“ILM, ‘AIN DAN HAQ”: TIGA LEVEL PENGETAHUAN

Jurnal Suficademic | Artikel No.47 | April 2023

“ILM, ‘AIN DAN HAQ”: TIGA LEVEL PENGETAHUAN
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Manusia secara alamiah (fitrah) adalah makhluk pencari kebenaran. Disebut “alamiah”, karena dalam dirinya ada rasa ingin tau terhadap banyak hal. Manusia menyadari bahwa alam ini maha besar. Banyak hal yang tidak diketahuinya. Ada kekuatan-kekuatan yang belum sepenuhnya ia pahami. Ia berusaha mencari jawaban atas semua fenomena yang ia temui. Dari semua fenomena wujud dan keberadaan, pengetahuan tentang Tuhan menjadi objek paling menarik bagi manusia. Dari itulah lahir agama dan berbagai level spiritual dan kebenaran.

Ada berbagai nama yang dapat kita berikan untuk para pencari kebenaran.

Pertama, “skripturalis”. Skripturalis adalah para pembaca, penghafal dan penafsir teks. Umumnya adalah teolog dan fukaha. Mereka adalah orang-orang yang mengkaji tauhid dan syariat dengan terfokus pada skrip (teks). Mereka menggunakan dalil-dalil naqli dari agama untuk merangkum pengetahuan. Bagi mereka, kebenaran adalah teks. Segala sesuatu di luar teks seringkali dituduh sebagai bid’ah. Tuhan, bagi mereka, ada dalam wujud teks. Tuhan hanya bisa dijangkau dalam rupa teks. Orang-orang ini punya slogan, “Kembali ke (teks) Quran dan Sunnah”.

Kedua, “filsuf”. Filsuf secara sederhana bermakna “ahli pikir”. Semua orang punya kesadaran filosofis. Semua orang punya akal, dan dengan itu dia berusaha menalar sesuatu. Objek apapun bisa dimunculkan dalam bentuk konsep (ide/intelek), termasuk Tuhan. Tidak mesti ada wujud kasat materialnya. Sesuatu bisa dipahami keberadaannya melalui alam mitsal (i.e., matematika) dan hukum-hukum berfikir yang logis. Salah satu slogan mereka, “Aku berfikir makanya aku ada”.

Ketiga, “saintis”. Mereka cenderung menggunakan sense inderawi untuk mengamati sesuatu. Artinya, harus ada sesuatu yang bisa dilihat untuk diteliti. Objeknya harus ada dalam wujud yang kasat inderawi. “I will not believe it until I see it”, begitu slogannya. Semua fenomena materi adalah empirical evidence (data-data) yang coba diukur melalui proses observasi. Instrumen teknologis dibangun sebagai alat bantu untuk mengolah dan menganalisa data. Jenis empirical research paling digandrungi sejak era renaisance di Barat (sekitar tahun 1700an). Penelitiannya bisa berbentuk kuantitatif (informasi digali lewat data matematik), maupun kualitatif (data bersifat opini, pemahaman atau alasan).

Keempat, “salik”. Salik artinya “penempuh jalan” (traveler in a pathway). Jalan yang ditempuh adalah jalan pencarian kebenaran/pengetahuan. Istilah ini populer dalam school of spiritual (sufi). Jenis kebenaran yang dicari adalah kebenaran hakiki. Kebenaran yang melampau teks suci, ide filosofis dan gejala materi. Para salik percaya, wujud dari objek bertingkat. Mulai dari bentuk ide (konsep), materi, sampai ke substansi/esensi (hakikat). “La maujuda illa Allah”, kata para salik ketika menggambarkan esensi. Karena yang ditelusuri adalah esensi (hakikat) yang melampaui materi, mereka menggunakan instrumen “ruh”. Proses observasi dan berfikir juga dilakukan. Mereka melihat dengan “mata hati” (bashirah). Serta berfikir dengan qalbu (fuad). Kebenaran diungkap melalui teknik observative-experimental-illuminative. Riset intuitif ini juga diterapkan secara sangat disiplin dan penuh prosedural adab. Sangat halus. Ada skala indikatif untuk memahami kebenaran terhadap wujud ontologi metafisis. Ini diajarkan secara khusus dalam dunia sufi.

