NUR (MUHAMMAD): “VARIABEL MEDIATOR” DALAM BERMAKRIFAT

Jurnal Suficademic | Artikel No.45 | April 2023

NUR (MUHAMMAD): “VARIABEL MEDIATOR” DALAM BERMAKRIFAT
Oleh: Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Riset yang paling prinsipil dalam kehidupan manusia adalah riset (pencarian) Tuhan. Ini riset paling kuno dalam sejarah manusia. Sejak awal manusia ada, sudah muncul pertanyaan-pertanyaan: Apakah Tuhan itu ada? Bagaimana cara berhubungan dengan-Nya? Para nabi mungkin termasuk dari para kelompok researchers yang rajin menerapkan jenis riset jenis ini. Mereka berhasil menemukan Tuhan, serta mampu berhubungan secara efektif dengan-Nya.

BACA: “Ibrahim mencari Tuhan” dalam Syariat-Tarikat-Hakikat-Makrifat: Metode Ilmiah dalam Beragama.

Terkait metode pembuktian ilmiah “Apakah Tuhan itu ada” telah kami bahas dalam beberapa artikel sebelumnya, seperti: “Relasi Agama dan Sains dalam Empat Level Ontologi”, “Spiritual and Scientific Observation, Usaha Menembus Petala langit dan Bumi”, dan “Teknologi Ruh, Alat Pembuktian Hipotesa Relijius”. Kali ini, dengan meminjam kerangka pikir ilmiah, kita akan membahas “Pola Hubungan Manusia dengan Allah”.

Tiga Pola Sederhana Hubungan X dan Y

Riset ilmiah dibangun dengan “paradigma tauhid” (keesaan/kesatuan). Penelitian dilakukan untuk menyatukan berbagai variabel yang terpisah, sering disimbolkan sebagai X dan Y, dalam satu realitas pengetahuan. Variabel X disebut “variabel independen” (bebas). Sedangkan Y dinamakan “variabel dependen” (variabel terikat/tergantung).

Ketika variabel-variabel ini dapat disatukan, terjadilah “kesatuan pandangan” (wahdatul syuhud) terhadap sebuah objek pengetahuan. Pada level lebih tingggi bahkan diperoleh “kesatuan wujud” (wahdatul wujud), bahwa antar variabel itu sebenarnya saling terkait (menyatu). Sesuatu terjadi karena ada penyebab, tidak berdiri sendiri. Segala realitas yang ada, meski terlihat berbeda dan terpisah-pisah, itu sebenarnya manunggal (ahad). Semua menyatu melalui mekanisme hubungan tertentu.

BACA: “Ontologi Tauhid, Membangun Paradigma Sufistik dalam Riset Saintifik”

Hubungan variabel X dan Y bisa terjadi dalam berbagai pola, kita ambil contoh tiga saja. Pertama, Variabel X bisa saja mempengaruhi Y secara langsung. Dalam kasus ini digambarkan bagaimana Metode Mengajar dapat mempengaruhi Prestasi Mahasiswa secara langsung (Diagram 1).

DIAGRAM 1: Hubungan langsung antara variabel X dan Y (Metode Mengajar dapat mempengaruhi secara langsung Prestasi Mahasiswa)

Kedua, hubungan X dan Y terhijab, tidak bisa langsung. Sehingga membutuhkan variabel lain untuk memediasi hubungan/pengaruh antar keduanya. Pada kasus ini dijelaskan bagaimana Tingkat Pendidikan misalnya, dapat berpengaruh terhadap Tingkat Penghasilan setelah di mediasi oleh Jenis Pekerjaan (Diagram 2).

DIAGRAM 2: Hubungan X dan Y dimediasi oleh variabel lainnya (Tingkat Pendidikan tidak dapat mempengaruhi secara langsung Tingkat Penghasilan, kecuali dimediasi oleh Jenis Pekerjaan. Mediating variabel (variabel antara) sifatnya abstrak, tidak dapat diamati/diukur.

Ketiga, hubungan X dan Y bisa langsung. Namun kuat atau lemahnya hubungan mereka berdua tergantung kehadiran faktor lain yang memoderasi relasi antara keduanya. Dalam kasus ini diuraikan bagaimana Motivasi Belajar dapat mempengaruhi Prestasi Mahasiswa. Namun kuat atau lemahnya hubungan ini ditentukan juga oleh Lingkungan Belajar.

DIAGRAM 3: Hubungan X dan Y yang dimoderasi oleh variabel lainnya (kuat atau lemahnya hubungan Motivasi Belajar terhadap Prestasi Mahasiswa dipengaruhi oleh Lingkungan Belajar)

Tiga bentuk hubungan X dan Y ini (langsung, dimediasi dan dimoderatori) akan menjadi kerangka diskusi kita dalam memahami: “Pola Hubungan Manusia (X) dengan Allah (Y)”. Dalam kasus ini, manusia kita simbolkan sebagai variabel independen/bebas (X). Sedangkan Allah sebagai variabel dependen/terikat/tergantung (Y). Dalam makna, manusia adalah makhluk bebas. Bagaimana Allah dapat dihubungi/diakses/didekati sangat tergantung kepada kemampuan manusia dan faktor-faktor lainnya.

Hubungan Manusia dengan Allah: Bisa Langsung?

Kalau manusia bisa berhubungan secara langsung dengan Allah, tentu Anda sudah lama mampu bercakap-cakap secara interaktif/dialogis dengan Allah. Kalau hubungan dengan Allah bersifat langsung, Anda pasti mampu melihat dan mendengar Dia berbicara. Kenyataannya, kita semua seperti orang “tuli, bisu dan buta”. Ini semua terjadi akibat tidak rujuk (tersambung) dengan-Nya. Shummun bukmun ‘umyun fahum la yarji’un (QS. Al-Baqarah: 18).

Kenapa hubungan kita dengan Allah tidak bisa langsung?

