MENGENAL “MALAIKAT”: USAHA MEREKONSTRUKSI IMAN KE LEVEL PARIPURNA

Jurnal Suficademic | Artikel No.46 | April 2023

MENGENAL “MALAIKAT”: USAHA MEREKONSTRUKSI IMAN KE LEVEL PARIPURNA
Oleh: Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Wujud asal manusia adalah Allah. Allah adalah sumber segala wujud/cahaya. Pada awalnya hanya ada Dia, dalam kesendirian dan kegaiban mutlak-Nya. Lalu, meminjam istilah Al-Farabi (872-951 M), ia “beremanasi”. Dari pancaran pertama lahirlah “Makhluk Pertama” atau “Cahaya Pertama”. Makhluk pertama ini dapat juga disebut sebagai Kalimah Allah, Asma Allah, Af’al Allah, Ilmu Allah, Kekuasaan Allah, dan lainnya. Semua ini secara esensial merupakan unsur yang tidak terpisah dari Allah. Allah dengan Cahaya-Nya; dengan segala Potensi, Nama, Sifat dan Perbuatannya adalah satu kesatuan (Ahad).

Dalam Quran, “Makhluk Spiritual Pertama”, Nurullah atau ” Cahaya Tertinggi” ini disebut Nurun ‘ala nurin (QS. An-Nur: 35). Sementara, dalam ontologi sufi disebut Nur Muhammad. Kita juga bisa menyebutnya sebagai Ruh (dalam R besar), alias”Jibril”, “The First Intelligence” atau “Akal Awal”. Nur Muhammad adalah “Cahaya Pertama” atau “Materi Awal” yang mengalami ‘Big Bang‘, sehingga terus berekspansi dalam berbagai wujud. Nur Muhammad adalah “Titik di bawah Ba”, Makhluk yang pertama aktual dari Tuhan, yang terus beremanasi sehingga darinya tercipta alam makhluk pada level selanjutnya.

Ada dua jenis alam yang lahir dari proses emanasi Nur Muhammad. Dari pancaran pertamanya lahir “alam spiritual” (alam ruh/alam cahaya/alam malaikat/ruh). Selanjutnya, alam ruh/alam malakut mengalami emanasi lebih lanjut; sampai terbentuk “alam material” (materi).

Jadi, materi adalah wujud terakhir dari proses emanasi cahaya. Materi tercipta dari cahaya. Ini dapat dibuktikan secara saintifik oleh fisikawan kuantum. Dari pusaran cahaya yang disebut quark; tercipta proton, neutron dan elektron yang secara bersama-sama membentuk atom sebagai wujud partikel terkecil dari materi. Atom inilah yang membentuk segala elemen kasat di alam semesta. Manusia juga begitu. Dari sisi penampakan lahiriahnya adalah sosok Adam (makhluk atomic/tanah). Namun, tanah/atom itu sendiri tercipta dari cahaya. Jadi, silsilah kita sebenarnya bersambung ke unsur-unsur immaterial/cahaya (Baca: “Min Sulalatin Min Tin”, Adam Tercipta dari Tanah, Tanah Tercipta dari Apa?).

LIHAT VIDEO: Fisika Kuantum Membenarkan, Dunia ini “Fana”
BACA: Fisik Kuantum Membenarkan, Dunia ini “Fana

Apa itu “Malaikat”?

Sesuai ontologi emanasi di atas, malaikat adalah makhluk “antara”. Malaikat adalah makhluk atau berbagai kekuatan gaib (spiritual) yang posisinya berada di antara manusia dengan Allah/Ruh.

Allah >> Nur Muhammad/Ruh/Nur >> alam malakut/malaikat/ruh/nur >> Manusia.

Apa itu malaikat? Malaikat (الملائكة) berasal dari kata al-malak (ملاك), artinya “kekuatan”. Malaikat adalah makhluk cahaya, wujud emanasi dari Cahaya Pertama. Cahaya ini adalah cahaya yang cerdas dan hidup, cahaya yang punya kreatifitas dan kekuatan. Malaikat adalah kekuatan-kekuatan cerdas dan kreatif yang mengelola alam secara “gaib”.

Karena ia merupakan wujud pancaran Allah (Nurullah), maka disebut juga sebagai “hukum-hukum Allah” (Sunnatullah). Allah adalah cahaya langit dan bumi (QS. An-Nur: 35). Malaikat adalah cahaya, sunnatullah yang menaungi alam. Sunnatullah ini sifatnya “gaib”, tidak kasat. Tapi dialah yang mengatur alam.

Malaikat adalah kekuatan, atau “utusan” Tuhan yang ada di alam. Malaikat adalah dimensi gaib dari materi alam. Kekuatan inilah yang mengatur/mengelola alam. Karena merupakan pancaran dari Cahaya Allah (Ruh) yang Maha Cerdas, malaikat disebut juga sebagai “amar Allah”, bi-izni Rabbihim min kulli amrin (para petugas Allah, membawa misi/urusan dari Allah, punya kekuatan dari Allah, ‘tangan-tangan’ Allah). Ketika ayat-ayat tentang malaikat kita kumpulkan, itu mengarah ke berbagai bentuk hukum, kekuatan, asistensi Tuhan yang bekerja di berbagai level alam.