Akademisi Moderen, Kehilangan “Ruh”

Menurut kami, keempat jenis researcher ini (fukaha, filsuf, saintis dan sufi) termasuk kategori “akademisi”. Akademisi itu sendiri berasal dari kata “akademia”, sebuah sekolah yang didirikan di Athena pada 387 SM oleh murid Socrates yang bernama Plato. Plato bukan hanya seorang filsuf. Tapi juga menguasai sains alam (matematika dan fisika) dan spiritual (metafisik). Ia memahami bahwa alam ini bersifat “fana” (senantiasa berubah). Ada realitas yang lebih tinggi dari materi yang disebut Form. Form merupakan jiwa atau “alam ide”, yang memancar dan kemudian membentuk objek material. Bagi Plato, jiwa itu abadi (the immortality of soul). Jiwa merupakan realitas yang lebih hakiki (lebih tinggi) dari materi.

Tidak hanya warga Yunani seperti Plato dan gurunya Socrates yang menggandrungi dunia spiritual. Para nabi disepanjang zaman juga memiliki akademi-akademi (pusat-pusat suluk) yang digunakan melakukan riset berbasis spiritual. Karena universalitas nilai pengetahuan, tidak heran jika sekitar 200 tahun setelah Muhammad SAW wafat, para ilmuan muslim, selain merefer secara khusus ke Quran, juga ikut menggali kembali karya-karya Yunani untuk dikembangkan.

Dari keempat jenis akademisi ini kita mengetahui, ada empat instrumen epistemologis yang digunakan sejak era kuno: teks, akal, indera dan ruh/jiwa. Sayangnya, yang tersisa dalam fondasi dunia keilmuan moderen hanya tiga: teks, akal (filsafat) dan indera (empirik). Pengayaan ruh/jiwa untuk mengakses hakikat dari sebuah wujud/objek telah lama kehilangan popularitasnya. Akibatnya, dunia moderen sangat maju dari sisi materi, tetapi kehilangan Ruh/Tuhan. Manusia menjadi cerdas, tapi galau. Profesor doktor bertambah, tapi gersang. Kita semua beragama dan berpengetahuan, tapi kapitalistik dan radikal.

Gelombang perubahan di Eropa pada abad ke 18 sangat bertanggungjawab atas perubahan perspektif pengetahuan yang sekularistik ini. Sesuatu yang berbau “agama” ditinggalkan. Pengaruhnya sampai ke kita. Peranan ruh dinihilkan dalam riset-riset pengetahuan. Diskusi tentang Ruh diasingkan ke surau-surau. Dunia akademik memang mengalami “pencerahan” (aufklarung), tetapi ke arah materialisme. Aura metode riset Barat yang empirikal-positivistik inilah yang kita warisi. Padahal, lebih dari 700 tahun sebelumnya, dunia muslim masih sangat kaya dengan sains dan spiritual.

Level Pengetahuan: “Ilm, ‘Ain dan Haq”

Dari empat jenis akademisi di atas, dalam relasi dengan agama (riset tentang Tuhan), lahir tiga bentuk pengetahuan.

Pertama, “Ilm” (ilmul yaqin). Merupakan jenis ilmu yang lahir dari kecerdasan tekstual dan konseptual. Ini kecerdasan para teolog/fukaha dan filsuf. Anda yakin kepada adanya wujud dari sesuatu, tapi hanya bersifat teoritis (bahkan hipotetis). Kita percaya, bahwa Allah itu ada. Pertanyaannya, apakah Allah benar-benar ada? Iya, dalam realitas “teoritis”. Secara logis, lewat hukum-hukum akal, Allah bisa dibuktikan keberadaannya. Allah ada. Tapi dalam wujud “konsep” (ide); atau “nama-nama” dalam teks suci. Keimanan kita, rata-rata berada pada level ini.

Kita rata-rata hanya taqlid pada teks dan ide, yang menyebutkan bahwa Allah itu ada. Kebetulan, yang membawa berita bahwa Allah itu ada adalah orang terpercaya. Tetapi tetap saja, itu “berita” (informasi bahwa Tuhan ada). Sama seperti percaya ketika ada teman yang sangat jujur datang membawa berita, bahwa ada bakso enak sekali di warung sana. Kita hanya mendapat pengetahuan dalam bentuk berita, bahwa ada bakso enak. Apakah Anda sudah melihat dan mencicipinya? Belum! Begitulah kebenaran tentang Tuhan, masih sebatas “info”, belum pada level melihat dan mencicipi “rasanya”. Artinya, ada gap (jarak) antara kita dengan bakso. Ada jarak antara kita dengan Allah, sehingga rasa kehadiran-Nya tidak pernah kita alami.