Sebab, kita dengan Dia unsurnya berbeda. Kita maujud, Dia Wajibul Wujud. Kita kasat, Dia maha gaib. Kita materi, Dia immateri murni. Bagaimana mungkin kita bisa berhubungan langsung, sementara Dia tidak serupa dengan apapun, “laitsa kamislihi syai-un” (QS. Asy-Syura: 11). Dia dianggap sangat jauh (transenden), tidak terjangkau dan entah dimana. Mungkin di langit sana, di ‘Arasy yang tidak teraba oleh akal dan indera. Sehingga, menyembahnya secara langsung adalah sesuatu yang mustahil.

Agama dalam perspektif syariat seperti itu, Tuhan jauh dan tidak terlihat. Pengalaman spiritual dalam bertuhan susah diperoleh. Tuhan tidak bisa dijangkau secara langsung. Bahkan, kalau ada yang mengaku bisa berkomunikasi dengan Tuhan, akan dianggap gila dan tunggu keluar fatwa sesatnya. Sejak dulu para nabi dituduh sesat. Sebab mengaku mampu berinteraksi dengan Allah. Banyak guru spiritual yang dianggap pendusta. Walau memang banyak juga yang “kadzab” (pembohong).

Meskipun Tuhan demikian jauh (tidak dapat diakses secara langsung), tetap saja Dia ingin kita sembah, walau secara “buta”. Sebab, keinginan menyembah Allah ada secara fitrah dalam diri semua orang. Berbagai ritual dilakukan sebagai bentuk pengabdian terhadapnya. Namun, beribadah dalam kondisi seperti ini, potensi musyriknya tinggi. Sebab Wujud yang disembah tidak jelas yang mana. Cuma namanya saja yang diketahui, tanpa tau wajah dan alamatnya.

Setelah melihat nature manusia dan Tuhan yang seperti ini, dapat dipastikan, hubungannya “tidak langsung”. Tuhan berbeda ontologi dengan kita. Realitasnya tidak tercerap sama sekali. Maka sebagaimana disinggung dalam Quran: “Daging dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah .. (QS. Al-Hajj: 37). Semuan dimensi fisik material dalam mengabdi kepada Allah (daging dan darah, hafalan dan bacaan, rukuk dan sujud) tidak akan pernah sampai kepadanya. Kecuali kita tau cara “mengirim” itu semua kepada-Nya.

Kesimpulan pertama, skema relasi antara variabel X dengan variabel Y yang bersifat “langsung” pada Diagram 1, tidak aplikatif untuk diterapkan pada hubungan manusia dengan Tuhan. Lalu, kenapa pula kita didoktrin bahwa tidak ada jarak antara Allah dengan manusia? Apakah ada cara untuk memiliki direct connection dengan Allah?

Bagaimana Cara Berhubungan dengan Allah?

Untuk menjawab ini, kita uraikan tiga pola hubungan manusia dengan Allah.

Pertama, “tidak langsung”. Seperti yang telah kita uraikan di atas (Diagram 1). Kita sama sekali tidak dapat berinteraksi secara “live” dengan Allah. Selama ini kita menganggap bahwa Allah selalu mengawasi kita, tapi dalam kesadaran yang spekulatif. Kita hanya sekedar “merasa” (berhipotesa), bahwa seolah-olah Dia mendengar semua doa kita. Dalam bahasa Padang, ini disebut “elok sangko” (husnuzhan). Cuma itu yang bisa kita lakukan, berbaik sangka. Dan ini menjadi dogma bagi kaum awam, agar tidak patah iman (putus asa).

Kedua, “semi langsung”. Walaupun tidak dapat berinteraksi/berkomunikasi secara aktif dengan Allah, manusia dapat berhubungan dengan “hukum-hukum Allah” yang menguasai alam (sunnatullah). Alam ini ciptaan Tuhan. Alam ini tidak tercipta dari kekosongan. Melainkan lahir atau terjadi sebagai akibat dari emanasi Dirinya. Alam tidak berdiri sendiri. Jadi, Alam bukan Tuhan. Melainkan maujud, manifestasi atau “pancaran” dari aspek keberadaan Tuhan.

Meskipun alam ini bukan dalam rupa/wujud azali Tuhan yang maha misterius itu, namun dalam tubuh alam ada “ruh alamiah” (hukum-hukum/kekuasaan) yang dengannya alam memiliki kecerdasan. Ruh alamiah atau sunnatullah ini dapat juga disebut sebagai “malaikat-malaikat” (الملائكة) yang bertugas mengelola semua dimensi. Malaikat-malaikat ini bukan Tuhan. Melainkan hukum-hukum kreatif Tuhan yang menguasai alam (baik di alam mikro maupun makro). Malaikat diambil dari kata al-malak (ملاك), artinya “kekuatan”. Hukum-hukum ini punya kekuatan/mekanisme alamiah untuk menurunkan hujan, mencabut nyawa dan lainnya. Manusia bisa menyerap berbagai kekuatan ini. Kalau level Ruh Anda lebih tinggi dari keberadaan malaikat-malaikat ini, alam bisa tunduk kepada Anda. Itulah Mukjizat, kekuatan adikodrati (supranatural) yang melampaui hukum-hukum standar yang ada di alam.

Alam semesta, langit dan bumi, dipenuhi “malaikat” (cahaya/hukum-hukum Tuhan). Karenanya, semua benda langit; mulai dari yang terbesar sampai unsur Atom senantiasa “bertasbih” (memiliki gerak tawaf). Keberadaan unsur-unsur malakut membuat sesuatu yang ada di alam secara alamiah punya kesadaran untuk tunduk, patuh atau pasrah kepada Allah. “Hanya kepada Allah tunduk segala yang di langit dan di bumi secara sukarela atau terpaksa (QS Al-Ra’d: 15). “Bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepada-Nya” (QS. Al-Baqarah: 116). “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sungguh, Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun” (QS. Al-Isra: 44).

