terbelah dua. Ada ulama yang mengatakan itu halal, ada ahli lainnya yang berargumen itu haram. Jadi apalagi yang mau di ijtihadkan, sudah ada semua pilihan. Tinggal ambil yang mana Anda percaya.

Begitu juga dalam bidang tauhid. Ilmu yang menjelaskan tentang Tuhan sudah begitu kaya. Kita saja yang malas membaca. Mazhabnya juga banyak. Selain Jakfari dan Muktazili, ada Maturidi dan Asy’ari. Juga eksis pemikiran ekstrim semacam Khawarij. Ragam ijtihad bidang filosofi ketuhanan (kalam/teologi) sudah terlalu banyak. Tinggal Anda pelajari dan pilih mana yang Anda suka. Para ulama dan filsuf yang terlibat dalam urusan ini telah menyediakan banyak sekali cara pikir tentang alam dan Tuhan. Termasuk kaum sufi, juga ikut memaparkan ide-ide ketuhanan dalam aneka ordo tarikat dan mazhab pemikiran seperti wujudiyah (panteism), isyraqiyyah (illuminationism) dan lain sebagainya. Tinggal pilih, jenis pemikiran dan ontologi tasawuf sudah lengkap tersedia.

Bahaya Berfikir (Ijtihad) Sembarangan

Ijtihad berarti “berusaha keras untuk mencapai atau memperoleh sesuatu”. Dalam kaitan ini, pengertian ijtihad adalah usaha maksimal dalam melahirkan hukum-hukum (khususnya dalam bidang syariat) dari dasar-dasarnya melalui pemikiran dan penelitian yang sungguh-sungguh dan mendalam.

Jadi, ketika berbicara “ijtihad”, kita sedang membahas tentang “pemikiran”. Pemikiran, itu bisa positif (benar), bisa juga negatif (salah). Ketika pemikiran sudah cenderung salah, tentu harus dihentikan (ditutup). Mungkin karena sudah begitu banyak yang ikut berpikir, khawatir terlalu liar dan salah, maka lahir pernyataan “pintu ijtihad sudah ditutup”.

Bayangkan kalau siapapun bisa berfikir, bisa kacau. Kalau hasil pemikiran itu hanya untuk dirinya sendiri, boleh-boleh saja. Tapi bayangkan, ketika seorang yang tidak cukup ilmu membuat kesimpulan hukum untuk orang banyak. Bisa kacau itu. Sama seperti yang terjadi sekarang, ketika semua orang menjadi ustad dan bisa berceramah dimana-mana. Yang terjadi tidak selalu positif. Malah semakin membuat radikal alam kesadaran umat. Sebab, yang difatwakan sering tentang kekafiran orang lain, tentang bid’ahnya perilaku kelompok seberang dan berbagai dalil provokatif lain.

Yang paling mengerikan pernah terjadi dalam dunia Islam. Ketika seseorang mendapat peluang dalam berfikir di bidang agama, dia berijtihad untuk menghabisi saudaranya. Hanya karena perbedaan pandangan furuiyah di bidang tauhid dan fikih, lalu dianggap sebagai kafir dan musyrik yang halal darah. Semua situs sejarah diratakan. Sampai ke era milenial, ISIS dan kelompok-kelompok takfiri sejenis masih bertahan dengan ijtihad radikalnya ini.

Kalau sudah begini, “pintu ijtihad harus ditutup”. Bahkan untuk menjadi ustadz dan berceramah dimuka publik muncul ide “sertifikasi”. Tapi inipun akan diprotes dan dianggap akan jadi penghambat kemajuan dan kebebasan. Artinya, “penutupan pintu ijtihad” tidak akan diterima oleh semua orang.

Namun di beberapa negara berlaku aturan itu. Untuk menghambat laju pemikiran yang tidak diinginkan, dikontrol cara mereka berfikir. Seringkali di sebuah wilayah, hanya satu mazhab pemikiran (tauhid/fikih) yang diperbolehkan berkembang. Unsur politik sudah bermain. Mungkin untuk menjaga stabilitas keamanan masyarakat, ataupun untuk mempertahankan status quo sebuah keyakinan.

Berfikir tanpa Keterlibatan Tuhan

Disisi lain, kita tidak menginginkan seseorang bebas berbicara tanpa tanggungjawab keilmuan. Asal ngomong sesuai nafsu dan keinginan. Karena itulah, untuk menjadi pemikir dalam bidang tertentu dan boleh mengeluarkan hukum pemikiran tentang itu, perlu sekolah. Ada syarat untuk menjadikan seseorang sebagai ulama atau profesor. Untuk menjadi mujtahid, seseorang dipercaya harus menguasai belasan cabang ilmu. Dalam sebuah riwayat, untuk orang-orang seperti ini ditawari 2 pahala, jika benar. Kalaupun salah, atas kegigihan dan kejujurannya dalam berusaha tetap dihargai 1 pahala.

