FILOSOFI SUFISTIK RUKUN IMAN DAN RELASINYA DENGAN RUKUN ISLAM

Jurnal Suficademic | Artikel No.48 | April 2023

FILOSOFI SUFISTIK RUKUN IMAN DAN RELASINYA DENGAN RUKUN ISLAM
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Kali ini kita akan bahas hubungan rukun iman dan rukun Islam, melalui pendekatan filsafat ilmu. Kita akan pinjam ayat 1-5 surah Al-Baqarah untuk mendalami ini:

الۤمّۤ ۚ (1) ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ (2) الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ ۙ (3) وَالَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ وَمَآ اُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ ۚ وَبِالْاٰخِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَۗ (4) اُولٰۤىِٕكَ عَلٰى هُدًى مِّنْ رَّبِّهِمْ ۙ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ (5)

(1) Alif Lam Mim; (2) Itulah Kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya; petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa; (3) Orang-orang yang beriman pada yang gaib, menegakkan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka; (4) dan mereka yang beriman pada yang diturunkan kepadamu dan yang telah diturunkan sebelum engkau dan mereka yakin akan adanya akhirat; (5) Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS. Al-Baqarah: 1-5)

Islam, Agama Filosofis dan Ilmiah

Islam adalah agama pengetahuan. Sejak awal turun, settingan-nya adalah “iqra”. Islam agama “membaca”, agama riset, agama ilmiah, agama pengetahuan.

Sebagai sebuah agama ilmu dan pengetahuan, Islam tidak akan terlepas dari tiga komponen “filsafat ilmu”: (1) Ontologi: membahas tentang objek pengetahuan/wujud, (2) Epistemologi: membahas cara pembuktian objek pengetahuan/wujud, (3) Aksiologi: membahas nilai aplikatif yang etis dan estetis dari pengetahuan/wujud.

Hubungan ketiga komponen filsafat ilmu ini dapat diresume dalam skema berikut: Rukun iman (ontologi) >> Metode pembuktian (epistemologi) >> Rukun Islam/ruang implementasi nilai dari pengetahuan (aksiologi).

Rukun iman adalah percaya kepada yang gaib. Semua rukun iman itu gaib. Allah, malaikat, rasul, kitab, kiyamat, qadar; semuanya gaib. Kalau Allah dan malaikat sudah jelas gaib. Tidak perlu kita bahas lagi. Tentang malaikat pernah kami bahas dalam “Mengenal Malaikat, Usaha Merekonstruksi Iman ke Level Paripurna”.

Rasul juga begitu, gaib. “Rasul” itu bukanlah Muhammad bin Abdillah atau orang-orang sebelumnya. “Rasulullah” artinya “utusan” Allah. Rasulullah adalah Allah itu sendiri, yang mengutus dirinya dalam rupa Nur (Nurun ‘ala Nurin, Nur Muhammad, Jibril atau Ruh) ke dalam diri para nabi. Nur inilah pembawa “berita” (nabi) bagi manusia.

Jadi, “Nabi/Rasul” bukanlah makhluk materi. Rasul adalah entitas “Cahaya”, Makhluk Pertama atau Akal Awal; yang lahir dari pancaran (emanasi) dari Wujud Allah. Makhluk Ruhaniah ini super kreatif dan sangat cerdas. Ia membawa “mandat” (Wahyu/Amanat) Allah (QS. Al-Ahzab: 72). Ia hadir ke ruang semesta. Ia turun ke langit dunia. Tidak hanya alam ini yang tercipta dari Dirinya, Qalbu makhluk basyariah juga bisa diisi olehnya.

Ketika Qalbu seseorang mendapat limpahan elemen Ruhaniah ini, jadilah ia sebagai “utusan” Allah, dalam rupa manusia. Karenanya, Muhammad SAW itu baru disebut sebagai “Rasul” (utusan Allah), ketika Nurullah ini ber-tajalli, hadir atau bersemayam dalam dirinya. Muhammad adalah manusia biasa (basyar), yang kemudian sekujur tubuhnya terisi oleh Makhluk Spiritual ini (Wahyu/Ruh). Makhluk gaib (Nur Muhammad) inilah yang disebut “utusan”. Karena ia terutus dalam dada Muhammad, maka otomatis Muhammad dan para nabi disebut sebagai “utusan” Allah. Muhammad SAW adalah wadah bagi Nur utusan Allah ini. Karena tercelup dalam Nurullah ini, Muhammad SAW menjadi maksum dan selalu bisa berbicara atas nama Allah. Jadi, hakikat “Rasul” itu adalah Nur Muhammad. Makhluk gaib, pancaran langsung dari Dzat Allah.