Jadi, manusia tidak dapat berhubungan langsung dengan Allah. Tapi dapat memiliki hubungan “semi langsung” melalui kepatuhan/pemanfaatan hukum-hukum Allah (sunnatullah). Hukum Allah di alam ini ada dua: Pertama, hukum yang menguasai alam fisika. Kedua, hukum yang menguasai kehidupan sosial. Dengan menguasai alam, sebuah bangsa akan maju secara sains dan teknologi. Dengan menguasai hukum-hukum sosial (syariat dan etika); sebuah bangsa akan berbudaya, tertib dan beretika. Nilai-nilai syariat dan etika (yang ada dalam Quran) itu universal sifatnya. Sementara fikih, itu bersifat lokal.

Keberadaan dua hukum ini merupakan bagian dari sifat “Rahman”-nya Allah, tanpa pandang bulu. Siapapun yang mempelajari sunnatullah pasti akan memiliki kekuatan untuk menjadi bangsa berperadaban. Kafir sekalipun bisa maju kalau menguasai hukum-hukum sosial dan fisika. Yunani pernah maju selama 7 abad (800-150 SM) karena penguasaan ilmu-ilmu ini. Dunia muslim juga pernah maju selama 7 abad (650-1250 Masehi) karena menekuni sains dan filosofi. Dunia Barat sejak tahun 1600an sampai sekarang, juga sudah 5 abad menikmati kemajuannya. Kalau kita lihat peran Amerika dan Eropa juga sudah mulai melemah dihadapan Cina dan sekutunya. Mungkin akan bertahan satu atau dua abad lagi, sebelum roda berputar kembali. Atau mungkin lebih cepat.

Namun, secanggih dan semaju apapun kita dengan segala kemampuan rasional dan empirik itu, tetap menyisakan setengah “kekosongan” dalam diri. Dan itu cukup lebar untuk membuat kita terus was-was (feeling alienated) seumur hidup. Sebab, Allah yang menjadi puncak tujuan pencarian (fokus utama riset manusia) belum dapat dirasakan secara langsung kehadiran-Nya. Kita bisa mencapai bulan, Mars, Pluto sampai ke galaksi lainnya. Mungkin sejenak kita akan bahagia dengan semua pencapaian itu. Tapi hakikat perjalanan kita bukan ke situ. Kebahagiaan hakiki bukan pada pencapaian di bumi an sich. Melainkan ketika kita bisa tembus ke langit ukhrawi (ke rumah asal dari wujud spiritual Adam dari setiap kita, ke Tuhan, ke ‘surga’).

Sayangnya, itu tidak akan terjadi kalau kita tidak menyempurnakan jiwa (tali penghubung dengan Allah). Kita harus membuat hubungan dengan Allah menjadi wushul (tersambung). Inilah bentuk hubungan ketiga, “langsung”. Dan variabel yang menjembatani/memediasi kita untuk dapat berhubungan secara langsung dengan Allah adalah (Nur) Muhammad. Selanjutnya akan kita bahas Nur Muhammad secara detil. Karena dialah “tali Allah”, Ruh yang dapat menghubungkan langsung jiwa kita dengan Allah. “Berpegang teguhlah kalian semua dengan tali Allah dan jangan bercerai berai” (QS Ali Imran: 103).

Di Quran sendiri ada petunjuk, bahwa manusia pada prinsipnya dapat berkomunikasi secara langsung dengan Allah. Tapi itu terjadi pada wujud spiritual, pada alam lebih awal sebelum mengalami materialisasi. Yaitu alam cahaya, alam ruh, “alam idea”, alam tajalli awal, alam emanasi sebelumnya, atau alam sebelum manusia bermutasi dalam wujud materi. “Alastu birabbikum, qalu bala syahidna” (QS. Al-A’raf: 172). Percakapan langsung antara jiwa/ruh kita dengan Allah ini pernah terjadi di alam Cahaya/Ruh. Dan akan kita buktikan, ini memungkinkan kembali terjadi jika seseorang dengan potensi jiwanya dapat mencapai, atau paling tidak membangun irisan dengan Wujud ini.

BACA, “Alastu Birabbikum”, Alam Dialog dan Penyaksian

Selanjutnya akan kita bahas tentang apa itu “Nur Muhammad”? Dari bahasan ini akan kita ketahui, bahwa Nur ini memiliki dua fungsi: (1) Sebagai “Materi Awal” dalam penciptaan seluruh alam; (2) Sebagai “Makhluk Cerdas” utusan Tuhan.

Nur Muhammad, “Materi Awal

Sebenarnya tidak ada yang namanya “Nur Muhammad”. Di Quran yang ada hanya “Nur”. Nur Allah, bahkan Allah itu sendiri sebenarnya tidak punya nama, kecuali kita beri nama, atau Dia sendiri memperkenalkan diri-Nya. Hanya saja, Nur (cahaya) itu diketahui secara ontologis wujudnya bertingkat-tingkat. Untuk menggambarkan jenis Nur pada tingkat tertinggi, para sufi menggunakan nama ini: Nur Muhammad. Nama lainnya juga banyak, seperti: Al-Haqiqah Al-Muhammadiyah (Hakikat Muhammad), Al-Qalam Al-A’la (Pena Tertinggi), amr Allah (urusan Allah), Al-Malak (Kekuatan), Al-Ruh, Al-Ruh Al-Ilahi (Ruh Allah), Al-Ruh al-Quddus (Ruh Suci) dan Ruhul Muqaddasah Rasulullah. Para Filsuf seperti Al-Farabi menyebutnya sebagai Al-‘Aqal Al-Awwal (Akal Pertama/Utama). Untuk menggambarkan kedekatan hubungan Nur ini dengan Allah, huruf awalnya sering ditulis dengan kapital. Ataupun diberi alif lam makrifah sebagai identifikasi khusus untuk jenis Ruh/Cahaya tertinggi ini.