Kedua, “Ain” (ainul yakin). Merupakan jenis ilmu yang lahir dari proses observasi. Objek/wujud yang dicari sudah bisa dilihat. Karena dapat dilihat (dapat dicerap secara inderawi), maka dikatakan ada secara empirik. Namun, mazhab pengetahuan materialistik hanya mengakui sebuah wujud itu ada, ketika ada secara empirik. Karena itu, bagi kaum materialist, ruh/Tuhan dianggap tidak ada. Kaum empirik hanya bisa melihat kebesaran Tuhan di alam, itupun kalau secara tekstual/konseptual sudah percaya kepada adanya Tuhan.

Kemampuan melihat tanda-tanda kehadiran Allah di alam disebut “syuhud” (musyahadah pada level alam). Pada level ini, seseorang sudah melihat tanda-tanda (ayat) bahwa Dia ada pada berbagai fenomena. Namun lagi-lagi, antara yang melihat dengan yang dilihat masih ada jarak. Merujuk pada contoh di atas, baksonya cuma baru bisa dilihat dalam bentuk citra/gambar. Belum dapat ditemukan wujud asli guna dicicipi . Rasa enaknya belum dapat dicerap secara langsung.

Ketiga, “Haq” (haqqul yakin). Haq diambil dari Asma Allah “Al-Haqq”. Dari kata ini muncul istilah hakikat. Haq adalah realitas kebenaran tertinggi, “benar dengan sebenar-benarnya” (Right and Reality). Haq adalah kebenaran tanpa ada lagi ruang untuk skeptisime. Haq adalah kebenaran mutlak, bukan relatif. Hakikat adalah kebenaran versi Allah. Ketika sudah sampai ke pengetahuan hakikat, itu artinya sudah sampai kepada pengetahuan versi Allah.

Pengalaman hakikat adalah pengalaman “wahdatul wujud” (kesatuan wujud). Jarak antara subjek dengan objek pengetahuan, antara yang mengetahui (manusia) dengan yang diketahui (Allah) sudah tidak ada lagi jarak. Sudah lebih dekat dari urat leher (QS. Qaaf: 16). Pengetahuan hakikat adalah pengetahuan yang disalurkan langsung dari sisi Allah (laduniah). Itulah yang disebut pengetahuan yang “objektif”. Tidak ada lagi jarak antara kita dengan pengetahuan. Antara kita dengan pengetahuan sudah menjadi satu objek (Ahad). Yang berfikir dengan yang difikirkan sudah menyatu. Wujud/realitas hakiki dari pengetahuan telah hadir langsung dalam diri (hudhuri). Kalau dalam kasus bakso di atas, baksonya sudah di makan dan sudah menyatu dengan orang yang memakan itu. Sehingga, wujud dan rasa dari bakso sudah diketahui secara pasti; melampaui konsep dan pengamatan.

Kebenaran hakiki (haq) hanya diperoleh ketika seseorang sudah menyatu dengan objek pengetahuan. Pada level ini, agama telah berubah dari sebatas dalil naqli dan aqli (ilmul yakin) serta pengamatan (ainul yakin), menjadi “rasa” (empirical-illuminative). Disinilah enak dan bahagianya beragama, ketika menemukan “rasa” dari realitas pengetahuan. Enaknya bakso bukan pada diskusi dan tulisan tentang bakso. Melainkan ketika Bakso sudah dirasa. Begitu juga dengan Allah. Enaknya beragama/bertuhan bukan pada kajian tentang Allah dengan segala kebesarannya. Melainkan ketika Allahnya bisa “dirasa”, telah hudhur dalam jiwa.

Ketika Allah sudah berhasil dihadirkan dalam jiwa, semua yang terpancar dari diri seseorang merupakan tajalli-Nya. Karamah terjadi ketika seseorang sudah mencapai hakikat, Allah telah bersemayam dalam diri. Pada level hakikat, Allah bukan lagi sebatas “pengetahuan eksternal”, atau objek yang terpisah dari diri si peneliti. Melainkan sudah menyatu dalam kesadarannya. Sangat memungkinkan bagi setiap manusia mengalami kondisi “penyatuan” ini. Sebab, manusia memiliki unsur ruh/cahaya, yang juga berasal dari Allah. Sedangkan Allah sendiri adalah unsur ruhani murni. Sesama unsur ruhani, dengan metodologi tertentu, pasti bisa bertemu.