MALAIKAT adalah “hukum-hukum Tuhan”, sunnatullah atau kekuatan-kekuatan cerdas dan kreatif yang mengelola alam secara “gaib”. Malaikat adalah ruh/jiwa dari alam.

Said Muniruddin, “The Suficademic”

Sekarang akan kita bahas tentang berbagai “hukum” (sunnah) yang ada di alam. Sebagai contoh. Siapa yang menurunkan hujan?

Yang menurunkan hujan adalah sebuah kekuatan gaib yang mengatur alam. Dalam bahasa agama disebut “malaikat”. Dalam bahasa sains disebut “hukum alam”. Kedua mereka itu adalah makhluk yang sama. Hukum alam (yang tidak terlihat), itulah “malaikat”. Hukum alam adalah hukum atau pancaran dari kekuatan/kecerdasan Tuhan yang ada di alam. Mereka bekerja siang malam sesuai keinginan Tuhan. Tidak pernah tidur. Tidak pernah makan. Selalu patuh kepada Tuhan. Mana ada hukum alam yang melawan Tuhan. Semua bekerja sesuai “blue print” yang telah Tuhan tetapkan pada diri mereka.

Karena itulah dikatakan, alam ini secara otomatis “Islam”, tunduk dan patuh serta senantiasa bertasbih kepada Allah. Sebab; dalam tubuh alam semesta ini ada jiwa, ruh, atau unsur-unsur malaikat. Ketika Tuhan menciptakan alam, itu sudah sekalian dengan hukum-hukum yang mengaturnya. Bahkan terlebih dahulu lahir “kecerdasan” ini sebelum aktualnya wujud alam. Hukum-hukum ini merupakah ruh/jiwanya alam. Hukum (jiwa/ruh) inilah yang menyebabkan alam memiliki tujuan, terus bergerak dan bekerja sesuai perintah-Nya:

“Hanya kepada Allah tunduk segala yang di langit dan di bumi secara sukarela atau terpaksa (QS Al-Ra’d: 15). “Bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepada-Nya” (QS. Al-Baqarah: 116). “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sungguh, Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun” (QS. Al-Isra: 44).

Dikotomi Agama dan Sains

Karena tidak memahami relasi malaikat dan hukum alam secara ilmiah, pikiran umat menjadi kacau. Di masjid diberitau, yang menurunkan hujan adalah malaikat. Sementara di sekolah para murid dididik untuk sadar, bahwa itu bagian dari mekanika alam. Menurut buku teks ilmiah, hujan terjadi akibat evaporasi. Suhu panas menyebabkan naiknya uap air dari laut, danau, sungai, dan tanah ke atmosfer. Kemudian terjadi kondensasi. Uap memadat, mengembun dalam bentuk es dan saling mendekat membentuk awan. Saat air sudah terlalu berat di dalam awan, serta karena faktor lainnya seperti angin, kelembahan dan suhu, terjadilah presipitasi; mereka mencair dan jatuh ke bumi sebagai hujan.

Di sekolah tidak disebut-sebut nama malaikat dalam proses ini. Sebab, seorang guru atau saintis, se-alim apapun mereka, tidak pernah dalam setiap observasi saintifiknya menemukan ada “makhluk” sejenis manusia yang berbaju putih, punya lingkaran cahaya di kepala, bersayap, dan terbang-terbang di awan untuk menurunkan hujan. Kalaupun nama malaikat disebut, itu pasti dipisahkan dari wujud hukum-hukum fisika ini.

Di pesantren juga begitu, seorang ustad tidak mau berfikir terlalu keras tentang hukum alam. Semua di bawa lari ke malaikat. “Yang menurunkan hujan adalah Mikail” katanya. Selesai. Mereka tidak tau, bahwa Mikail adalah nama “hukum Tuhan” untuk proses ini. Akibat kejumudan ini, terjadi dikotomi antara agama dan sains. Sains maju. Agama mundur. Agama seperti kehilangan nilai ilmiah dan rasionalitasnya, sehingga mulai ditinggalkan. Agama menjadi seonggok doktrin yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara logis dan empiris.

Ada Berapa Jumlah “Malaikat” (Hukum yang Mengatur Alam)

Itu hanya satu contoh kasus, terkait “hukum” (kekuatan malakut/malaikat) yang bekerja menurunkan hujan. Anda dapat mencari contoh lainnya. Misalnya; siapa yang mematikan manusia misalnya, “Izrail”? Siapa dia?

Tentu saja Dia adalah sunnatullah, makhluk, hukum atau kecerdasan Tuhan yang bekerja secara sistematis dalam bidang itu. Ada hukum-hukumnya, kenapa seseorang bisa hidup atau meninggal. Semua hukum alamiah ini adalah bagian dari ilmu Tuhan yang melekat di alam, dan disebut sebagai Izrail. Sebagaimana umumnya hukum Tuhan, mekanisme kerjanya sangat unik atau misterius (gaib). Kita tidak tau kapan seseorang bisa meninggal. Tapi, tidak jarang kapan seseorang akan mati bisa diprediksi oleh dokter. Seorang wali pada kadar tertentu, jika menguasai hukum ini, juga bisa tau kapan seseorang akan meninggal. Artinya, hukum yang menentukan hidup dan matinya seseorang sudah ada di alam.