Dalam Quran ada satu ayat yang berbicara tentang cahaya secara sangat spesifik:

۞ اَللّٰهُ نُوۡرُ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضِ ​ؕ مَثَلُ نُوۡرِهٖ كَمِشۡكٰوةٍ فِيۡهَا مِصۡبَاحٌ​ ؕ الۡمِصۡبَاحُ فِىۡ زُجَاجَةٍ​ ؕ اَلزُّجَاجَةُ كَاَنَّهَا كَوۡكَبٌ دُرِّىٌّ يُّوۡقَدُ مِنۡ شَجَرَةٍ مُّبٰـرَكَةٍ زَيۡتُوۡنَةٍ لَّا شَرۡقِيَّةٍ وَّلَا غَرۡبِيَّةٍ ۙ يَّـكَادُ زَيۡتُهَا يُضِىۡٓءُ وَلَوۡ لَمۡ تَمۡسَسۡهُ نَارٌ​ ؕ نُوۡرٌ عَلٰى نُوۡرٍ​ ؕ يَهۡدِى اللّٰهُ لِنُوۡرِهٖ مَنۡ يَّشَآءُ​ ؕ وَ يَضۡرِبُ اللّٰهُ الۡاَمۡثَالَ لِلنَّاسِ​ؕ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَىۡءٍ عَلِيۡمٌ ۙ‏ ٣٥

Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, seperti sebuah lubang yang tidak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca, (dan) tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. An-Nur: 35)

An-Nur: 35 ini membahas dua hal: proses penciptaan dan cahaya. Dikatakan bahwa alam semesta, langit dan bumi (metafisik dan fisik) diciptakan oleh Allah melalui ontologi cahaya. Allah adalah sumber atau bahkan “cahaya” itu sendiri. Alam semesta berwujud/tercipta karena kehadiran cahaya. Artinya, alam semesta yang merupakan cahaya, dengan Allah sebagai sumber cahaya, itu tidak terpisah. Pada lapisan tertinggi dari bentuk cahaya, awal dari cahaya, disebut Nurun ‘Ala Nurin (Cahaya di atas cahaya). Ayat ini menjadi inspirasi para filsuf/ulama untuk memahami cahaya dan proses kejadian secara lebih dalam.

Karena itu, kami meminjam istilah “emanasi” yang diperkenalkan oleh muallimuts tsani: Al-Farabi (872-951 M) guna membahas filosofi penciptaan dan level cahaya. Jika dimisalkan, seberkas cahaya terbit dari sebuah “sumber”. Cahaya itu akan terus terpancar (mengalami emanasi) dalam rentang jarak dan waktu dari sebuah tabung/prisma. Maka disitu ada yang disebut “cahaya awal”, yang terus bergradasi sampai kepada warna/cahaya terakhir. Warnanya terus berubah, bertajalli, termanifestasi dalam aneka penampakan (partikularitas).

Tuhan sebagai sumber Cahaya tentu sangat misterius. Dia punya Wujud, tapi tidak bisa dilihat. Sama seperti halnya matahari, berwujud tapi tidak bisa ditatap. Yang terlihat hanya cahayanya. Dan cahaya itu merupakan sesuatu yang lahir secara langsung dari matahari, bahkan menyatu dan tidak ada celah di antara keduanya. Cahaya matahari juga membawa “kekuatan” (sifat-sifat matahari). Ketika Anda melihat ke arah matahari, yang terlihat hanya cahayanya. Itulah matahari, yang aktual (menampakkan dirinya) dalam wujud cahaya; yang bergradasi (beremanasi) sesuai jarak tempuhnya. Penampakan matahari di bumi juga sesuai wadah/celah yang ia lewati.

Begitulah relasi Tuhan sampai ke alam dibawahnya. Tuhan adalah sumber cahaya. Cahaya pertama yang aktual dari Diri-Nya adalah “Cahaya di atas cahaya”. Cahaya ini terus mengalami “emanasi” sampai ke cahaya terujung dalam wujud jiwa (tubuh halus/forma), sampai kemudian mengalami mutasi ke wujud materi (tubuh kasar/materi alam). Tapi hakikat semua cahaya ini adalah satu dan manunggal, sama sekali tidak terpisah dari sumbernya (Ahad).

Alam material sekalipun, walau terlihat kasat secara inderawi, juga berasal dari cahaya. Ini telah dibuktikan oleh fisika kuantum. Atom (elemen terkecil dari materi) tersusun dari proton, neutron dan elektron. Semua elemen ini, ketika di zoomkan lebih lanjut ternyata tersusun dari pusaran cahaya (quark). Cahayanya bertingkat sampai kepada wujud yang sangat halus dan tidak terobserve lagi oleh kecanggihan teknologi terkini. Jadi, antara kita makhluk materi, dengan cahaya (quark), dan bahkan sampai ke Cahaya di atas cahaya; itu bersambung dalam satu garis pancaran cahaya. Hanya saja, karena kuatnya kesadaran materialisme terhadap diri, menyebabkan kita kehilangan kesadaran spiritual sebagai “makhluk cahaya”.

LIHAT VIDEO: “Fisika Kuantum Fisik Membenarkan, Dunia Ini Fana”
BACA: “Ahsani Taqwim, Asfala Safilin: Manusia dalam Dua Wujud Ekstrim”
BACA: Min Sulalatin Min Tin: Adam Tercipta dari tanah, Tanah tercipta dari Apa?

Maka benar seperti disinggung oleh An-Nur ayat 35, “langit dan bumi” (alam mikro dan makro, jiwa dan tubuh), tercipta dari cahaya. Termasuk materi, itu lahir dari proses gerak (emanasi) cahaya. Materi muncul pada gradasi terakhir dari cahaya. Dari emanasi jiwa (forma) terbentuklah materi. Semua materi punya jiwa (wujud cahaya). Karena berada pada wujud cahaya terujung, materi sifatnya lemah. Materi tidak mampu lagi beremanasi/bermutasi menjadi makhluk selanjutnya. Tidak ada alam lagi dibawah materi. Materi sudah berada pada alam paling rendah. Kita manusia secara materi adalah makhluk “disudut” semesta. Karenanya, kita akan musnah/binasa. Materi hanya bisa beriluminasi untuk kembali kepada cahaya. Materi harus menempuh perjalanan untuk kembali kepada Tuhannya. Hanya itu cara untuk menghindari nihilisme, cara untuk bahagia (abadi).

