“ATSARIS SUJUD”: TANDA-TANDA BEKAS SUJUD (TAFSIR SUFISTIK AL-FATH: 29)

Jurnal Suficademic | Artikel No.58 | Mei 2023

“ATSARIS SUJUD”: TANDA-TANDA BEKAS SUJUD (TAFSIR SUFISTIK Al-FATH: 29)
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Yang namanya “tanda”, itu tentu bersifat fisikal/lahiriah. Begitu juga dengan tanda bekas sujud. Itu adalah tanda-tanda lahiriah bekas sujud yang bisa ditemukan pada wajah seseorang. Sebagaimana firman-Nya:

مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللّٰهِ ۗوَالَّذِيْنَ مَعَهٗٓ اَشِدَّاۤءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاۤءُ بَيْنَهُمْ تَرٰىهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَّبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانًا ۖ سِيْمَاهُمْ فِيْ وُجُوْهِهِمْ مِّنْ اَثَرِ السُّجُوْدِ ۗذٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ ۖوَمَثَلُهُمْ فِى الْاِنْجِيْلِۚ كَزَرْعٍ اَخْرَجَ شَطْـَٔهٗ فَاٰزَرَهٗ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوٰى عَلٰى سُوْقِهٖ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيْظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ ۗوَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ مِنْهُمْ مَّغْفِرَةً وَّاَجْرًا عَظِيْمًا ࣖ

“Nabi Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya bersikap keras terhadap orang-orang kafir (yang bersikap memusuhi), tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada WAJAH mereka tampak TANDA-TANDA BEKAS SUJUD. Itu adalah SIFAT-SIFAT MEREKA (yang diungkapkan) dalam Taurat dan Injil, yaitu SEPERTI BENIH yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu makin kuat, lalu menjadi besar dan tumbuh di atas batangnya. Tanaman itu menyenangkan hati orang yang menanamnya. (Keadaan mereka diumpamakan seperti itu) karena Allah hendak membuat marah orang-orang kafir. Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS. Al-Fatḥ [48]: 29)

Tanda sujud di wajah ada dua. Tanda kesalehan “lahiriah” dan tanda kesalehan “batiniah”.

Tanda “Lahiriah” Sujud

Tanda “lahiriah” sujud adalah jidat yang hitam. Ini tanda bekas sujud yang banyak dipahami awam. Tidak susah untuk memiliki jidat yang hitam. Ada bentuk jidat yang memang tulangnya agak menonjol. Itu juga mudah untuk menjadi hitam. Apalagi kalau sering shalat, dan berat badannya overweight. Pasti tekanan sujudnya ada di dahi.

Cara lainnya. Beri tekanan yang kuat di dahi setiap saat melakukan sujud. Gesek sedikit setiap mau sujud, atau setelahnya. Sering-sering shalat dengan cara itu. Konon lagi, aturan fikih ada yang mengharuskan dahi rapat ke lantai saat sujud. Pasti cepat keriput dan menghitam.

Kami juga pernah melakukan proses penghitaman jidat secara masal. Itu dulu, masa SMA, saat pernah menjadi pengurus remaja masjid. Ada prestise tersendiri kalau jidat terlihat hitam. Bahkan pernah berlomba sesama teman-teman siapa cepat hitam jidat. Lucu juga ketika mengingat masa-masa itu.

Belakangan, pernah juga mencoba-coba untuk shalat, selama Ramadhan misalnya, itu bisa 100 rakaat dalam semalam. Mohon maaf, bukan sombong. Biasa saja itu. Terkadang dua rakaat lebih baik dari 100 rakaat. Tidak perlu berlebihan juga dalam beribadah. Kecuali ingin coba-coba, ingin tau juga bagaimana rasanya. Rasanya biasa saja. Tapi, 100 rakaat yang kami lakukan itu tidak memberi tekanan yang kuat pada dahi. Sehingga tidak muncul tanda hitam. Masih mulus seperti biasa. Karena, bagi sebagian orang, risih juga jika muncul tanda itu. Tapi bagi yang lainnya, mungkin biasa saja.

Saya tidak bermaksud merendahkan yang memiliki tanda hitam di dahi. Ataupun memujinya. Dalam pandangan kami, itu hanya tanda yang muncul akibat keseringan dan kuatnya gesekan dahi dengan lantai. Apalagi lantai yang sedikit keras dan kasar. Atau jenis kulit tertentu yang mudah menghitam. Iya, hitam di jidat itu tanda sujud; dalam makna regularitas “syariat”. Bukan dalam makna performa “hakikat”.

Artinya, boleh jadi seseorang mempunyai jidat yang hitam akibat intensitas gesekan dahi di lantai atau ambal masjid. Sekilas, itu memang merefleksikan kesalehan, tapi dalam bentuk “kesalehan lahiriah”. Belum tentu ia mempunyai “kesalehan batiniah”.