Dalam pemahaman sufi, Muhammad SAW sebagai manusia biasa, itu sudah wafat. Tapi, Nur (utusan Allah) yang pernah hadir dalam dirinya, itu abadi. Nur inilah yang diwarisi dari satu qalbu ke qalbu generasi setelahnya. Sebagaimana Nur ini juga terwarisi dari satu nabi ke nabi lain sebelumnya, hingga sampai kepada Muhammad SAW.

Orang-orang yang mewarisi Nur Muhammad ini disebut sebagai “pewaris nabi”. Jadi, yang diwarisi adalah Nur, bukan yang lain. Karena itulah, para pewaris ini menjalankan misi kerasulan yang sama dengan Nabi. Hanya saja, orang-orang setelah Muhammad SAW tidak lagi disebut “nabi”. Istilah ini sudah ditutup pada Muhammad SAW. Ini sebagai bentuk penghormatan Allah untuk mengagungkan Muhammad sebagai “The Seal of Prophets”.

Orang-orang setelah Muhammad SAW yang mewarisi Nur ini disebut sebagai “wali”. Wali adalah para “penolong” Allah dan masih membawa fungsi-fungsi kenabian. Kata “wali” juga diambil dari salah satu Asma Allah, “Al-Waliy”. Para wali, walimursyid, imam atau ulil amri; adalah penerus Nabi, pembawa Asma Allah di muka bumi. Dari merekalah kita bisa mendapat talqin dan ijazah Kalimah Allah (Nur Muhammad) yang asli.

Kalimah-kalimah Allah dalam diri mereka inilah yang disebut “kitab”. Kalimah ini merupakan ‘catatan-catatan’ gaib, penuh pengetahuan atau ilmu dari Allah. Materi DNA manusia yang sangat halus saja bisa menampung milyaran informasi. DNA, walau ukurannya sangat mikroskopis, itu juga “kitab” yang penuh catatan (informasi) tentang seorang anak manusia. Konon lagi elemen Ruh yang di utus dalam jiwa, itu jauh lebih sempurna catatannya.

Jadi, “kitab” dalam rukun iman itu juga gaib. Kitab itu adalah “Alif Lam Mim” yang misterius itu. Sebuah Kalimah suci yang dapat menyambungkan segala Ruhani, menjadi petunjuk (hudan) bagi orang yang bertaqwa. Kitab adalah Kalimah Allah yang penuh mukjizat dan informasi, yang isinya adalah pertalian jiwa antara Allah, Jibril dan Muhammad. Taqwa adalah status untuk orang-orang yang memiliki pertalian sanad ruhani dengan Muhammad, Jibril dan Allah.

Ketika Quran mengatakan, “Alif Lam Mim. Itulah Kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi orang-orang bertaqwa” (QS. Al-Baqarah: 2); tentu tidak ada rujukan ke buku atau teks kitab apapun saat ayat ini turun. Quran sebagai buku teks kitab baru selesai dibuat pada masa Usman. Pada masa nabi, khususnya saat nabi menerima wahyu, tidak ada buku kitab apapun yang turun kepadanya. Yang turun adalah gelombang-gelombang spiritual, Nur, Cahaya atau sesuatu yang tidak berhuruf dan bersuara. Tapi, kandungan batiniahnya tinggi sekali. Di dalamnya penuh petunjuk, catatan dan informasi. Itulah “kitab” yang qadim. Alif Lam Mim itu. Gaib barangnya. Kalimah-kalimah gaib ini kemudian dikomunikasikan dalam bahasa manusia. Baru kemudian ia berhuruf dan bersuara. Lalu dicatat kembali. Lahirlah kitab versi selanjutnya dalam bentuk material kertas (baharu). Aslinya adalah gaib.

Jadi, baik Kitab (Kalimah-kalimah suci dalam dada para nabi), Rasul (Ruh), malaikat yang menjadi elemen nubuwwah; adalah gaib semua. Begitu juga dimensi akhirat (alam metafisika dan eskatologi yang bertingkat-tingkat: barzakh, mahsyar, dan sebagainya). Semuanya gaib. Qadha dan qadar (takdir/keadilan Ilahi) juga begitu. Tentang takdir akan kita bahas khusus pada kajian lainnya. Jadi sudah jelas, rukun iman itu gaib semua. Untuk hal-hal gaib inilah kita disuruh percaya. Itulah agama. Basisnya adalah “percaya” kepada yang gaib.

