METODE PEMBUKTIAN AYAT (TELAAH METODOLOGIS FUṢṢILAT 30)

Jurnal Suficademic | Artikel No.59 | Mei 2023

METODE PEMBUKTIAN AYAT (TELAAH METODOLOGIS FUṢṢILAT 30)
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Perhatikan ayat ini:

اِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللّٰهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ اَلَّا تَخَافُوْا وَلَا تَحْزَنُوْا وَاَبْشِرُوْا بِالْجَنَّةِ الَّتِيْ كُنْتُمْ تُوْعَدُوْنَ

Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah,” kemudian istiqamah (dalam pendiriannya), akan turun malaikat-malaikat kepada mereka (seraya berkata), “Janganlah kamu takut dan bersedih hati serta bergembiralah dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu” (QS. Fuṣṣilat [41]: 30)

Ayat ini menyebutkan. Jika ada yang mengatakan “Tuhan kami adalah Allah”, kemudian ia istiqamah, akan turun malaikat kepadanya.

Pertanyaannya, apakah kita termasuk orang yang mengatakan bahwa Allah adalah Tuhan kita? Apakah kita sering/selalu mengatakan itu? Berapa sering kita mengatakan itu? Bukankah sejak kecil, bahkan tiap hari kita mengatakan itu? Terus, apakah malaikatnya sudah turun kepada kita? Apa yang dimaksud “turun” malaikat? Ada berapa malaikat yang turun? Apa tanda malaikat sudah turun? Malaikat apa yang turun? Seperti apa malaikatnya? Sudah pernah berjumpa?

Ayat Quran adalah Teori/Dalil Hukum (Hipotesa) untuk Terus Menerus Dibuktikan Kebenaran Realitasnya

Banyak sekali ayat yang menawarkan “utilitas” seperti di atas. Kalau melakukan ini, Anda akan memperoleh manfaat ini. Kalau mengamalkan ini, Anda akan mendapat faedah ini. Kalau membaca ini, Anda akan menjadi seperti ini. Sekilas, seolah-olah segampang itu. Secara teori memang begitu, terlihat mudah. Kenyataannya, tidak selalu seperti itu. Ada metodologi, cara, langkah dan prosedur tertentu untuk mencapai apa yang dijanjikan. Tanpa metodologi yang benar, itu tidak akan pernah terjadi.

Ayat Quran merupakan konsep, dalil, hipotesa ataupun dasar hukum teoritis (syariat) tentang banyak hal. Tapi, untuk dapat dibuktikan kebenaran wujud atau realitasnya; itu butuh metodologi pengungkapan. Semua ayat, itu benar, secara teoritis. Tapi bagaimana cara pembuktiannya secara praktis, itu perlu metode (tariq/cara/jalan).

Misalnya, ada teori yang mengatakan begini. “Sebuah kota dapat dihancur leburkan dengan sedikit unsur air”. Itu teori. Pertanyaannya, apakah teori itu benar? Katakanlah, yang membawa teori itu adalah orang paling jujur dan paling cerdas di dunia. Tidak mungkin ia bohong. Apakah Anda percaya dengan teori dia ini?

Tentu kita percaya. Tapi ya sekedar percaya. Sekedar percaya kepada teori, itu namanya “hipotesis”. Terus, buktinya mana? Apakah cukup dengan sekedar percaya? Bagaimana cara membuktikan bahwa kata-kata (teori) dia itu benar?

Maka, untuk mencapai level “ilmiah” yang tinggi dari sebuah teori, apa yang disampaikan itu harus bisa diuji. Karenanya butuh langkah praktis dan sistematis untuk mencapai kebenaran yang diucapkan.

Ternyata benar teori yang mengatakan, “sedikit saja unsur air, itu dapat menghancurkan satu kota”. Itulah “bom hidrogen”. Namun, untuk menghasilkan bom hidrogen, butuh langkah yang sangat serius. Anda harus sangat disiplin untuk mengolah partikel atom dari air sampai menjadi bom hidrogen. Anda butuh laboratorium, supervisor yang ahli, ketekunan, waktu dan langkah yang terukur. Harus cermat sekali.