Manusia, kalau hanya mengandalkan dirinya sebagai makhluk materi, tidak akan pernah mampu berhubungan secara “langsung” dengan Allah. Sebab, wujudnya beda. Allah itu wujud cahaya spiritual. Jika ingin mengakses Allah, manusia harus membangun kesadaran dirinya sebagai makhluk spiritual/cahaya. Karena itu perlu metode untuk membawa manusia untuk naik ke berbagai level kesadaran cahaya/ruh. Sampai mampu terkoneksi dengan “Cahaya di atas cahaya” (Nur Muhammad). Dan ini merupakan pekerjaan utama dalam perjalanan riset spiritual (sayr wa suluk)

Nur Muhammad, Cahaya yang Berkesadaran (The First Intellect)

Karena Nur Muhammad merupakan entitas Cahaya pertama, maka disebut juga sebagai Al-Haq Al-Makhluk bih (Hakikat Makhluk), Asy-Syajarah Al-Baidha (Pokok Sejarah). Semua alam/makhluk setelahnya tercipta dari proses emanasi Ruh/Cahaya ini. Cahaya ini terus menciptakan alam/wujud selanjutnya sampai ke level materi. Artinya, “Cahaya” ini seperti makhluk yang sangat cerdas. Ia, dengan izin/potensi/ilmu/kekuatan Tuhan yang ada padanya mampu berkreasi sedemikian rupa. Cahaya ini merupakan jenis “Makhluk” yang dari dirinya mampu mengaktualkan berbagai wujud setelahnya. Karena itu Al-Farabi menyebut Esensi ini sebagai Akal Awal (The First Intelligence). Akal Awal merupakan co-Creator, makhluk spiritual, representasi dari Tuhan yang super kreatif.

Karena ia esensi spiritual, maka juga disebut Ruh. Ruh juga wujud dari Cahaya. Kata ini bisa ditulis dengan “Ruh” (R besar), ataupun “ruh” (r kecil). Maknanya bisa sama (sama-sama entitas ruhani/immateri). Sekaligus bisa berbeda (karena alam cahaya/ruhani bertingkat-tingkat). Karenanya ada ulama yang coba mengurai berbagai wujud ruhaniah ini dalam istilah seperti jiwa, qalbu, ruh, sirr dan sebagainya. Ribet sekali memang. Kita tidak akan masuk dalam kerumitan istilah. Kita akan membahasnya dalam bahasa yang umum.

Ruh (Nur Muhammad) ini tidak hanya menjadi ‘materi’ awal dalam penciptaan semua jenis alam. Ia juga menjalankan misinya sebagai “utusan” Tuhan. Dalam berbagai konteks, ia disebut sebagai Jibril (Akal, Vibrasi, Gelombang, Cahaya, Wahyu, Kalam Tuhan). Dia pemimpin para malaikat. Semua kekuatan malakut yang ada di alam fisik dan metafisik tunduk kepadanya. Sebab, dari Nur/Ruh/The First Intelligence inilah semua makhluk nur lainnya (para malaikat) tercipta.

Nur Muhammad sebagai sebuah “Kecerdasan Spiritual” tidak hanya melekat di alam dalam berbagai gradasi wujud malakutnya. Ia juga mencari wadah yang dapat membuat Dia lebih hidup. Wadah itu adalah manusia. Manusia memang makhluk materi, yang segala bentuk kebodohan dan kelemahan ada disana. Tapi uniknya, ia juga makhluk yang punya potensi untuk menerima kehadiran Ilahi. Ada unsur dalam dirinya yang membuat ia dapat menampung kehadiran Ruh, sesuatu yang tidak dapat ditampung oleh elemen kosmik lain. Karena kemampuan menerima Nur Muhammad ini, manusia menjadi makhluk sempurna. Menjadi tajalli, cahaya atau citra terkuat Tuhan di muka bumi/alam semesta.

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (QS. Al-Ahzab: 72)

Nur Muhammad merupakan “amanat” (kiriman/utusan) Allah, sesuatu yang langit dan bumi tidak mampu menerimanya. Ketika sekelompok orang melalui mujahadah spiritualnya mampu mendownload Ruh ini dalam dada, mereka akan diangkat menjadi “utusan” Allah. Sebenarnya bukan orangnya yang menjadi “utusan” Allah, melainkan Nur yang ada dalam diri mereka. Sekalipun unsur fisik mereka berdimensi basyariah, gara-gara tercelup dalam Ruh Quddus ini, semuanya menjadi maksum. Sehingga, segala tindak tanduk dan bicara mereka berubah menjadi titah hukum atau hadis (sunnah/sunnatullah). Seolah-olah, mereka adalah Tuhan yang sedang berbicara. Bukan seolah-olah, memang iya. “Dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut keinginannya; tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan” (QS. An-Najm: 3-4).

Karena inilah, Al-Jilli sampai berani mengatakan: “Qul Huwallahu Ahad” (QS. Al-Ikhlas; 1). Katakan, Huwa (dia laki-laki yang suci itu, yaitu Muhammad) adalah (tajalli/emanasi dari) Allah yang Ahad. Bukan Muhammad dalam wujud materialnya itu yang ia sebut sebagai Allah. Melainkan esensi Wujud dibalik jasadnya. Karena itu, dalam tasawuf, sosok Muhammad dibagi dua: (1) Muhammad bin Abdillah (makhluk material/basyar), dan (2) Muhammad “Nur” (Cahaya/esensi Allah). Kedua unsur ini menyatu dalam satu diri.

Jadi, nama “Muhammad” sengaja dilekatkan pada Nur. Sehingga menjadi Nur Muhammad. Para sufi menganggap Muhammad adalah sosok agung yang telah menjadi wadah aktualnya kehadiran Nurullah (Nurun ‘ala nurin). Sebenarnya tidak ada hubungan antara Nur ini dengan Muhammad sebagai manusia. Cahaya ini sudah ada sejak zaman azali. Jauh sebelum sosok Muhammad ada. Namun karena ia menjadi figur idola yang diramalkan kemunculannya oleh para nabi sebelumnya, sekaligus panutan para wali setelahnya, maka istilah Nur Muhammad dianggap paling tepat untuk elemen Cahaya ini. Kata Nabi SAW: “Aku sudah menjadi nabi sebelum Adam menjadi nabi”, itu merujuk kepada eksistensi Nur yang ada dalam dirinya.

