METODE SUFISTIK PENETAPAN HARI RAYA

Jurnal Suficademic | Artikel No.51 | April 2023

METODE SUFISTIK PENETAPAN HARI RAYA
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Merujuk kepada instrumen epistemologi, ada tiga alat yang dapat digunakan untuk memperoleh pengetahuan. Kapan dimulainya puasa, ataupun lebaran, itu dapat diperoleh kepastiannya melalui tiga metode riset ini. Semua metode tersebut bersumber dari Quran dan Sunnah.

Ada sejumlah teks dalam Kitab yang menjadi landasan teoritis para ulama/ilmuan untuk memastikan kapan puasa/lebaran itu terjadi. Namun, karena teori dalam Kitab sangat kaya dan beragam, lahir aneka mazhab dalam penentuan puasa/lebaran. Berikut tiga teori penentuan waktu puasa dan lebaran yang ditawarkan Kitab.

Pertama, “teori rasional” (afala ta’qilun/tatafakkarun). Apakah kamu tidak berakal/berfikir? Kedua, “teori observatif” (afala tubshirun). Apakah kamu tidak melihatnya? Apakah sama orang buta dengan yang melihat? Ketiga, “teori wahyu/ilham” (wama nazzala minal haqq). Patuhilah kebenaran yang diwahyukan kepadamu. Apakah kamu tidak punya hati? Kepada Tuhan semua kembali. Berikut kita bahas masing metode ini.

Pertama, “metode filosofis-rasional”. Selain logika dan filsafat, metode rasional lainnya adalah ilmu hisab (ilmu hitung/matematik). Bidang astronomi adalah salah satu cabang alam fisika yang penuh hitung-hitungan. Ilmu hitung termasuk ilmu pasti. Karenanya, meskipun tidak melihat wujud bulan, kepastian awal Ramadhan atau lebaran dapat dihitung dengan cara ini. Pengetahuan yang diperoleh melalui metode ini disebut “ilmul yakin” (rationally objective).

Kedua, “metode observatif”. Ini metode empiris. Kapan awal masuknya Ramadhan atau Syawal, ditentukan dengan pola penginderaan wujud hilal (bulan). Mungkin secara hitung-hitungan sudah diperoleh informasi awal. Tapi, konfirmasi aktual diupayakan melalui proses pemantauan/penyaksian wujud hilal. Kalau bulan sudah terlihat, sesuai syarat dan kriteria tertentu, barulah dapat dipastikan jadwal puasa atau lebarannya. Dikarenakan “bulan” adalah objek empiris, maka Rasul dalam sebuah riwayat dikatakan juga mengobserve wujudnya saat ingin menentukan awal Ramadhan. Tingkat kebenaran yang diperoleh melalui cara ini disebut “ainul yakin” (empirically objective).

Ketiga, “metode iluminatif”. Ini metode “kontak jiwa” dengan Allah SWT. Sebagai manusia biasa, kita memang harus menempuh cara-cara rasional dan empirik untuk mencari tau awal waktu puasa/lebaran. Namun, sebagai makhluk berjiwa, bentuk-bentuk ikhtiyari ini harus dikonfirmasi kepada Allah. Boleh jadi ada keterbatasan dalam pencapaian rasio dan indera. Kedua metode ini ada kelebihan, sekaligus kekurangan. Karenanya, kita tidak boleh menentukan momen-momen “suci” (i.e., 1 Ramadhan dan 1 Syawal) dengan kesombongan intelektual. Hanya Allah yang berhak memberi izin kapan persisnya kita merayakan Ramadhan/lebaran.

Disinilah perlu kemampuan mengkonfirmasi semua temuan matematis (hisab) dan observatif (rukyat) kepada Allah. Ketika Dia setuju, berarti usaha Anda sudah benar. Uji hisab ataupun uji pemantauan hilal harus terkonfirmasi kepada Allah. Harus ada kontak ruhaniah dengan Yang Maha Wujud untuk membuat sebuah keputusan hukum. Itulah yang disebut “hakim”. Ada ilmu hikmah (kearifan spiritual) dalam melahirkan keputusan publik.