Namun lagi-lagi, ijtihad itu “produk pemikiran”. Bukan produk dari Tuhan. Selain berpotensi benar, boleh jadi salah. Sebab, semua lahir dari kemampuan nalar dalam merumuskan hukum dari berbagai sumber. Karena itu juga ada hadis mengatakan, “Barang siapa yang berpendapat pada al-Qur’an dengan akalnya maka hendaknya ia ambil tempatnya di neraka” (HR. Turmudzi).

Bukan berarti kita tidak boleh menggunakan akal. Justru manusia itu makhluk berakal. Banyak kemajuan yang kita capai, itu produk akal. Alquran di berbagai ayat menekankan pentingnya penggunaan akal.

Hanya saja, akal dilarang untuk digunakan ketika kita memposisikan diri sebagai “wakil Tuhan” (khalifatullah). Kita hendak berbicara atas nama Tuhan, tapi menggunakan produk akal (hasil pemikiran kita). Lihat bagaimana Nabi SAW berbicara. Itu bukan akal apalagi nafsunya yang bicara, melainkan wahyu (QS. An-Najm: 4). Kalaupun ada ide yang muncul dari dirinya, itu sudah terkofirmasi langsung kebenarannya kepada Allah. Sehingga produk pemikirannya itu menjadi hadis yang bernilai suci.

Menjadi ulama itu riskan; kalau mengandalkan referensi, hafalan dan akal. Sementara ia sering berbicara dan berfatwa atas nama Tuhan. Ketika ia menyatakan seseorang sesat, ini haram, itu salah; apakah itu sudah ditanyakan kepada Allah, atau lahir dari kemampuannya mengolah berbagai dalil dengan pikiran (qiyas)? Apakah Allah setuju dengan hasil pemikirannya itu?

Itulah kenapa hakim (pembuat keputusan hukum) dikatakan memiliki kaki, satu di surga, satu di neraka. Malah sebuah hadis menekankan, “dua dari tiga hakim masuk neraka” (HR. Abu Dawud). Mereka berada di wilayah abu-abu. Kalau merujuk ke hadis ini, sebagian besar (dua pertiga) mereka tergelincir. Ulama juga begitu, berada di wilayah abu-abu. Kecuali yang mampu membangun komunikasi dengan Allah sehingga memiliki keputusan bernilai Haqq (seratus persen sesuai kemauan Allah).

Mengandalkan akal saja (dalam berbicara atas nama hukum Allah) bisa membawa kita ke neraka. Sebab, akal tidak sampai kepada Allah. Karena itu diperlukan perangkat yang lebih tinggi dari akal, yaitu “ilham” (wahyu laduniah) agar dapat diperoleh kebenaran yang absolut (hakiki). Hukum agama harus keputusan dari Allah, tidak boleh dari pemikiran manusia. Walaupun Anda menguasai 1001 ilmu bantu, tanpa God’s Decision (keterlibatan Allah dalam pengambilan keputusan), semua hasil ijtihad batal.

Maka dalam konteks ini sudah benar, “pintu ijtihad sudah tertutup”. Islam mungkin punya banyak ahli yang menguasai ilmu terkait Quran dan sunnah. Tapi hanya satu ilmu yang susah dimiliki, yaitu ilmu untuk memperoleh pengetahuan langsung dari Allah (min ladunna ilman, QS. Al-Kahfi: 65). Jika ini tidak dipunyai, maka hukum dan keputusan yang dibuat dicuriga tidak berasal dari Allah. Melainkan dari dalil naqli (Quran dan hadis) yang diolah dengan aqli (kemampuan otak/kognitif).

Oleh karena itu, ijtihad (berfikir) untuk kepentingan publik dalam urusan agama itu dilarang, kalau tidak ada konfirmasi benar-salah dari sisi Allah. Silakan berijtihad, sejauh bisa dikonfirmasi kebenarannya kepada Allah. Jika tidak, itu pekerjaan spekulatif. Ada kemungkinan 2/3 nya salah.

Sejak awal kita sudah kelebihan pemikir agama. Bahkan hari ini seperti kebanjiran ulama. Apalagi jumlah ustad. Bahkan artis pun sudah merangkap profesi sebagai ustad. Efeknya tidak selalu positif. Bukan kedamaian yang kita rasakan. Melainkan kekisruhan yang makin tajam. Saling tuding dan menyalahkan, tidak toleran. Kalau sudah begini, ruang untuk menjadi ustadz/ulama harus dikurangi. Ruang untuk berijtihad (berceramah) secara sembarangan harus ditutup. Penambahan ahli agama justru menciptakan konflik dan perang.