Meng-upgrade Level “Percaya”

Jadi, rukun iman adalah “ontologi dasar” dalam beragama. Rukun iman adalah “wujud” yang kita semua disuruh percaya, bahwa realitas dan eksistensinya ada. Rukun iman adalah alam ontologis yang hirarkinya lebih tinggi dari semesta materi. Semua ontologi ini adalah alam kita berasal, sekaligus akan kembali. Makanya alam wujud ini menjadi fokus utama dalam riset spiritual.

Sebagai agama ilmiah (agama pengetahuan), semua objek rukun iman dipaparkan dalam bentuk “hipotesa”. Meskipun belum pernah melihat berbagai wujud dari alam ini, kita disuruh percaya saja. Awal dari beragama adalah percaya-percaya saja (doktrin/dogma).

Tapi, agama bukanlah sekedar percaya-percayaan. Bagi orang awam, agama boleh saja menjadi sebuah doktrin/dogma yang dibawa sampai mati. Tapi, bagi para akademisi (kaum salik/researcher), agama adalah kebenaran yang harus dialami (experiencing sector). Karena itu, kepercayaan (hipotesa) harus dibawa ke ruang pengujian.

Ada seperangkat epistemologi (metodologi/tariqah) yang bisa digunakan untuk membuktikan kebenaran sebuah objek wujud yang diduga ada. Sehingga, wujud yang awalnya gaib bisa dikonfirmasi ke level “mukasyafah” (actual, observed, proven, becoming a reality). Alat epistemologi ini termasuk teks, rasio, indera sampai ke ruh. Masing instrumen ini punya kemampuan mengungkap keberadaan wujud pada level berbeda. Teks misalnya, hanya memberi info/berita bahwa Tuhan itu ada. Rasio memberi konsep logis terhadap keberadaan Tuhan. Sensitivitas indera menangkap gejala alam materi dan energi, bahwa Dia ada dibelakang itu semua. Sementara ruh dapat “memperjalankan” manusia untuk berjumpa, bahkan lebur (menyatu) dalam samudera Wujud.

Dari proses iluminatif-sufistik yang terakhir inilah dapat diperoleh tingkat keyakinan yang “hakiki” (Haq). Pengetahuan/kebenaran pada level “Haq” adalah Realitas Mutlak, alias Tuhan yang telah menampakkan/memperkenalkan Diri-Nya. Wujud yang sebelumnya hanya diduga/dipercaya/diyakini secara tekstual dan konseptual ada (ilmul yaqin), atau mungkin juga tanda-tanda kehadirannya terobserve di alam (‘ainul yaqin); kini dapat disaksikan dengan mata batin (bashirah).

BACA: “Ilm, ‘Ain dan Haq: Tiga Level Pengetahuan”

Itulah rukun iman, berbagai wujud ontologi tertinggi di alam semesta. Disebut “tinggi”, karena fondasi alam fisika (material) tergantung pada alam metafisika (ruh). Dari alam metafisika inilah lahir alam fisika. Duluan ada alam gaib daripada alam material. Alam gaib adalah wujud asal kita semua. Manusia boleh saja ahli dalam penguasaan sains material. Tapi, ketika para saintis tidak sampai pengetahuannya ke puncak hirarki dari segala wujud (ke alam Tuhan), itu berarti pengetahuannya belum sampai ke puncak tujuan (puncak sebab dari semua alam).

Karena itulah, menemukan Tuhan adalah menemukan segalanya. Puncak pencerahan dan kebahagian adalah menemukan asal usul kejadian kita. Agama melalui ontologi dan epistemologi yang kita bahas di atas, menawarkan jalan untuk mencapai pengetahuan tertinggi. Jalan untuk pulang. Terbukti, para nabi di sepanjang zaman, melalui serangkaian riset spiritual, telah berulangkali berhasil memperoleh pengetahuan tertinggi ini.

Ketika para nabi telah mencapai pengetahuan tentang alam metafisik, bukan berarti alam fisika (sains alam) terabaikan. Justru dari perjalanan ke alam metafisika inilah lahir banyak catatan terkait alam semesta yang ada di bawahnya. Quran adalah kitab yang diperoleh dari alam gaib. Namun banyak sekali mencantumkan pengetahuan tentang alam fisika. Artinya, kandungan agama mencakup dunia metafisika sekaligus fisika. Agama itu pengetahuan tentang Tuhan (alam akhirat) sekaligus alam semesta.