Para Nabi adalah “Wasilah/Mediator”, Pembawa Entitas Nur Muhammad

Jadi, Nur Muhammad adalah unsur Maha Hidup dan Super Cerdas yang menjalankan dua fungsi. Pertama, menjadi “Partikel Awal” yang melahirkan alam semesta. Kedua, menjadi “Utusan Allah” untuk alam semesta yang vibrasinya aktual dalam diri para nabi dan wali-walinya.

Dengan demikian, Nur Muhammad adalah spirit/jiwa/ruh yang melekat pada keseluruhan alam dalam berbagai bentuk kesadaran/kekuatan malakut (malaikat). Sekaligus The Spirit (Ruh) yang hidup dalam jiwa para nabi dan wali-walinya. Ruh dalam jiwa para nabi lebih tinggi nilainya dari para ruh (kekuatan malakut) yang ada di alam. Karena itu, seorang nabi dikatakan “penghulu alam”. Seorang nabi lebih tinggi pangkat derajatnya dari malaikat. Karena elemen Ruh (Nur Muhammad) inilah manusia bisa melampaui malaikat. Ruh adalah pemimpin para malaikat.

Ruh (Nur Muhammad) sebagai elemen aktif kerasulan tidak pernah mati. Ia abadi. Ia telah ada sejak zaman azali. Ia pernah dicerap oleh Adam as sehingga membuatnya menjadi nabi pertama utusan Tuhan. Unsur yang sama terus terwarisi sampai kepada Muhammad SAW. Dan itu belum berhenti, akan terus terwarisi sampai kiamat, ke dada orang-orang yang menjadi pewarisnya. Kalau Ruh ini dicabut, kiamat semua. Karena, Ruh merupakan eksistensi Tuhan di alam semesta, yang aktual melalui para nabi/wali/khalifah-Nya.

Ketika Nabi Muhammad SAW akan wafat, ia mewariskan sesuatu kepada umatnya. Yaitu, “Quran dan Ahlul baitnya” (HR. Muslim). Kenyataannya, Nabi tidak pernah mewarisi “teks” (buku/kitab Quran) kepada anak cucu atau sahabatnya. Fragmen material dari Quran justru paska nabi baru dikumpulkan. Mushaf Quran selesai dikompilasi, disusun dan disalin pada masa khalifah Usman. Jadi, Quran yang diwariskan nabi bukan dalam bentuk buku/teks kitab. Melainkan Quran yang qadim dalam bentuk “Nur”, yang isinya adalah malaikat dan Ruh (tanazzalul malaa-ikatu war Ruh, QS. Al-Qadar: 4). Hanya kepada orang-orang suci Quran jenis ini dititip dan akan terus diwarisi/diturunkan sampai akhir zaman. Kalau belum menempuh jalan kesucian, kita tidak akan bisa memperoleh Quran (Nur/Ruhani Muhammad) ini. “Tidak dapat menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (QS. Al-Waqi’ah: 78).

Nabi telah menitipkan Quran batiniah (gelombang Cahaya/Ruh) ini dalam dada orang-orang tertentu, untuk diteruskan ke dada orang-orang sampai akhir zaman. Makanya ada konsep “al-mahdi” (para pembawa hidayah). Sampai akhir zaman sekalipun, tetap ada orang-orang (Qutub/Al-Wali/penguasa Wilayah Ketuhanan) yang membawa gelombang langit (Nur Muhammad). Mereka menjadi mediator, wasilah, channel atau frekuensi bagi kita untuk mengakses Allah.

Menemukan Mediating Variabel (Wasilah)

Para nabi dan wali-wali penerusnya adalah wasilah, tali Allah, mediator, atau Nur Muhammad carrier. Apakah mereka ini “perantara” untuk kita berhubungan dengan Allah?

Ada dua bentuk “perantara”. Pertama, sebagai “penghubung pasif”. Ini mirip sejumlah broker atau asisten presiden yang menyerap aspirasi dari Anda, lalu dia sampaikan kepada presiden. Anda sendiri sampai mati tidak pernah bisa bertemu presiden. Semua bentuk perantara seperti ini disebut “berhala” (patung). Objek atau orang-orang seperti ini tidak akan pernah membuat kita terhubung dengan Allah. Malah semakin terhalangi. Tidak ada Ruh yang ia upload dalam diri kita, sehingga dapat membuat kita tidak lagi berjarak dengan Allah SWT.

Kedua, sebagai “penghubung aktif”. Ini mirip Anda yang tidak kenal dan tidak tau presiden. Lalu ada asistennya yang datang memfasilitasi, memberikan nomor Hp dan memperkenalkan Anda kepada presiden. Sehingga Anda bisa menelponnya setiap saat. Ini bukan penghalang. Justru difasilitasi dan diberikan berbagai instrumen dan sinyal yang ia punya agar Anda dapat terhubung dengan presiden. Ini yang kita maksud “perantara aktif”, mediating variable, wasilah carier, atau tali Allah. Sesuatu yang jika dimiliki akan membuat kita tidak lagi berjarak dengan Allah SWT.

Tidak mungkin manusia sebagai makhluk materi (tanah) menjadi perantara menuju Allah. Sebab, sebagaimana kita ketahui, manusia secara fisikal tidak bisa berhubungan langsung dengan Allah. Wujud fisik mereka malah bisa menghalangi kita dalam menyembah Allah. Namun, siapapun yang membawa Wujud Spiritual, Nurun ‘ala nurin, Ruh Quddus, Asma, atau Kalimah Allah yang asli; dia berhak di “sujudi” dan “dishalawati”. Sebagai mana Adam disujudi oleh malaikat. Sebab ada unsur “Ruh” (Nur Muhammad) dalam dirinya, sesuatu yang dapat membawa kita kepada Allah. Ruh (Cahaya di atas cahaya) adalah sesuatu yang lebih tinggi dari malaikat (cahaya). Untuk itulah para nabi dan wali-walinya diutus, menjadi wasilah seluruh makhluk di alam pada setiap tempat dan masa.