Sains dan Kekuatan Akal Pikiran

Kecuali Anda bekerja di bidang inovasi teknologi dan sains alam. Boleh saja menggunakan akal secara independen. Sebab, Anda tidak sedang mengatas namakan Tuhan. Walau hubungan dengan Tuhan sangat penting juga di bidang pekerjaan ini, agar karya-karya Anda diarahkan kepada kebaikan. Dorongan Quran untuk menguasai alam menekankan pentingnya akal.

Karena itu, penguatan sains dan teknologi harus menjadi mainstream kita sekarang, daripada mengajak semua orang menjadi pemikir (mujtahid) agama. Jangan semua anak di pesantrenkan dengan tujuan menjadi ulama. Biar satu atau dua orang saja yang jadi mujtahid pada jalur agama. Mayoritas lain harus fokus ke pengembangan sains dan teknologi. Sebab, menjadi ahli agama itu fardhu kifayah. Kalau sudah ada satu atau dua orang, sudah cukup, sudah mewakili semua.

Artinya, jangan mendalam sekali belajar agama sampai bertahun-tahun tidak selesai. Kalau cita-citanya bukan menjadi ulama. Cukup pelajari yang pokok-pokok, yang menjadi fardhu ‘ain. Agama itu tidak berat. Agama itu tentang syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Kalau sejak kecil sudah diajari dan praktikkan ilmu-ilmu ini, usia 15 tahun sudah tamat yang pokok-pokok itu. Kenapa harus diajari sampai tua. Baca saja sendiri di waktu luang kitab-kitab yang diminati.

Kita tidak mendidik semua orang untuk menjadi ahli pikir di bidang agama. Usia 15 tahun, atau mungkin tamat SMU, sudah bisa “ditutup pintu ijtihad” tentang detil pemikiran agama. Kecuali mereka mau dididik secara khusus menjadi ulama. Suruh amalkan saja apa yang ada. Selebihnya, alihkan usianya untuk menguasai skill bidang dunia lainnya -yang sebenarnya itu juga bagian penting dari pengamalan agama.

Menonaktifkan Pikir, Menghidupkan Zikir

Kita sudah terlalu lalai dalam beragama, sehingga lupa menguasai alam semesta. Sementara barat terlalu larut dengan alam semesta sehingga lupa total dengan Tuhannya. Mereka maju dalam bidang sains, tapi miskin spiritual. Kita terlalu bahagia dengan agama, sehingga betah dalam kemiskinan dan keterjajahan. Kalau diteropong lebih dalam, kita terlalu lalai dengan (pemikiran) agama, dan justru lupa dengan (esensi) Tuhan.

Menjadi ahli (pemikir) agama itu fardhu kifayah. Tapi untuk mengenal Allah, itu fardhu ‘ain. Karena itulah “tasawuf praktis” (irfan amali) menjadi wajib hukumnya bagi setiap orang. Melalui ini seseorang mengenal Allah sampai ke level hakiki. Kalau tauhid dan syariat hanya bertugas memperkenalkan Tuhan hanya pada level konsep/teori (nama dan sifat), tariqah memberikan metode bagaimana kita dapat menjumpai-Nya.

Jika tauhid dan syariat berisi kumpulan argumentasi tentang Tuhan, tarikat memberikan jalan praktis untuk mencapai berbagai makam Realitas yang hakiki (Dzati). Untuk menempuh jalan ini, seseorang harus menghentikan semua bentuk pemikiran. Ijtihad (usaha berfikir) dalam proses salik harus ditutup/dihentikan. Sebab, ini bukan alam pikir. Ini alam zikir. Allah tidak bisa dijangkau oleh akal pikiran. Dia hanya bisa dijangkau oleh proses “mujahadah” ruhaniah, tanpa melibatkan dimensi aqliyah.

BACA: “Teknologi Ruh, Alat Pembuktian Hipotesa Relijius”

Sebenarnya mudah sekali mencapai Tuhan yang asli, yang melampaui teks dan persepsi. Kita tidak butuh kitab bacaan dan pemikiran berlebihan. Tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Nabi Muhammad SAW hanya dengan duduk-duduk berzikir di Gua Hirak, tanpa mengkaji kitab apapun, tanpa membangun pemikiran apapun, tiba-tiba sampai ke Tuhan. Tiba-tiba ketemu malaikat. Sesederhana itu.