Membawa Unsur-Unsur Gaib (Ukhrawi) dalam Kehidupan Dunia

Ketika ontologi keimanan (hal-hal gaib ukhrawi seperti Allah dan malaikat) sudah diperoleh, selanjutnya adalah bagaimana membawa elemen itu semua ke dunia kerja. Ini disebut sebagai “aksiologi”. Aksiologi adalah usaha memberi nilai manfaat dari sebuah pengetahuan yang telah dicapai dalam bentuk aplikasi/aksi yang penuh etika dan estetika. Pengetahuan menjadi tidak bermanfaat kalau tidak aplikatif.

Iman itu harus aplikatif. Kalau kita lihat struktur metode riset ilmiah, rekomendasi agar sebuah pengetahuan dapat diterapkan dalam praktik (bernilai aksiologis), itu disebutkan dalam rekomendasi di penghujung pada Bab 5. Struktur lengkap riset ilmiah adalah sebagai berikut. Bab 1 “Pendahuluan” (Kesatuan Fenomena/Paradigma Tauhid). Bab 2 “Tinjauan Pustaka” (Dalil Teoritis/Syariah). Bab 3 “Metodologi” (Jalan Pembuktian/Tariqah). Bab 4 “Pembahasan dan Hasil” (Pengalaman Hakikat). Bab 5 “Kesimpulan dan Rekomendasi” (Makrifat). Kalau dibawa ke ranah ontologi agama, kelima bab ini adalah bagian dari menguji hipotesa keimanan. Lalu setelah ditemukan hasil, diujung ada rekomendasi bagaimana pengetahuan ini bernilai aksiologis (dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan).

BACA: “Syariat-Tarikat-Hakikat-Makrifat”: Metode Ilmiah dalam Beragama”

Sebelumnya kita ulangi sedikit topik riset “pencarian Tuhan”. Melalui proses riset pembuktian hipotesa keimanan, kita tidak hanya akan mengetahui bahwa Allah itu ada. Bahkan Allah yang awalnya maha gaib (batiniah), Dia bisa menjadi nyata (dhahir). Lebih dari itu, melalui metode ruhiyah, seseorang bahkan bisa bersahabat, dekat dan akrab dengan Allah. Lihat kasus para nabi. Sekali mereka menemukan Allah, maka selamanya akan bersama Allah. Hubungan mereka dengan Allah menjadi aktif dan komunikatif. Allah, setelah ditemukan, akan menjadi teman diskusi. Allah menjadi penolong dan penuntun gerak geriknya.

Kalau pengetahuan dan relasi dengan Allah sudah terbangun, baru kemudian nilai aksiologisnya akan muncul: semua amal ibadah kita menjadi “khusyuk”. Khusyuk berarti “hadir” Allahnya. khusyuk inilah yang membuat ibadah bernilai tinggi dan diterima disisi Allah. Ketika sudah mengenal dan akrab dengan Allah; shalat, puasa, zakat, haji, dan jihad kita pasti hadir Allahnya. Semua ibadah menjadi berpower, penuh karamah dan mukjizat. Nilainya tinggi sekali.

Fungsi kehadiran Yang Maha Gaib harus teraplikasi dalam bentuk amal keislaman dan aksi kemanusiaan. Secara umum, ibadah kita dapat diringkas dalam dua bentuk kesalehan: “individual” (shalat) dan “sosial” (berderma). Seperti tersebut pada ayat 3 Al-Baqarah di awal kajian: “Orang-orang yang beriman kepada yang gaib, menegakkan shalat, dan menginfakkan sebagian rejeki yang kami anugerahkan kepada mereka”.

Kalau sudah kenal dan akrab dengan Allah, segala bentuk langkah kesalehan kita akan dituntun-Nya. Maka mustahil kita melakukan kemungkaran. Ketika Allah sudah aktual kehadirannya dalam jiwa, Dia sendiri yang akan mengilhami seseorang tentang baik-buruk atau benar-salah sesuatu. Dengan demikian, hidup kita akan penuh etika dan estetika. Dia Maha Indah. Dia akan membisiki kita secara terus menerus kearah keindahan.