Nabi SAW pandai berhitung (punya akal). Pandai juga mengamati bulan (punya mata). Beliau, bahkan orang- orang sebelumnya, adalah bangsa maju dan berperadaban. Ahli astronomi semua. Tapi Rasulullah juga punya hati. Sehingga, hanya kepada Allah beliau menyerahkan keputusan hakikat dari sesuatu. Inilah ilmu sunnah, laduni, wahyu atau ilham. Segala gerak dan keputusan, secara esensial harus turun langsung dari sisi Allah SWT. Kebenaran yang diperoleh pada level ini disebut “haqqul yakin” (Al-Haqq, atau Allah sendiri yang memberi keputusan).

Masalahnya, siapa di tengah umat ini yang punya kapasitas sebagai mujaddid (“pemikir pembaharu”, setiap saat dapat memperbaharui keputusan hukum sesuai petunjuk langsung dari Allah). Orang ini adalah ulama atau ulil amri yang punya kemampuan intelektual sekaligus mujahadah spiritual, sehingga mampu mengkomunikasikan semua temuan tekstual, rasional dan empiriknya kepada Allah. Lalu dia mampu mendengar Allah berkata: “Ya, silakan berhari raya besok”. Atau, “Jangan, lanjutkan puasa sehari lagi”. Kalau tidak punya kemampuan itu, ya sudah, mau bagaimana lagi. Lanjutkan dengan kesombongan intelektual dan empirikal masing-masing. Abaikan Tuhan!

Tradisi Sufi

Seorang sufi sekalipun harus menempuh metode rasional-empirikal dalam penentuan hukum, sampai kepada level “Haqq”. Seorang arifbillah, setelah menempuh metode standar dengan menghitung gerak dan melihat posisi bulan, biasanya akan menunggu isyarah langit (muraqabah, God’s Decision) untuk pengambilan keputusan. Ini merupakan metode komplementer. Dan disitulah letak rahasia keberkahan dan kesempurnaan dari ibadah. Nilai etisnya tinggi sekali. Sebab, keputusan hukum telah terkonfirmasi dengan dimensi Ilahi. Karenanya, dalam tradisi klasik kewalian, umat menunggu pengumuman masing patron spiritual untuk memulai puasa/lebaran. Kapan gurunya mulai berpuasa, mereka ikut saja.

Agama itu pada dasarnya adalah spiritualitas personal. Masyarakat taklid dengan rujukan spiritual (marja’) masing-masing. Namun, ketika tugas ini diambil alih negara, tentu halnya menjadi berbeda. Ada keputusan umum yang dibuat untuk level penyelenggaraan negara. Namun demikian, walau penuh perdebatan, ruang personal untuk merayakan lebaran pada waktu berbeda masih diapresiasi negara, khususnya di Republik Indonesia.

Uniknya sufi, mereka punya cara unik dan lebih rileks dalam berhari raya. Lebaran tidak hanya produk interaksi jiwa (iluminatif), bahkan hasil “negosiasi” dengan Allah. Karena akrab dengan Allah, bisa jadi, ada diantara mereka yang berdoa: “Ya Allah, bolehkan kami berhari raya sesuai jadwal Muhammadiyah?”. Ada kemungkinan Allah mengabulkan itu, atau sebaliknya. Ada juga yang doanya seperti ini: “Ya Allah, kami ikut jadwal lebaran sesuai keputusan pemerintah saja”. Bisa jadi Allah setuju, atau menolak itu. Doa akan dikabulkan sesuai keikhlasan si peminta. Atau juga sesuai rencana terbaik dari Allah untuk seorang hambanya.

Lebih gawat lagi, ada kelompok sufi yang berhari raya di luar jadwal yang ditentukan Pemerintah dan ormas lainnya. Entah kalender dan formula matematik apa yang digunakan. Atau mungkin ada negosiasi apa antara mereka dengan Allah, sehingga membuat semua orang bingung dengan skedul ganjil mereka. Kalau Anda seorang sufi, usahakan jangan terlalu aneh lah. Jaga harmonisasi dengan masyarakat. Nanti bisa dituduh sesat. Kecuali satu kampung memang begitu.

Pun Anda sebagai masyarakat awam, kalau sempat melihat ada yang aneh-aneh dari ordo sufi tertentu dalam menyambut lebaran, bersabarlah. Tidak usah terlalu radikal dengan istilah musyrik dan bid’ah. Toleran saja. Namanya juga sufi. Terkadang kreatifnya luar biasa. Tidak sejumud kita.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

One thought on “METODE SUFISTIK PENETAPAN HARI RAYA

Comments are closed.

Next Post

IDA DAYAK DAN FENOMENA METAMEDIK

Fri Apr 21 , 2023
Jurnal […]

Kajian Lainnya