Artinya, Allah itu wujud sederhana. Milik publik. Mudah diakses. Menjangkaunya pun dapat dilakukan dengan cara-cara sederhana, tanpa harus membaca kitab. Tanpa harus cerdas sekali. Tanpa harus menjadi ahli pikir selama sekian tahun. Betapa banyak “ahli kitab” (alim ulama, para pemikir berbasis teks suci) yang hidup di era jahiliah. Tapi tidak ada yang benar-benar, atau sedikit sekali yang mengenal dan sampai kepada Allah. Bahkan menolak Rasulullah. Yang menolak para nabi adalah “ahli kitab” (para mujtahid, ahli agama atau pemikir).

Untuk mengenal Allah dalam Wajah hakiki, seseorang harus “mengosongkan gelas”, berhenti berijtihad (berfikir). Sebaliknya, harus belajar “bermujahadah” (mengaktivasi Ruh). Ruh merupakan elemen iluminatif yang dengan cara tertentu mampu bekerja untuk mengakses alam Rabbani. Kita semua punya indera, akal, dan Ruh. Hanya dengan Ruh, Allah bisa dijangkau dan dirasakan kehadirannya dalam realitas Dzat.

Karena itu, tauhid sufi (tauhid Irfani) menjadi fardhu ‘ain. Sebab mudah untuk dijalani oleh orang terbodoh sekalipun. Karena itu Nabi dikatakan “ummi”, sekaligus dikirim untuk masyarakat yang ummi. Beliau itu awam, bukan pemikir, bukan ahli kitab, bukan mujtahid (ahli ijtihad). Baru setelah sampai kepada Allah, Beliau menjadi “Mujtahid Akbar”. Sehingga, semua produk pemikirannya senantiasa terkonfirmasi sesuai kemauan Allah. Tanpa wushul dengan Allah, hati-hati dalam berijtihad dalam urusan syariat, walau menghafal banyak teks dan kitab!

Saya kira, karena unsur kehati-hatian inilah, pintu ijtihad dalam penetapan hukum-hukum agama telah “ditutup”. Kecuali Anda sebagai pemikir hukum (fukaha) punya kemampuan sufistik dalam bermujahadah secara ruhiyah untuk terkoneksi dengan Allah. Baru Anda bisa menjadi “mujaddid”.

Mujaddid adalah seorang “pembaharu agama”. Selain punya keahlian pemikiran (mujtahid), juga punya kemampuan bermujahadah secara spiritual untuk “bercakap-cakap” dengan Allah (mujahid). Tanpa ini, dia sama sekali tidak bisa berjihad untuk memperbaharui agama. Sebab, yang berhak mereformasi bahkan merevolusi agama, itu kelasnya nabi. Tapi nabi sudah tidak ada. Namun mujaddid selalu ada, yang diriwayatkan akan muncul setiap 100 tahun sekali. Ia mesti seorang wali yang agung, yang menjadi kutub pemikiran sekaligus spiritual.

إنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهذهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا

“Sesungguhnya Allah mengutus kepada umat ini, setiap seratus tahun, seorang yang memperbarui untuk mereka ajaran agama mereka” (HR Abu Daud)

Para Mujtahid yang Sufistik

Berikut beberapa contoh mujtahid yang juga memilih jalan untuk bermujahadah secara khusus di jalan Allah. Mereka pernah berhenti berfikir (menutup pintu ijtihad) ketika menempuh jalan irfan. Setelah itu mereka memperoleh pemikiran-pemikiran baru yang lebih arif dan rasional.

Abu Hamid Alghazali (1058-1111 M) adalah seorang pemikir agama (fukaha) yang hebat. Bahkan di gelar “Hujjatul Islam”. Sampai-sampai ia berkata dengan sombongnya, “Kalau ada hal selain yang kuketahui, itu pasti batil”. Ia awalnya juga seorang filsuf murni, pemikir bebas. Begitu yakin ia dengan segala referensi dan pemikirannya. Sampai kemudian ia terkejut dengan kemampuan adiknya yang secara ruhaniah memiliki pandangan sangat tajam, mengetahui semua hal yang tidak ia ketahui.