Sesungguhnya Allah hanya bisa disembah secara benar setelah berhasil ditemui. Ibadah seperti shalat adalah usaha untuk kembali mengingat Tuhan yang pernah ditemui. Nabi Musa as menegakkan shalat untuk “mengingat” Wujud yang pernah ia temui. Di Surah Thaha ayat 9-13 diceritakan perjalanan Musa mencari Allah. Setelah berhasil menemukan Allah (dan Allah telah memperkenalkan dirinya dalam kalimat sangat direct: “Aku”), Musa as diperintahkan untuk melaksanakan shalat sebagai alat untuk mengingat-Nya:

اِنَّنِيْٓ اَنَا اللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنَا۠ فَاعْبُدْنِيْۙ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ لِذِكْرِيْ

“Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada tuhan selain Aku. Maka, sembahlah Aku dan tegakkanlah salat untuk mengingat-Ku” (QS. Ṭāhā:14)

Nabi Muhammad SAW juga begitu, setelah melakukan mikraj dan berjumpa Allah, baru kemudian melaksanakan shalat sebagai media untuk kembali mengingat-Nya. Shalat/zikir adalah ibadah untuk menyembah/mengingat Tuhan yang sudah dijumpai. Artinya, rukun Islam dapat dikerjakan secara aksiologis (penuh nilai etika dan estetika), setelah selesai dengan proses pembuktian Wujud.

Sekali lagi, inilah yang dimaksud “aksiologi”; atau nilai manfaat, etika dan estetika dari pengetahuan. Ketika sudah memperoleh pengetahuan tentang Wujud/Tuhan secara Haqq, hidup dan ibadah kita akan penuh nilai dan tuntunan. Kita bisa saja merujuk ke teks Quran dalam bertindak. Tapi, melalui kehadiran Allah, Dia sendiri yang akan menuntun kita. Akan ada “kitab” khusus berupa “furqan” yang akan Dia berikan kepada hambanya melalui berbagai gelombang laduniah. Sehingga dengan itu seseorang mampu membedakan yang hak dengan yang batil, halal atau haram, secara aktual. Ketika kekuatan Allah dan para malaikat-Nya aktual dalam jiwa, gerak seseorang otomatis bernilai “sunnah”. Sebab, Allah sendiri yang tuntun.

Penutup

Rukun iman (khususnya Wujud Tuhan/Allah) adalah ontologi utama yang wajib dibuktikan dan ditemukan wujudnya (melampaui sekedar percaya). Metodologi epistemik yang ditawarkan beragam. Mulai dari teks, rasio, indera sampai ke ruh. Elemen Ruh inilah yang menyempurnakan semua bentuk riset spiritual. Ketika Wujud Allah sudah ditemukan via “perjalanan Ruh”, tahap selanjutnya adalah bagaimana membawa Dia turun serta untuk menemani Anda dalam segala aspek kehidupan. Ini sudah tahap aksiologis. Hadirkan Allah dalam semua praktik ibadah/rukun keislaman. Ketika Dia hadir, pasti akan terbangun etika dan estetika (nilai-nilai Ihsan) dalam semua aktifitas keduniaan kita.

Akhlak adalah, kehadiran Tuhan dalam setiap tindakan. Hanya yang sudah mencapai pengalaman “hudhuri” yang mampu berakhlak sesuai apa maunya Allah. Karena itu, fungsi rukun iman bukanlah sekedar percaya kepada adanya Allah. Melainkan agar kita mengetahui jalan untuk bisa menyatu dengan Allah, sehingga berperilaku sesuai akhlak Allah. Hanya ketika jiwa kita terisi elemen-elemen gaib metafisik yang maha suci ini, Ruhani kita akan senantiasa terbimbing secara etis dan estetis di jalan-Nya.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

4 thoughts on “FILOSOFI SUFISTIK RUKUN IMAN DAN RELASINYA DENGAN RUKUN ISLAM

  1. Syukran Bang Said, kokq artikel ini mudah diikuti dan mudah dicerna. Kata demi kata, kalimat demi kalimat terasa begitu mengalir. Mudah mudah aetikel no 47 yang akam menyisul dapat dipahami dari kata demi kata dan kalimat yg membenak.
    Ditunggu artikel no 47 selanjutnya, salam Tabik.

  2. Masyaa Allah…teurimonggeunaseh sharenya Ustadz Said Muniruddin

Comments are closed.

Next Post

"HUMAN CONSCIOUSNESS": MALAIKAT VS. IBLIS

Wed Apr 12 , 2023
Jurnal […]

Kajian Lainnya