Kita agak khawatir. Sebab, maaf, yang berjidat hitam sering kami lihat suka menyalahkan orang. Meskipun tidak semuanya begitu. Banyak sahabat kami yang dahinya hitam dan akhlaknya terpuji. Tapi banyak di luar itu yang masih suka mengkafirkan dan membid’ahkan saudaranya. Suka menuduh mazhab ini sesat. Mazhab itu sesat. Matanya sampai melotot saat berceramah. Suka teriak-teriak. Penuh emosi dan marah-marah. Cuma dirinya yang dianggap paling benar. Hafalan hadisnya memang kuat. Tapi angkuh. Saya sering termenung, sambil menatap jidat hitam beberapa ustad ini. Belum lagi kita lihat bagaimana kelompok-kelompok ISIS yang dahinya penuh bekas sujud, tapi menjegal leher siapapun yang berbeda dengan mereka. Dimana letak efek sujud mereka.

Tapi harus kita akui. Mereka rajin shalat bahkan selalu tepat waktu. Dan itulah tanda bekas dari aktifitas “lahiriah” sujudnya. Tapi itu tidak serta merta merefleksikan keterpujian akhlak sebagai seorang yang hatinya senantiasa sujud kepada Allah. Karena itu, ada jenis “tanda” bekas sujud di wajah yang lebih merefleksikan sikap sujud ruhaninya kepada Allah. Inilah yang kami sebut sebagai, tanda “batiniah” sujud.

Tanda “Batiniah” Sujud

Ada dua bentuk tanda batiniah dari sujud: (1) wajah yang “bercahaya” dan (2) “benih” yang memiliki tunas. Keduanya dalam makna simbolik.

Pertama, sering disebut sebagai “wajah yang bercahaya”. Mana ada wajah yang bercahaya. Wajah tidak pernah mengeluarkan cahaya seperti bola lampu atau sinar senter. Itu hanya gambaran maknawi dari wajah yang “bahagia”. Orang yang air mukanya bahagia, itu refleksi dari batin yang tenang. Wajah orang-orang yang hormon endorphinnya kuat, jauh berbeda dengan mereka yang hatinya selalu susah dan menderita.

Lumba-lumba adalah contoh binatang yang hormon erdorphinnya kuat. Karenanya, wajahnya selalu ramah dan “bercahaya”. Dalam keadaan susah sekalipun, ia tetap terlihat ceria. Bersahabat dengannya bisa menyembuhkan rasa sakit dan menularkan rasa bahagia.

Begitu juga manusia. Sebagaimana disebut dalam ayat 29 surah Al-Fath diatas, manusia yang kuat melakukan rukuk, sujud dan batinnya senantiasa mencari karunia dan keridhaan Allah (تَرٰىهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَّبْتَغُوْنَ فَضْلًا مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانًا ) juga akan memiliki tanda itu di wajahnya. Produksi kimiawi endorphin dalam tubuh orang yang senantiasa ridha dengan karunia Allah akan meningkat. Sehingga menyiratkan tanda bahagia, “putih berseri” pada setiap garis wajahnya.

Wajah “bercahaya” juga sering dikaitkan dengan ayat: “Pada hari yang di waktu itu, ada muka yang putih berseri (ibyadh al-wujuh) dan ada pula muka yang hitam muram (iswad al-wujuh). Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya (mereka ditegur), “Mengapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu, rasakanlah azab yang disebabkan oleh kekafiranmu itu” (QS Ali ‘Imran [3]: 106).

Begitulah gambaran wajah Rasulullah dan orang-orang shaleh. Sebaliknya, para pendosa umumnya memiliki wajah “seudong” (hitam/kusam), walaupun dipaksa tertawa. Struktur kimiawi tubuh orang-orang yang tinggi ananiyah (ego) memang tidak bagus. Auranya jelek. Kita tidak bisa meniopu diri sendiri. Sisi lahiriah wajah kita adalah pancaran dari suasana jiwa. Walau dibedakin sekalipun, otot culas dan iri dengki tetap masih muncul.