Disitu Alghazali sadar bahwa kemampuan berfikir dan ijtihadnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kecerdasan iluminatif adiknya yang bernama Ahmad. Sejak saat itu, Alghazali meninggalkan kecerdasan intelektualnya untuk mengejar kecerdasan spiritual. Baru setelah itu ia tercerahkan lahir dan batin. Untuk itulah dia berkata, “pintu berfikir/ijtihad telah tertutup”. Pintu berpikir an sich sudah ia akhiri. Hanya pintu mujahadah (Alghazali juga menyebutnya sebagai “muraqabah”) yang mampu menjawab persoalan secara absolut dan membuatnya bahagia. Al-Ghazali tidak mengharamkan filsafat dan logika. Hanya saja, itu dianggap sia-sia ketika tidak dikawinkan dengan ilmu-ilmu intuisi (jiwa). Bahaya ketika Tuhan dalam bentuk konsep tidak pernah dipertemukan dengan Tuhan yang hakiki. Sesat kita. Itu terjadi pada kita semua.

Sama halnya dengan Musa, ahli hukum terbaik di zamannya. Ketika ditanya oleh Bani Israil apakah ada orang yang paling tau selainnya, dia menjawab: “tidak ada orang yang lebih cerdas dari aku”. Ia merasa tidak ada pemikir/mujtahid yang paling hebat dimasa itu selain dirinya. Sampai kemudian ia bertemu Khidir, yang mengajarinya cara bermujahadah untuk mematikan semua akal, ijtihad atau pemikiran (QS. Al-Kahfi: 60-82). Baru setelah itu Musa memperoleh hikmah, kecerdasan iluminatif yang menjadikannya sebagai Kalamullah (mampu bercakap-cakap dengan Allah). Sehingga semua hukum syariat dan rasionalitas yang diusungnya menjadi Haqq.

Abu Hanifah/Nukman bin Tsabit (699-767 M), sang mujtahid awal dalam mazhab fikih Sunni yang dijuluki “Imam Al-‘Adhzam”. Ia juga mengalami hal serupa. Walau telah menyelesaikan 600.000 ribu perkara dalam urusan fikih, ia berkata, “Kalau bukan karena dua tahun bersama Imam Jakfar, celakalah aku”. Law la sanatan, lahalaka Nukman. Imam Jakfar Shadiq bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali as; adalah cucu Rasulullah yang hidup di Madinah (702-765 M). Ia bukan hanya ahli fikih, tapi juga qutub spiritual dan maha guru berbagai ilmu. Ia adalah khizir-nya Abu Hanifah dan sejumlah ulama dimasanya. Semua sanad tarikat dalam dunia Islam hari ini tersambung kepadanya. Dalam tradisi muslim Syiah, ia menjadi imam ke-6.

Ulama mujtahid (pemikir tekstual dan rasional) itu banyak. Makanya, kalau mereka meninggal tidak khawatir kita. Banyak penggantinya. Sekolah untuk mendidik orang- orang seperti itu juga ada dimana-mana. Tapi mujtahid yang juga ahli mujahadah (sufi), itu sedikit. Karenanya, ulama yang sejati itu sebenarnya sedikit. Sebab, mereka harus seperti seorang nabi, atau mewarisi karakter nabi, menguasainya keduanya: ilmu dunia (teks dan pemikiran rasional) dan ilmu akhirat (cara berkomunikasi dengan Allah). Karena itu, meninggalnya orang-orang langka seperti ini sangat ditangisi.

Penutup

Islam tidak melarang orang untuk berfikir/berijtihad/berfilsafat (memaksimalkan potensi akal dan inderawi). Dengan menjadi agamawan ataupun ilmuan. Tapi harus sejalan dengan pengembangan kekuatan zikir (potensi ruh/qalbu), sehingga nafsu tidak menggiring kita kepad kecelakaan berfikir dan bertindak. Sebab, akal hanya mampu menjangkau ontologi kelas bawah (realitas fisik dan konseptual). Sementara zikir mampu membawa manusia sampai kepada kebenaran tertinggi (realitas hakiki).

Pendidikan kita memang masih banyak kekurangannya, belum tuntas memanusiakan manusia (menjadi “insan kamil”). Potensi ruh belum tersentuh oleh sistem edukasi. Sementara metode hafalan, pengayaan akal dan observasi empirik sudah terlalu canggih. Ini menjadi gap yang harus segera dicarikan solusi. Harus segera dicari para wali, qutub atau khizir untuk mengisi celah ini. Janji Tuhan harus ditagih, karena katanya, Dia selalu mengirim para (waris) rasul ataupun pembawa petunjuk di setiap tempat dan masa. Untuk mensucikan jiwa, agar ilmu-ilmu hikmah dapat memperkuat potensi pikir.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

3 thoughts on “MENUTUP PINTU IJTIHAD, MEMBUKA PINTU MUJAHADAH

Comments are closed.

Next Post

AGAMA ITU ARGUMEN

Mon Apr 3 , 2023
AGAMA […]

Kajian Lainnya