Kasus lainnya, kenapa terjadi gempa? Itu juga karena ada “hukum pasti” yang mengaturnya. Ada malaikat yang menanganinya. Kenapa sebuah benda kalau dilempar ke ke atas akan kembali jatuh ke bumi? Jawabannya, itu ada malaikat yang mengaturnya. Nama malaikatnya adalah “malaikat gravitasi”. Itu sebuah kecerdasan alamiah dari malaikat (hukum) yang menaungi semesta, yang tugasnya mengatur gaya tarik menarik antar benda di alam semesta.

Pertanyaan lain, ada berapa banyak malaikat atau hukum-hukum Tuhan yang berlaku/mengelola seluruh alam? Tentu banyak sekali. Mungkin jutaan, milyaran atau bahkan dalam jumlah tidak terbatas. Sebanyak jumlah malaikat yang ada di langit dan di bumi. Tidak semua malaikat kita ketahui. Belum semua hukum alam dapat dimengerti. Konon lagi, alam ini terbagi dua: alam fisika (ufuk semesta) dan metafisika (alam nafsani).

Di kedua alam ini ada hukum masing-masing. Quran hanya memberikan 10 nama “hukum” (malaikat) yang menjalankan perintah Tuhan di kedua alam ini. Itupun harus kita dalami kembali satu persatu maknanya. Ke 10 kekuatan malakut ini harus dipahami maknanya secara rasional dan ilmiah. Sebab, Islam adalah agama ilmiah. Ada metodologi pembuktian (tariqah) untuk semua hal. Disitulah letak sempurnanya Islam.

Meng-Upgrade “Islam Imajiner” ke “Islam Aktual

Kesalahan kita dalam beragama adalah, terlalu banyak menafsir cerita dan konsep dalam bentuk-bentuk imajiner. Bayangkan bagaimana “alat transportasi” dalam kisah israk mikraj diterjemahkan secara radikal dalam bentuk kuda bersayap, berkepala manusia. Lalu di atasnya Nabi duduk untuk diterbangkan ke luar angkasa. Imajinasi kita sangat fisikal sekali.

Imajinasi kita tentang agama mirip sekali dengan kisah dewa-dewa Yunani di gunung Olimpus seperti digambarkan dalam film-film Hollywood. Ada Zeus sebagai tuhan tertinggi dengan berbagai dewa/malaikat pendukungnya. Masing-masing bisa keluar sayap. Bisa terbang. Naik turun dari bumi ke awan, atau ke planet lainnya. Ada tongkat dengan berbagai kekuatan untuk menurunkan petir, hujan dan sebagainya.

Mental kita berusaha membentuk gambaran dari semua konsep dan cerita dalam Quran. Seolah-olah, semua makhluk/kekuatan yang bekerja di level gaib, harus berwujud seperti makhluk materi. Jika tidak, sulit bagi kita memahami Quran. Ketika disebut malaikat, maka itu harus menjadi makhluk yang punya tangan, kaki, mata, hidung, telinga, mulut, kepala, dan bahkan bersayap. Kalau tidak ada itu, susah dibayangkan bagaimana mereka bekerja menurunkan hujan, membagi rejeki, mencabut nyawa, meniup sangkakala, menjaga pintu surga, menyampaikan wahyu, mewawancarai orang mati, mencatat amal manusia, menjaga pintu surga/neraka dan sebagainya.

Dialog antara Allah dengan malaikat, atau antara Allah dengan Iblis; juga harus dipahami secara hati-hati. Apakah itu dialog antara dua wujud mujassimah yang sedang duduk berhadapan dan saling tukar pikiran? Atau justru sebuah gambaran maknawi terhadap sebuah hukum Tuhan, yang dibungkus dengan bahasa kisah/cerita.

Contoh lainnya begini. Saya membuat sebuah cerita: “Suatu ketika bumi kepanasan, lalu ia berteriak: ‘Hei langit, apakah engkau sudah begitu pelit sehingga tidak mau lagi berbagi hujan?’. Tiba-tiba langit terkejut, lalu tersenyum dan serta merta menumpahkan air matanya ke bumi. Rumput-rumput tertawa. Wajah pepohonan pun terlihat bahagia”.

Pertanyaannya, apakah dialog antara langit dan bumi ini benar-benar terjadi? Apakah bumi ada mulut dan bisa berteriak? Apakah langit ada mata sehingga bisa menangis? Apakah rumput bisa tertawa? Apakah pohon punya wajah yang bisa terlihat bahagia? Atau semua itu hanya kiasan atas sebuah kondisi dan pemanis cerita (sastra) untuk sebuah realitas hukum Tuhan, bahwa ada mekanisme jika hujan akan turun pada situasi/kebutuhan tertentu.

Quran banyak sekali cerita. Ketika Tuhan berfirman dengan kata “Kami”, siapa itu kami? Apakah itu sekelompok makhluk seperti manusia yang saling bekerja sama? Atau hanya sebagai satu mata rantai proses hukum kejadian? Ketika terjadi dialog Allah dengan malaikat/iblis, apa itu seperti dialog antara presiden dengan anggota legislatif; yang duduk berhadapan sambil ngopi? Atau hanya kiasan saja, bahwa sesuatu yang terjadi ada dalam aturan/mekanisme hukum tertentu.