Menghafal teori, bahwa sedikit air dapat menghancurkan kota; itu tidak menghasilkan apa-apa. Kecuali Anda menempuh sebuah langkah metodologis untuk membuktikannya. Begitu juga dengan agama. “Religion is science in the highest dimension”, kata Prof. Dr. Kadirun Yahya, seorang ahli metafisika Islam. Quran itu kumpulan teori, yang 100 persen benar. Tapi perlu keahlian metodologis untuk mencapai kebenaran faktualnya. Kita tidak pernah meragukan Quran. Kita hanya meragukan apakah masih ada ahli yang mampu meracik ayat menjadi mukjizat.

Misalnya, sebagaimana disebut dalam Fuṣṣilat 10 di atas, yang istiqamah menyebut “Tuhan kami adalah “Allah”, akan turun malaikat kepada mereka. Pertanyaannya, bagaimana membuktikan kebenaran dalil ayat ini? Metode apa yang digunakan untuk membuktikannya? Bagaimana cara menyebut nama Allah sehingga bisa turun malaikat? Apa itu malaikat? Apa indikator sudah turun malaikat? Apa itu istiqamah? Apa indikator istiqamah?

Pertanyaan ini semua, dalam karya ilmiah (i.e., skripsi, tesis atau disertasi), itu ada di Bab 3 (metodologi riset, definisi variabel dan indikator pengukuran). Sementara dalil syariat, argumentasi hukum, proposisi ayat, konsep atau teori; itu ada dalam Bab 2 (Landasan Teoritis). Kebenaran teori dalam Bab 2 harus diuji kembali melalui serangkaian rancangan metodologi dalam Bab 3. Semakin sering uji di setiap zaman dan tempat, semakin universal kebenaran sebuah teori.

BACA: “Syariat-Tarikat-Hakikat-Makrifat: Metode Ilmiah dalam Beragama”

Islam atau Quran juga begitu. Semakin sering diuji disetiap zaman dan tempat, semakin universal (absolut) kebenarannya. Para nabi melakukan itu sepanjang sejarah. Mereka menguji kebenaran Kalam Tuhan di setiap tempat dan zaman. Itulah yang harus dilakukan umat beragama. Tugas utama orang beriman adalah menguji kebenaran teori/dalil Quran, agar kebenarannya naik, dari level teoritis (ilmul yakin) ke level “proven” (haqqul yakin).

Agama pada hakikatnya adalah “pengalaman yang berulang-ulang”. Agama bukan sekedar teori yang dihafal-hafal. Apa yang dialami Nabi 1400 tahun lalu, harus dialami oleh umatnya. Pengalaman surgawi Adam as ribuan tahun silam, itu harus bisa dirasakan kembali oleh kita di akhir zaman. Itu namanya Islam sesuai, relevan dan dapat dibuktikan kebenarannya sepanjang tempat dan zaman.

Agama itu rasa. Agama merupakan “experiencing sector”. Agama atau iman, itu disebut “nikmat”, ketika bisa dialami. Jadi, hipotesa (iman/keyakinan) baru akan menjadi nikmat, ketika ada metodologi untuk mewujudkannya dalam realitas yang nyata. Ayat Quran adalah “resep” makanan. Tidak ada rasa yang luar biasa, kalau cuma sekedar dibaca-baca. Resep itu baru akan “nikmat” kalau lewat proses dan metodologi tertentu dapat diubah menjadi realitas makanan yang sebenarnya.

Jadi, ketika dalil-dalil ayat bisa dipraktikkan sehingga melahirkan realitas aktual, Islam menjadi agama saintifik dan ilmiah. Ilmiyun wa amaliyun. Teoritis sekaligus metodologis. Jika tidak, Islam akan menjadi agama dogma. Yang tertinggal hanya bacaan. Alih-alih menjadi mukjizat yang aplikatif disepanjang tempat dan zaman; agama lama-lama justru menjadi dongeng.

Mukjizat is “power”. Coba lihat, bagaimana sains dan teknologi berkembang secara pesat. Itu semua ‘mukjizat’ dunia empiris. Disebut ‘mukjizat’, karena selain dibangun atas dasar teori dan hipotesa, juga ada metodologi untuk membuktikan realitas dan kekuatannya. Karena itu, teknologi moderen sangat canggih. Ada metode ilmiah untuk mengaktualkan berbagai kekuatan yang tersembunyi dari dunia materi atau alam fisika.