Contoh manusia yang telah mencapai level “haq” adalah para nabi. Sebut saja nabi Muhammad SAW. Begitu menyatunya beliau dengan Allah, sehingga semua yang keluar dari lisannya bernilai suci. Tidak ada sesuatu pun yang beliau omongkan, kecuali wahyu/hadis. Semua yang terbit dari dirinya; baik pemikiran, perkataan atau perbuatan; adalah wujud dari keinginan Allah. Semuanya menjadi hukum. Semua geraknya dalah “sunnah” (sunnatullah). Sunnah/sunatullah adalah hukum alam atau kekuatan-kekuatan malakut (sunnah) dari sisi Allah. Jiwa nabi adalah jiwa malaikat dan Ruh. Karena memiliki jiwa yang mengandung Nur suci, perilakunya disebut sunnah. Semua perilaku Anda juga akan bernilai sunnah, kalau ada unsur ruhani yang suci ini.

Ada berbagai bentuk pengetahuan hakikat dalam dunia sufistik/kenabian. Termasuk “muraqabah”. Seseorang baru dapat dikatakan sebagai “sufi” ketika memiliki ini. Muraqabah adalah instrumen untuk mengakses pengetahuan dari sisi Ilahi. Informasi-informasi yang masuk ke dalam qalbu seorang akademisi via teknologi spiritual ini berkategori “Haqq/Objective”. Pengetahuan yang hadir bukan lagi hasil dari pemikiran/penafsiran si peneliti. Melainkan bersifat laduniah, langsung disalurkan dari sisi Allah. Al-Ghazali dalam sejumlah karya mistiknya pernah membahas tentang instrumen ruhiyah ini.

BACA: Mengenal “Malaikat”, Usaha Merekonstruksi Iman ke Level Paripurna

Penutup

Riset utama dalam kehidupan kita bukanlah untuk menemukan pengetahuan atas berbagai fenomena objek; baik dalam bentuk skripsi, thesis atau disertasi. Fokus riset utama kita juga bukan aneka objek pengetahuan untuk publikasi di Scopus. Itu semua mirip riset “abal-abal”. Maksudnya, setelah selesai riset, atau selesai dihitung kum kreditnya, semua paper itu kita buang ke tong sampah. Bukan berarti riset-riset ini tidak penting. Penting. Sangat penting. Apalagi kalau rekomendasi-rekomendasi yang kita buat di dalamnya ada yang peduli. Hanya saja, semua bentuk riset itu tidak membawa kita bertemu/menyatu dengan Objek pengetahuan yang paling kita cari dalam hidup ini, yaitu: Allah.

Begitu dicarinya Allah oleh para manusia, sampai-sampai lima kali sehari coba dijumpai. Tidak ketemu siang, malam pun kita bangun lagi untuk mencari-Nya. Di semua aktifitas, kita berusaha menemukan Allah. Karena itu, riset tidak boleh terhenti pada metode tekstual, filosofis dan empiris an sich. Harus dilengkapi sampai ke teknik-teknik iluminatif (ruhiyah). Sehingga pengetahuan kita ter upgrade, dari ilm dan ain; ke Haqq. Tidak ada lagi jarak antara kita dengan Dia. Kita mampu melihat realitas-realitas yang lebih tinggi dari alam fisika/materi. Itulah jenis metodologi riset yang dapat membuat seseorang dekat, bahkan tidak berjarak dengan Allah.

Jadi, keimanan/keyakinan bertingkat. Ada yang yakin karena pengaruh doktrin teks, ataupun karena rasionalitasnya menuntut untuk percaya bahwa Tuhan itu ada (ilmul yaqin). Ada yang yakin karena hasil observasi empirisnya menunjukkan bahwa kekuatan Tuhan ada di balik semua benda (‘ainul yaqin). Ada juga yang yakin karena Dia memang menemukan/berjumpa dengan Tuhannya (haqqul yaqin). Yang terakhir ini adalah bentuk iman yang konfirmatif. Imannya para akademisi dan researchers sejati, yang telah menempuh jalan metodologis tertentu untuk membuktikan segala hipotesis/kepercayaan pada level sebelumnya.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

5 thoughts on ““ILM, ‘AIN DAN HAQ”: TIGA LEVEL PENGETAHUAN

  1. I have read your article carefully and I agree with you very much. This has provided a great help for my thesis writing, and I will seriously improve it. However, I don’t know much about a certain place. Can you help me?

Comments are closed.

Next Post

FILOSOFI SUFISTIK RUKUN IMAN DAN RELASINYA DENGAN RUKUN ISLAM

Tue Apr 11 , 2023
Jurnal […]

Kajian Lainnya