Bayangkan, hal pokok seperti malaikat saja sudah membentuk hayalan-hayalan aneh dan lari entah kemana-mana. Konon lagi cerita dan konsep-konsep lainnya. Quran itu ilmiah dan punya realitas-realitas yang aktual. Tapi seringkali dibungkus secara “rahasia” dalam bahasa sastra dan spiritual. Islam itu agama sains: “sains alam” sekaligus “sains spiritual”. Agama itu ajaran agar orang bisa cerdas dan maju di dunia, sekaligus mengetahui jalan untuk pulang ke akhirat (ke asal spiritualnya). Maka, untuk menguak isi Quran dan memahami doktrin-doktrin agama yang bernilai rasional sekaligus spiritual, butuh kecerdasan ganda.

Ketika ada ayat yang berbicara bahwa malaikat itu bersayap misalnya, perlu kearifan tersendiri untuk memahami makna sastrawi dari “sayap” dalam konteks besarnya kekuatan atau daya kerja masing-masing makhluk/hukum Tuhan tersebut. Di ayat 1 Al-Fathir misalnya: “Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

Masing hukum/sunnatullah di alam (malaikat) punya cakupan wilayah atau kecepatan kerja yang berbeda antara satu dengan lainnya. Kecepatan gerak gelombang cahaya, suara dan angin misalnya; itu beda-beda. Masing-masing punya “sayap” (kecepatan/kekuatan) yang berbeda dalam bekerja sesuai ketentuan Allah. Makna “sayap” perlu didalami dalam konteks lebih ilmiah, daripada dibawa lari ke imajinasi berbentuk komik.

Menyerap Kekuatan Malaikat

Islam adalah agama pengetahuan, “agama Iqrak”. Agama, yang untuk memperoleh pengetahuan harus dilewati lewat bacaan-bacaan rasional sekaligus intuitif. Sebagai sebuah aliran pengetahuan, agama Islam disusun melalui sejumlah “hipotesis” (kepercayaan/keimanan) kepada sejumlah wujud yang diduga ada. Biasa disebut sebagai “rukun iman”. Termasuk kepercayaan kepada malaikat. Bagi sebagian orang, rukun iman dianggap sebagai “aksioma”, sesuatu yang dianggap benar dan diterima begitu saja (tidak perlu diuji lagi).

Tapi, bagi para spiritual researchers, agama adalah “pengalaman”. Agama dengan segala unsur gaibnya adalah sesuatu yang secara empirik-iluminatif harus bisa dirasakan. Makanya, para nabi terus hadir disepanjang zaman untuk membuktikan eksistensi semua wujud gaib ini. Nabi Muhammad SAW juga melakukan itu. Kalau kita ikut Beliau, maka kita harus menerapkan hal yang sama. Tidak boleh jumud, apalagi berhenti berijtihad (bermujahadah).

BACA: Menutup Pintu Ijtihad, Membuka Pintu Mujahadah

Hanya dengan cara itu bentuk pengetahuan terhadap objek-objek keimanan yang awalnya hanya berupa warisan konsep-konsep yang tidak begitu diketahui wujud aslinya, menjadi terkonfirmasi secara hakiki (kita akan memperoleh pengetahuan pada level haqqul yakin). Bahkan melalui langkah-langkah yang metodologis yang sangat robust, para nabi bisa menyatu atau mengalami “kesatuan wujud” dengan semua elemen pengetahuan itu. Tidak ada jarak lagi subjek dengan objek pengetahuan. Realitas kebenaran terinternalisasi dalam diri para pencari.

BACA: Quran itu Orang, Bukan Kertas

Ketika hendak menemukan Quran, kita mengira itu adalah “kitab ekternal”. Kalau kita lihat realitas kenabian, justru Muhammad SAW itulah Quran (yang hidup dan berjalan). Mengapa Muhammad sebagai manusia bisa menyatu dengan Quran, itu ada langkah metodologis. Itu terjadi setelah menempuh riset spiritual yang cukup dalam. Quran/kitab tidak lagi menjadi sebuah objek luaran (realitas eksternal) yang terpisah dari sosok peneliti. Melainkan telah menyatu, atau mengalami kesatuan wujud (manunggal) dengan si peneliti. Pengetahuan idealnya seperti itu, harus menjadi diri kita sendiri.

Momen menyatunya Pengetahuan (Ruh/Ilmu Tuhan) dengan manusia, sering disebut sebagai Lailatul Qadar (the night of power). Qadar artinya “kekuatan”. Malam qadar adalah malam turunnya Quran. Quran yang mana, atau Quran dalam bentuk apa yang turun? Apakah Quran dalam bentuk huruf dan tulisan?

Tidak ada huruf Quran yang turun pada malam Qadar. Yang turun adalah “qadar”, kekuatan dari Quran. Kekuatan dari Quran adalah makhluk-makhluk malakut yang berpower dan super cerdas. Yaitu malaikat dan Ruh. Itulah Quran yang asli, dalam wujud batiniah, yang tidak berhuruf dan bersuara. Tanazzalul malaa-ikatu war-Ruh fiiha bi izni Rabbihim min kulli amrin. “Turun para malaikat dan Ruh dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan” (QS. Al-Qadar: 4).