Kedua, “benih” yang memiliki tunas. Ini adalah tanda bekas sujud, yang sekaligus menggambarkan sifat-sifat orangnya. Kalimat mutasyabihat yang penuh makna ini tersebut dalam ayat 29 Al-Fath di atas (ذٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ ۖوَمَثَلُهُمْ فِى الْاِنْجِيْلِۚ كَزَرْعٍ اَخْرَجَ شَطْـَٔهٗ). Menurut ayat ini, “atsar sujud” adalah tanda-tanda bekas sujud yang ada di wajah seseorang (سِيْمَاهُمْ فِيْ وُجُوْهِهِمْ مِّنْ اَثَرِ السُّجُوْدِ ۗ), yang mengambarkan sifat-sifat (karakter) orangnya sebagaimana pernah dijelaskan dalam kitab-kitab terdahulu (ذٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ ۖوَمَثَلُهُمْ فِى الْاِنْجِيْلِۚ). Tanda-tanda tersebut berupa “benih” (kadzar-‘in) yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu makin kuat, lalu menjadi besar dan tumbuh di atas batangnya (كَزَرْعٍ اَخْرَجَ شَطْـَٔهٗ فَاٰزَرَهٗ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوٰى عَلٰى سُوْقِهٖ).

Kami baru memahami ini ketika menyimak ontologi tasawuf. Guru sesekali menjelaskan “ilmu perwajahan”. Ternyata, di wajah kita terdapat banyak sekali tanda-tanda kesalehan (sekaligus kesalahan). Apakah seseorang itu punya karakter tunduk patuh kepada Allah, itu bisa dibaca pada bentuk-bentuk “benih” yang secara lahiriah nampak pada wajah. Tanda-tanda ini terdapat baik pada sisi kanan maupun kiri wajah. Masing-masing punya arti.

Karakter seseorang, baik atau buruk, itu akan mencuat pada permukaan wajah. Itulah yang disebut “benih bertunas”. Benih-nya adalah gambaran hidup dari sisi gerak substansial batin kita. Ketika batin kita baik, ada tanda (benih) yang biasanya muncul di sisi dan bagian tertentu wajah. Begitu pula, kalau kepribadian kita buruk.

Karena itulah, bagi para ahli tasawuf, mereka akan tau siapa kita dan bagaimana karakter kita, hanya cukup dengan melihat wajah. Mereka bahkan bisa tau latar keluarga seseorang dari “benih” yang ada di wajahnya. Kita adalah produk yang ditanam (dilahirkan) oleh generasi sebelumnya. Apakah kita keturunan ahli sujud, atau keturunan ahli maksiat; DNA-nya berbekas/terwarisi di wajah. Tapi itu bukan berarti ada pewarisan dosa. Itu hanya jejak sejarah yang membekas di wajah. Semua menjadi potensi fujur dan taqwa yang masih kita miliki.

Wajah tidak bisa menipu. Berbagai kondisi batiniah akan terefleksi dan tumbuh dalam bentuk “benih” di wajah. Pada prinsipnya, apa yang kita lakukan sehari-hari adalah upaya menanam “benih” kebaikan (ataupun keburukan) pada wajah kita. Benih itu bertunas, bercabang dan bisa ditelusuri akar persolannya. Juga bisa dihilangkan dengan izin Allah. Wajah adalah layar penampakan sifat-sifat kita. Itulah yang disebut “tanda-tanda bekas sujud”. Baik atau buruknya akhlak kita, apakah kita suka mengerjakan kebaikan atau tidak, akan tercermin pada tanda “benih” di sisi kiri dan kanan wajah kita.

Dari tanda ini juga bisa diketahui, apakah seseorang berkarakter ashhabul yamin (golongan kanan) atapun ashhabusy syimal (golongan kiri). Dan jejak-jejak fujur itu bisa diperbaiki lewat usaha tertentu, agar masa depan kita dan generasi kita menjadi lebih baik. Kita bisa memperbaiki “benih-benih” di wajah guna memperbaiki potensi kesalehan keturunan kita. Kita tentu akan senang ketika mampu melahirkan benih generasi taqwa.

Proses tazkiyatun nafs (i.e., zikir) merupakan salah satu metode efektif untuk memperbaiki sisi buruk dari wajah batin kita. Sayr wasuluk merupakan bentuk rukuk dan sujud (رُكَّعًا سُجَّدًا) yang mampu membangun secara kuat adab-adab batiniah seseorang. Sehingga melahirkan karakter postif, cahaya, tanda, sifat atau “benih” yang baik di wajah. Zikir termasuk salah satu cara menyiapkan potensi taqwa untuk tujuh generasi kemudian. Gelombang zikir kita akan terwarisi dalam genetik dan wajah keturunan kita. Zikir juga akan memberi vibrasi doa dan keampunan bagi tujuh generasi pendahulu (leluhur/kakek nenek) kita, tanpa hijab.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

One thought on ““ATSARIS SUJUD”: TANDA-TANDA BEKAS SUJUD (TAFSIR SUFISTIK AL-FATH: 29)

Comments are closed.

Next Post

METODE PEMBUKTIAN AYAT (TELAAH METODOLOGIS FUṢṢILAT 30)

Sun May 7 , 2023
Jurnal […]

Kajian Lainnya