Itulah Nur Muhammad, Cahaya/Gelombang Ilahi yang secara kullu jasad telah menjadi forma pada dimensi fisik seorang nabi atau wali dari bani Adam. Sehingga wajahnya menjadi karamah. Menciumi tangannya adalah berkah. Menatap wajahnya adalah ibadah. Mengingatnya mendekatkan kita kepada Allah. Menziarahinya merupakan sunnah. Mereka menjadi objek syahadah (wujud untuk disaksikan) agar kita dapat menyaksikan wujud Tuhan yang jauh disana.

Contoh lain dari wasilah (mediator aktif) adalah sebagai berikut. Bayangkan, di Eropa sana sedang ada piala Champion. Bisakah Anda yang tinggal di Indonesia meyaksikannya secara langsung? Tentu tidak. Kecuali dengan dua cara. Pertama, Anda langsung terbang kesana. Kedua, Anda nonton di TV. Nah, TV inilah yang disebut sebagai wasilah (mediating variabel). TV adalah benda fisik, namun pada dirinya ada cahaya/gelombang yang memancarakan secara langsung apa yang sedang terjadi di belahan dunia sana. Dengan TV inilah segala yang jauh menjadi dekat, bahkan bisa muncul di depan mata.

Keberadaan para nabi/wali juga dapat dipahami sebagai “hotspot”. Tugas mereka adalah berbagi sinyal/gelombang Ruh yang ada dalam diri kepada para pengikutnya. Doa-doa menjadi makbul (akan tersending) jika Anda menemukan hotspot dan sinyal kuat untuk pengiriman data ke alam sana. Tugas kita sebenarnya sederhana. Cari “spiritual hotspot” sebagai variabel mediator (wasilah). Lalu hubungkan ruhani/jiwa rendah kita dengan mereka. Otomatis akan tersambung dengan sebuah sebuah kekuatan yang tidak terhingga, dengan Nur Muhammad, sehingga akan mendapat respon dari Allah SWT.

BACA: “Spiritual Hotspots”

Kita berpikir, tidak mungkin di zaman moderen seperti sekarang ada orang-orang yang menjadi wali/utusan Tuhan. Anda harus memperbanyak belajar sejarah. Sejak dulu, dunia sudah berkali-kali mengalami kemoderenan. Mulai era Mesopotamia, Mesir, Yunani, Romawi, Persia, Cina, India dan berbagai tempat di belahan dunia lainnya. Itu peradaban maju semua. Tapi nabi tetap bermunculan. Sebab, pengetahuan tertinggi manusia bukan pada capaian filosofis dan sains alam. Prestasi terbesar adalah kemampuan bermakrifat (berhubungan secara langsung dengan Tuhan). Itulah mengapa, Allah tidak pernah berhenti mengirim orang-orang untuk mengajari ilmu ini, guna mengisi kekosongan spiritual manusia di setiap zaman.

Mendowload “Nur Muhammad

Kita semua punya ruh/jiwa (cahaya Tuhan pada wujud/gradasi yang sangat rendah). Jiwa/ruh ini dapat dipertemukan dengan Ruhullah/Ruhani Rasulullah (Nur Muhammad). Tentu keduanya bisa bertemu, sebab sama-sama elemen spiritual. hanya beda tingkatan saja. Cuma ada sedikit masalah. Keduanya tidak bisa langsung dilengketkan. Jiwa/ruh kita adalah sebuah forma (bentuk) dari tubuh. Jiwa merupakan tempat melekatnya dosa. Nur Muhammad yang maha suci itu tidak bisa menempati jiwa yang masih kotor. Sehingga seorang salik/spiritual observer harus menjalani proses “penyucian jiwa” terlebih dahulu, yang dibimbing seorang spiritual masters (nabi/wali). Beruntunglah orang-orang yang menjalani proses untuk menyempurnakan jiwanya melalui penyerapan variabel moderatif (Nur Muhammad). Sehingga dapat mendekatkan hubungannya dengan Allah:

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا (7) فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (8) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا (10)

“Dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (dengan kefasikan)” (Qs Asy Syams: 7-10).

Memang, saat penyucian dosa biasanya akan muncul rasa sakit. Gesekan gelombang Ruh (Nur Muhammad) dengan jiwa akan menimbulkan sedikit kontraksi atau rasa nyeri. Sebab, antara tubuh dengan jiwa (forma tubuh yang mungkin sudah sangat kotor itu), begitu menyatu. Nur Muhammad (melalui tangan para wali) bekerja untuk mengikis itu, guna mensucikan jiwa kita: “.. Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepadamu, dan menyucikan (jiwa) mu .. (QS. Al-Baqarah: 151); “.. Allah mengutus kepada mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, mensucikan (jiwa) mereka .. (QS. Aali Imran: 164); ,

Rasa sakit sebagai bentuk pengikisan dosa, sesuatu yang alamiah dialami para sufi dalam proses mujahadah (zikir/suluk). “Tidaklah menimpa seorang muslim suatu sakit, keletihan, kepedihan, kesedihan, hingga kecemasan yang dirasakannya, melainkan dengan semua itu Allah akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya” (HR Muslim).

Proses khalwat, suluk atau tarikat dalam Islam (seperti yang diajarkan para guru spiritual sejak era nabi), dengan berbagai 70.000 rasa yang dialami; bertujuan untuk “menyempurnakan jiwa” dengan cara memperkuat hubungan Nur Muhammad/Ruhani para nabi. “Dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (dengan kefasikan)” (Qs Asy Syams: 7-10).

Memperkuat Moderating Variable

Jadi, baik mediating variabel maupun moderating variabel, keduanya merupakan wasilah (variabel antara) dalam berhubungan dengan Allah. Tapi keduanya memiliki fungsi berbeda. Mediating variabel (Nur Muhammad/Ruh para nabi dan wali) merupakan elemen Ruh untuk membangun koneksi secara kuat dan langsung dengan Allah. Sedangkan moderating variabel (amal shaleh) bertujuan untuk memperkuat hubungan dengan Allah. Dengan syarat, seseorang sudah terlebih dahulu memiliki hubungan yang aktif (langsung) dengan Allah.