Itulah jenis Quran yang membawa mukjizat. Mukjizat itu “power gaib”, kekuatan-kekuatan malaikat yang ada di alam, yang tentunya dipancarkan langsung dari sisi Allah SWT (amar Allah). Ketika kekuatan-kekuatan ini bisa di download, seorang muslim akan memiliki kecerdasan/kekuatan malaikat. Malaikat merupakan makhluk, kekuatan, atau kecerdasan-kecerdasan yang lahir dari pancaran Allah.

Jadi, Quran itu turun (mengalami emanasi) sebanyak dua kali. Pada emanasi pertama, Quran itu adalah Ruh (Cahaya Pertama) yang beremanasi dalam berbagai wujud/kekuatan malakutiyah di alam. Itu disebut proses “turun” (beremanasinya) Quran secara menyeluruh ke “langit dunia”. Itu sudah qadar Dzatiy, ketentuan Allah yang tidak bisa di ubah.

Alam ada dua jenis: alam semesta (afaqi/macrocosmos) dan alam insan (anfusi/microcosmos). Manusia adalah “miniatur” atau replika alam semesta. “Langit” bukan hanya sesuatu yang gaib yang menyelimuti angkasa. Melainkan juga sesuatu yang ada dalam diri manusia. Karenanya, semua kekuatan alam, itu sebenarnya ada dalam diri manusia. Semua kekuatan malakut di ufuk alam, juga ada dalam diri manusia.

Maka, pada tahap kedua adalah proses bagaimana membuat kekuatan malakut di alam ini bisa aktual/beremanasi dalam diri manusia. Ini merupakan proses ikhtiyari untuk “menurunkan” Quran dalam qalbu. Harus ada usaha untuk mengaktivasi Quran batiniah dalam diri manusia.

Jiwa manusia mengandung “firman anfusi”, kekuatan-kekuatan malakut yang luar biasa. Ketika unsur-unsur malakut dalam alam jiwa ini bisa di aktifkan, seseorang bisa menjadi “malaikat” pembawa catatan-catatan gaib Ilahi (kitab), dalam rupa manusia. Bisa menjadi Jibril dalam sosok laki-laki. “Lalu dia memasang tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus Roh Kami (Jibril) kepadanya, maka dia menampakkan diri di hadapannya dalam bentuk manusia yang sempurna” (QS. Maryam: 17).

Untuk era sekarang, Anda bisa menjadi malaikat yang naik mobil, main hp, atau memimpin negara. Manusia, tapi keramat. Atau menjadi manusia malaikat yang antagonis seperti Harut dan Marut (QS. Al-Baqarah: 102).

Kembali ke topik Quran dan kekuatan/qadar-nya. Quran itu dibawa oleh malaikat. Dalam artian, malaikat itulah qadar, pembawa/pemilik dari kekuatan Quran. Malaikat adalah ruh (power) dari Quran. Ruhani malaikat, itulah Quran. Ruhani (Quran yang qadim) ini tidak dapat disentuh kecuali oleh orang-orang yang telah menempuh jalan kesucian. Atau telah melakukan proses riyadhah tariqah irfaniyah untuk menyambungkan jiwa rendahnya dengan Ruhul Muqaddasah Rasulullah (Ruh para wali/nabi/Nur Muhammad). Lā yamassuhū illal-muṭahharụn. “Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (QS. Al-Waqiah: 79).

Sementara, Quran yang kita punya di rumah, itu Quran dalam dimensi material. Itu huruf dan tulisan. Kertas dan tinta. Cetakan manusia. Karena itu sifatnya “baharu”. Bisa lapuk. Tidak memiliki kekuatan atau mukjizat. Tidak sesuci Kitab dalam wujud Ruh Quddus. Kafirpun bisa menyentuh dan membacanya. Bahkan bisa lebih fasih dari kita. Orang Aceh bahkan pernah diajari Quran selama bertahun-tahun oleh Snouck Hurgronje (1857-1936), seorang Yahudi mata-mata Belanda yang menyamar jadi ulama.

Quran kita yang material itu akan punya power, kalau ditemukan malaikatnya. Setiap ayat dari Quran, itu ada malaikat penjaga. Hanya dengan menemukan para malaikat yang menjaga ayat-ayat ini, setiap bacaan kita akan berubah menjadi mukjizat. Setiap ayat bisa berubah menjadi obat. Setiap ayat akan punya kekuatan untuk menghidupkan yang mati, mematikan yang hidup, menyembuhkan yang sakit, membelah laut, dan sebagainya.

Mukjizat adalah kekuatan supra-rasional (kekuatan Tuhan yang tersembunyi pada elemen-elemen malakut di alam nafsani) yang dapat membuat seseorang bisa menundukkan alam. Kekuatan di alam semesta bisa dinegosiasi (diajak berkomunikasi) melalui kekuatan dalam jiwa manusia. Sebagai makhluk material, kita memang selalu tunduk dan patuh pada hukum alam. Tapi, kalau seseorang punya kekuatan malakut dan Ruh, justru alam yang akan patuh padanya. Sebab, kekuatan ini merupakan ruh/jiwa yang sama dari alam. Orang-orang yang memiliki kekuatan malakut dan Ruh disebut “Penghulu Alam”. Orang-orang ini sudah berada di luar alam. Sudah menjadi makhluk lebih tinggi, makhluk Ruh atau “makhluk ukhrawi”. Itu para nabi dan wali-waliNya.

Kalau mampu mengaktivasi kekuatan malakut, Anda bisa berubah menjadi malaikat. Menjadi “Mikail” misalnya. Anda akan punya ‘sayap’ (kekuatan) untuk menurunkan hujan secara cepat. Tidak perlu shalat istisqa ramai-ramai saat musim kemarau. Cukup masyarakat menghubungi Anda satu orang untuk berdoa. Langsung hujan. Namun, shalat istisqa sengaja dilakukan ramai-ramai. Karena masyarakat tidak tau, yang mana sosok kekasih Allah yang mewarisi kekuatan Mikail yang hidup di tengah mereka.

Diharapkan, diantara yang ramai itu hadir orang-orang yang mewarisi kekuatan ini. Sehingga doa mereka semua ikut terkabul karena adanya orang ini. Banyak shalat istisqa yang tidak mampu menurunkan hujan, karena Mikail-nya tidak hadir. Dan sering sekali hujan yang turun ke bumi, terjadi karena doa para Mikail ini. Tapi tidak kita sadari. Para wali adalah orang-orang yang selalu berdoa untuk kita. Karena merekalah dunia ini belum kiamat.

Karena itu pula, melalui kekuatan malakut ini, seseorang bisa menyembuhkan orang lain secara instan. Seolah-olah tidak masuk akal. Padahal, itu sesuatu yang rasional dalam sains spiritual. Sebab, kecepatan kerja “cahaya” (malaikat) ketika tersalurkan melalui qalbu manusia, itu akan jauh lebih cepat prosesnya dari pada mekanisme kerja obat-obat medik yang berdimensi material. Sistem kerja Ruh itu unlimited (supra-medic). Power ketuhanan/mukjizatnya masih sangat tinggi, dibandingkan kekuatan alam materi.

Melalui sedikit sentuhan tangan, seseorang bisa saja dalam sekejap menyembuhkan bisu, tuli, buta dan lainnya. Lidah, telinga dan mata misalnya; itu bekerja secara sistematis sesuai “hukum-hukum alamiah Tuhan” (kekuatan malakut). Kalau Anda sudah terhubung dengan Ruh, Anda bisa memerintah malaikat-malaikat penjaga sistem kerja indera ini untuk memperbaiki dirinya secara cepat. Melalui kadar tertentu dari elemen spiritual, Anda bisa mem-by pass hukum-hukum standar yang berlaku pada materi. Itu namanya mukjizat atau karamah. Kemampuan untuk memainkan hukum-hukum khusus (hukum Ruh/Nur Muhammad), melampaui cara kerja hukum-hukum standar di alam.

Mungkin bagi seorang dokter butuh waktu lama untuk melakukan operasi dan menunggu proses kesembuhan selama berhari-hari. Sebab, dokter hanya menguasai unsur-unsur alamiah dari cara kerja materi. Dokter tidak menguasai cara kerja Ruh yang mampu memerintah sistem kerja ruh dari materi. Dengan demikian, teknik “pengobatan makrifat” yang dimiliki para sufi, meskipun langka (karena sekolah untuk ini sangat sedikit), itu jauh lebih canggih dan lebih murah dari prosedur pengobatan para dokter. Sufi menggunakan teknologi Ruh (illuminatif-empirical) untuk melakukan operasi dan proses penyembuhan. Dokter menggunakan teknologi material (rational-empirical).

Karena itu, kapitalisme farmasi biasanya akan menegasikan habis-habisan metode pengobatan spiritual sebagai sesuatu yang tidak masuk akal, berbahaya, mistis, dianggap perdukunan dan tidak evidenve-based. Perdukunan memang berbahaya, sebagaimana berbahayanya kedokteran yang kapitalistik. Tapi melalui kehadiran kekuatan spiritual yang asli, itu menjadi evidence bahwa Tuhan, melalui hukum-hukum khususnya, selalu hadir disepanjang zaman untuk sesekali mengalahkan kesombongan kecerdasan material manusia.

Semua materi di alam punya jiwa, yang bisa bekerja untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Pada level kuantum, manusia dan semua elemen materi tersusun atas gelombang cahaya, yang menjadi jiwa atas segala sesuatu. Ketika seseorang mampu berkomunikasi dengan elemen-elemen “malakut” (cahaya) ini, ia bisa merombak kembali struktur atom yang ada. Kanker stadium tinggi sekalipun bisa disembuhkan. Jiwa/ruh yang merupakan unsur cahaya di balik semua materi, itu punya kemampuan menyembuhkan dirinya dengan kecepatan lebih tinggi daripada rekayasa material oleh sains medik/farmasi.