Disinilah kenapa orang-orang kafir dinilai tidak diterima disisi Allah. Mungkin amal mereka banyak dan baik-baik. Tapi tidak mau mengakui keberadaan utusan Tuhan. Mereka tidak punya “Rasul” sebagai mediating variabel untuk mengirim semua amal itu langsung ke sisi Allah. Makanya bershalawat kepada Nabi menjadi salah satu cara untuk mengkativasi gelombang Ruh agar semua amal ibadah Anda diterima-Nya. Rasul/Ruh/Nur Muhammad merupakan elemen cerdas. Kalau Anda menolaknya, Dia juga menolak Anda. Kalau Anda mendekatinya, Dia akan berlari mendekati Anda. Tidak hanya orang kafir, orang Islam juga begitu. Rajin sekali shalat. Tapi akan dianggap lalai/riya (QS. Al-Ma’un: 6) ketika tidak khusyuk (jiwanya tidak tersambung dengan elemen kerasulan/Ruh). Mediating variabel ini juga disebut sebagai “taqwa/ikhlas” (jiwa yang tersambung dengan Ruh/gelombang Ilahi).

Penutup

Dari kajian di atas, kita dapat menyimpulkan. Tugas dalam beragama ada dua. Pertama, cari mediator untuk dapat berhubungan secara langsung dengan Allah. Ini terkait dengan ilmu dan iman. Untuk mengenal dan berhubungan dengan Allah, pelajari dan temukan pembawa wasilahnya (nabi/wali/mursyid). Disinilah relevansi syahadat. Anda harus punya kemampuan untuk menemukan dan “menyaksikan” entitas kerasulan (Nur Muhammad) pada para pewaris nabi ini. Ketika berhasil menyaksikan Nur pada wajah mereka, maka otomatis Anda akan mampu “menyaksikan” Wajah Allah. Dua bentuk kesaksian ini saling terkait. Kesaksian kepada (Nur) Muhammad akan membawa Anda kepada Allah. Itulah makrifat.

Kedua, moderasi hubungan Anda dengan Allah melalui amal shaleh. Bangun hubungan atau adab yang baik dengan para pembawa wasilah Nur Muhammad. Bershalawatlah untuknya. Sering-sering berzikir. Perbanyak ibadah dan ubudiyah. Giatkan sedekah. Kerjakan amal kemanusian dan kebajikan lainnya. Semua ini menjadi faktor yang akan memperkuat, atau jika kurang amalnya, akan memperlemah hubungan kita dengan Allah.

Sebagai penutup, Al-Kahfi ayat 110 menjelaskan bahwa Nabi itu seorang manusia biasa (basyar). Pada dasarnya Beliau tidak bisa berhubungan langsung (berjumpa/liqa’) dengan Allah. Tapi, setelah mendapat elemen Nur Muhammad (Wahyu), barulah Beliau mampu menjangkau Tuhan yang Esa. Karena itu, Beliau berpesan agar kita tetap menjaga moderasi hubungan dengan Allah melalui amal shaleh. Serta memastikan agar kita tidak menyembah dan berwasilah kepada unsur-unsur syirik. Dengan demikian setiap kita dapat menjangkau yang Ahad secara baik:

قُلْ اِنَّمَآ اَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوْحٰٓى اِلَيَّ اَنَّمَآ اِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَّاحِدٌۚ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَاۤءَ رَبِّهٖ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَّلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهٖٓ اَحَدًا ࣖ

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu yang diwahyukan kepadaku bahwa Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Esa.” Siapa yang mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya hendaklah melakukan amal saleh dan tidak melakukan kesyirikan dalam beribadah kepada Tuhannya yang Ahad (QS. Al-Kahf: 110)

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

10 thoughts on “NUR (MUHAMMAD): “VARIABEL MEDIATOR” DALAM BERMAKRIFAT

  1. Allah, Muhammad, Adam

    Allah sebagai yang pertama (zat hidup yang ada sebelum ada penciptaan).

    Muhammad (Nur Muhammad) entitas kedua dari Allah. Nur Muhammad ini keluar atas kehendak Allah. Statusnya tidak dihambakan oleh Allah. Dari Nur Muhammad terciptalah alam semesta termasuk manusia (Adam).

    Adam terdiri dari 3 entitas. Pertama Nyawa, merupakan kepingan-kepingan abadi dari Nur Muhammad), kedudukannya sama, tidak dihambakan oleh Allah. Nyawa ini melekat pada setiap Adam (hamba) dan menjadi energi hidup setiap pribadi Adam. Nyawa inilah yang pertama hadir saat penciptaan dan keluar (meninggalkan) saat sakaratul maut setiap Adam.

    Kedua Ruh. Ruh ini lahir (tercipta) dari Nyawa (Nur Muhammad). Ruh inilah yang menjadi Adam (hamba/makhluk) yang berjanji di zaman azali sebelum terlahir ke alam materi akan menyembah Allah/Nur Muhammad/Nyawa. Di alam materi ini, Adam ketika berzikir (suluk/tirakat) dengan “washilatun fadhilah” melalui bimbingan mursyid tarekat sesungguhnya berusaha mensucikan dirinya untuk bertemu dengan Nyawa (Nur Muhammad).

    Dalam Risalah Al-Hamidiyah Ibnu Arabi ini disebut sebagai proses menuju perjumpaan. Ketika Adam berjumpa (“menyatu”) dengan diri-Nya (manifestasi Nyawa/Nur Muhammad dalam diri Adam), maka Adam menjadi “insan kamil”, menjadi manusia yang tercerahkan dan selalu diselimuti oleh jubah Ketuhanan.

    Wallahu’alam

  2. Pingback: "AHLULLAH"

Comments are closed.

Next Post

MENGENAL "MALAIKAT": USAHA MEREKONSTRUKSI IMAN KE LEVEL PARIPURNA

Sat Apr 8 , 2023
Jurnal […]

Kajian Lainnya