Kemampuan berkomunikasi dengan elemen-elemen cahaya yang sangat halus yang ada di belakang unsur-unsur materi itu yang kita masih kurang. Tapi, ketika Anda menguasai itu, Anda telah melampaui sains alam standar. Itulah kenapa sains metafisika lebih tinggi derajat ontologinya daripada sains alam. Sebab, alam metafisika (alam malaikat dan Ruh) lebih tinggi posisinya dalam struktur emanasi Wujud. Alam metafisika lebih dekat hubungannya dengan Allah, daripada alam material. Artinya, dengan menguasai ilmu-ilmu Ruh (metafisik), Anda akan mampu berkomunikasi secara langsung dengan Allah. Anda bisa menjadi “utusan” Allah (nabi/wali). Sebab, Anda sudah menguasai “tali ruhaniah” yang menghubungkan dimensi material Anda dengan Allah.

Karena itu, untuk maju secara ukhrawi, kita harus mengenal malaikat (hukum alam/kekuatan malakut) dan Ruh (Jibril/Nur Muhammad). Melalui itulah jiwa kita bisa terkoneksi dengan Allah. Melalui merekalah “kekuatan” (qadar malakut) dari Quran kita miliki, sehingga setiap bacaannya menjadi asli, tidak lagi kosong tanpa ruh. Itulah bacaan yang dapat mengusir iblis dan setan. Shalat dan semua ibadah juga begitu, melalui kekuatan Ruh ini gerak kita menjadi khusyuk dan tembus ke alam Tuhan. Dalam doa-doa juga berlaku hal yang sama. Kekuatan malakut dan Ruh inilah yang akan men-sending secara cepat permohonan seseorang ke sisi Allah. Sinyal-sinyal malakut ini pula yang senantiasa membawa pesan-pesan dari Allah (secara laduniah) ke dalam diri kita.

Melalui kekuatan malakut ini pula, atas izin Allah, dunia bisa dimenangkan. Nabi mampu menurunkan kekuatan ribuan malaikat saat perang (QS. Aali Imran: 123-126). Kekuatan itu masuk dalam jiwa para pasukannya. Sehingga, dengan jumlah sedikit dan persenjataan sederhana, musuh bisa dikalahkan. Bahkan uniknya, semua perang Beliau menangkan. Secara empiris, kekuatan musuh lebih banyak, lebih kuat, dan lebih lengkap senjatanya. Tapi karena dimensi sains spiritual lebih tinggi; musuh yang lebih besar bisa dikalahkan. Kelihatannya ini yang hilang dari jiwa kita. Sehingga kekuatan setan besar seperti US dan Israel bisa berkuasa secara semena-mena di negara-negara berpenduduk muslim. Kita sudah seperti mayat hidup. Rajin beragama, tapi kehilangan kekuatan/ruh. Terjajah oleh iblis.

Karena ini merupakan sains spiritual, maka ilmu ini dapat dipelajari. Karena itulah para nabi selalu hadir disepanjang zaman. Artinya, ilmu dan metodologi pencapaian metafisika senantiasa terwarisi dari satu generasi ke generasi lainnya. Sehingga selalu melahirkan ahlinya di setiap era (i.e., nabi, imam, wali, mursyid). Sampai sekarang itu tetap ada ahli warisnya. Hanya saja, karena ini bukan ilmu yang bisa diobral lewat iklan dan promosi di simpang-simpang jalan, para pemilik ilmu ini cenderung tersembunyi. Sosok “al-mahdi” (para ulama pembawa petunjuk dan rahasia Allah) memang begitu karakternya.

Menjangkau Malaikat dengan “Sains Spiritual” dan “Sains Alam”

Selain dapat dikuasai melalui sains spiritual (metafisika), kekuatan malakut dari hukum-hukum alam ini dapat dipahami melalui sains alam. Karena itu lahir banyak sekali teknologi melalui proses observasi, eksperimentasi dan olah pikir terhadap berbagai fenomena yang terjadi di alam. Sebuah riset empirik dapat mengenali dan mengukur kekuatan-kekuatan yang berlaku di alam. Kemudian, melalui proses tertentu, kekuatan-kekuatan itu dapat dimanfaatkan untuk memudahkan kehidupan manusia di dunia.

Mempelajari kekuatan malakut (hukum-hukum alam) telah membuat manusia berkembang dalam berbagai karya dan inovasi. Inilah yang membuat manusia unik, mampu membangun peradaban. Walaupun demikian, kemajuan sains ini turut diwarnai oleh pembantaian demi pembantaian. Pencampuran nafsu dengan eskalasi teknologi yang semakin canggih, membuat sains terkotori.

Itulah yang secara sastrawi kembali di protes malaikat. Malaikat adalah makhluk ruh. Ia tidak punya potensi untuk berkreasi secara material sebagaimana manusia. Ia hanya hidup pada level pengabdian murni sebagai hukum-hukum dibalik unsur materi. Sementara manusia beda, dengan freewill-nya bisa bekerja melampaui mereka. Tapi, jika terjerembab dalam unsur-unsur panas (api) dari elemen material, manusia menjadi iblis. Maka terjadilah pertumpahan darah. Ini diuraikan dalam dialog sastrawi antara Allah dengan malaikat (QS. Al-Baqarah: 30). Kecuali elemen Ruh (Nur Muhammad) yang menguat, maka malaikat akan sujud kepada manusia (QS. Al-Baqarah: 34). Sebab, Ruh itu atasan semua malaikat.

Karena itulah, penguasaan sains alam mesti diikuti oleh sains spiritual. Itu yang akan mengarahkan kemajuan secara paripurna. Tidak hanya mampu menguasai dunia. Tapi juga membuat manusia bisa menempuh perjalanan ke akhirat. Dengan sains spiritual, manusia bisa menembusi penjuru “langit” untuk menemui/kembali akrab dengan Allah. Dengan sains alam, manusia bisa menembusi penjuru bumi (alam material). Itulah yang disebut “kekuatan” (illa bi Sulthan, QS. Ar-Rahman: 33).

Kuasai terlebih dahulu adab/akhlak atau sains spiritual. Sebab, ilmu ini tidak butuh sekolah dan bacaan. Ini ilmu orang-orang “ummi”. Sebodoh apapun Anda, pasti bisa berhubungan dengan Allah. Nabi Muhammad SAW sejak kecil sudah ‘dibedah’ dada untuk diisi ilmu/elemen malakut ini. Manusia bisa menyerap kekuatan-kekuatan malaikat melalui berbagai tradisi spiritual (tasawuf). Para nabi sangat rajin melakoni. Ilmu ini diwarisi Nabi kepada generasi setelahnya. Tinggal dicari guru yang mewarisi elemen Ruh, yang membawa wasilah “Nur Muhammad”. Pelajari dan ikuti. “Katakanlah, “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad/para warisnya), niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS. Aali Imran: 31).

Setelah itu, atau pada saat bersamaan, jangan lupa menempuh pendidikan di sekolah dan universitas. Guna memahami berbagai “kekuatan” (jenis malaikat) yang menguasai objek tertentu di alam. Kuasai itu, untuk menghasilkan teknologi tertentu. Cari supervisor/profesor yang ahli untuk membimbing Anda. Baik ilmu dunia, apalagi ilmu akhirat yang sangat halus, itu mesti ada guru.

Kesimpulan

Rukun iman, percaya kepada “malaikat”, bukanlah hafalan nama 10 malaikat. Seolah-olah setelah selesai menghafal itu sudah beriman kita. Untuk anak-anak memadai dengan cara dogmatis/hafalan seperti itu. Bagi orang dewasa, agama adalah pengalaman, bukan lagi hafalan. Lakukan berbagai riset spiritual dan buktikan keberadaan wujud (kekuatan) semua itu. Pada tingkatan tertentu, serap semua kekuatannya, agar kita manunggal dengan alam malakut. Ketika kita manunggal dengan power malakut, otomatis terhubung dengan Allah.

Jadi, sebenarnya tidak ada jarak antara kita dengan Allah jika bermain pada level malakut/Ruh. Sebagaimana tidak adanya jarak antara malaikat dengan Allah. Hanya pada level materi, kita berjarak dengan Tuhan. Rukun iman percaya kepada “malaikat” adalah instrumen untuk kita kembali ke unsur Ruh, sehingga sampai kepada Allah. Dalam tradisi Ahlul Bait; Ruh/malaikat, kitab dan nabi; itu satu komponen yang identik. Unsur ruhaniahnya sama semua. Sehingga rukun iman untuk semua elemen ini juga bisa disingkat menjadi “nubuwwah”. Malaikat adalah instrumen nubuwwah. Instrumen untuk terkoneksi dengan Nur Muhammad/Ruh Quddus Utusan Allah (unsur tersuci dari Kitab).

“Lailatul Qadar” adalah salah satu momentum pencapaian pengalaman-pengalaman spiritual semacam ini. Lailatul Qadar adalah awal pengalaman kenabian. Di ujung proses mujahadah Ruhaniah; akan “turun”, terwarisi atau tanazzul semua kekuatan/batin Quran kepada seorang hamba. Quran dalam bentuk malakut dan Ruh inilah yang harusnya kita warisi. Kalau dalam bentuk teks, itu mudah sekali didapat dan banyak dijual dimana-mana.

Karena itulah, percaya kepada Kitab menjadi rukun iman (rukun percaya kepada yang gaib-gaib). Sebab, Kitab yang asli memang gaib adanya. Kitab yang gaib adalah para malaikat. Semua hukum Tuhan sudah tertulis (kataba) pada elemen ruhaniah malaikat ini. Ketika terhubung dengan malaikat, akan terhubung pula Anda dengan Kitab. Begitu pula percaya kepada nabi/rasul, juga gaib. Sebab, Rasul itu adalah “Ruh/Nur Muhammad” (unsur gaib) yang diutus dalam diri para nabi.

BACA: “Nur (Muhammad), Variabel Moderator dalam Bermakrifat”

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

6 thoughts on “MENGENAL “MALAIKAT”: USAHA MEREKONSTRUKSI IMAN KE LEVEL PARIPURNA

  1. Terima kasih ilmunya Ustadz, menambah semangat kami untuk selalu bermujahadah, lurus pada Nya. Semoga Allah memperjalankan kami selalu mendekat dan mendekat pada Nya.

Comments are closed.

Next Post

"ILM, 'AIN DAN HAQ": TIGA LEVEL PENGETAHUAN

Mon Apr 10 , 2023
Jurnal […]

Kajian Lainnya