Agama seharusnya juga begitu. Bahkan mampu melahirkan “mukjizat” lebih agung. Agama, jika dikuasai metodologinya, bisa membawa manusia sampai kepada perjumpaan dengan berbagai entitas yang lebih tinggi dalam hirarki ontologi. Seperti malaikat dan Tuhan. Itulah yang kurang dalam tradisi kita beragama sekarang. Bacaan dan hafalan terhadap Quran memang sangat tinggi. Tapi metodologi pembuktiannya banyak yang terlupakan. Karena itu, agama kehilangan “power” (mukjizat).

Ayat-ayat tentang shalat misalnya, itu kan cuma teori/dalil syar’i. Untuk mencapai jenis shalat yang khusyuk, berpower, dan menjamin kemenangan dalam setiap langkah perjuangan (qad aflahal mukminun, alladzinahum fi shalatihim khasyi-‘un); itu ada metodologinya. Kenyataannya, kita kalah terus dimana-mana. Artinya, kita memang rajin shalat. Tapi mazhab dan metodologi shalat kita sepertinya tidak sesuai harapan Tuhan. Karena itu, perlu kerja keras untuk menemukan kembali metodologi/tarikat yang benar dalam menegakkan shalat. Kalau Ruhani tersambung dengan Allah, mustahil kita miskin, bodoh dan terjajah.

Yang Istiqamah Berzikir, Pasti akan Merasakan Kehadiran Malaikat

Jadi, ada metodologi untuk mengubah air sumur yang kotor menjadi air minum (H2O) yang sehat dan dapat menghilangkan dahaga. Bahkan melalui proses destilasi lebih lanjut, air bisa diubah menjadi Natrium Clorida (NaCl) yang bisa diinfus ke nadi guna menyembuhkan orang sakit. Pun dengan teknik tertentu, air bisa diubah menjadi tenaga listrik (PLTA) yang mampu menghidupkan dan menerangi rumah tangga. Konon lagi untuk menjadi bom hidrogen (bom-H), langkah teknis dan teknologinya pengolahan fusi nuklir isotop hidrogen air tentu lebih dahsyat lagi. Hanya beberapa ahli yang mampu melakukannya.

Kalimat “Allah” dalam Fuṣṣilat 30 juga begitu. “Allah” itu cuma kata/kalimat. Bagi orang awam, kalimat “Allah” cuma bisa dibaca dan disebut-sebut. Tanpa efek berarti. Hanya sebatas hafalan dan konsep. Tapi, melalui teknik dan metodologi tertentu, penyebutan Tuhan kami adalah “Allah”; itu bisa diubah menjadi berbagai jenis “Kalimah” (Realitas) yang dapat menghidupkan, menyembuhkan, menerangi dan bahkan mematikan.

Pada suatu malam, sekelompok pencari kebenaran hadir menemui seorang Sufi master. Mereka ingin berguru dan mencari tau bagaimana cara efektif untuk mendekatkan diri kepada Allah. Oleh Sufi ini, dengan teknik tertentu, kepada mereka diajarkan cara mengamalkan kalimat, Tuhan kami adalah “Allah”.

Karena yang ia berikan hanya sebuah kalimat, dan agar itu menjadi hidup (tumbuh) menjadi Kalimah, tentu para murid harus terlebih dahulu ‘dimatikan’. Ruhnya harus disucikan. Maka dilakukan beberapa ritual “kematian iradhi” dan penyucian ruhani (tazkiyatun nafs). ‘Kematian’ merupakan syarat terhubung dengan Allah. Karena itu, ritual “mati sebelum mati”, sebagaimana dilakoni para sufi, menjadi jalan bagi perjumpaan dengan-Nya, sejak di dunia. Ada teknik tertentu untuk ‘mematikan’ diri.

Masih dalam proses itu, mereka ditalqinkan Kalimah “Allah” dalam sebuah cara yang misterius. Ia juga mengajarkan mereka cara membaca Kalimah tersebut. Metode mengamalkan zikir “Allah”, ternyata penuh dengan adab dan sistematika ruhaniah (kaifiyat). Sang sufi juga mengajarkan berapa lama mereka harus mengamalkan itu, secara istiqamah. Sufi ini juga menjelaskan, berapa kali dalam sehari mereka dapat mengamalkan itu, serta jumlah minimal bacaannya.

Beberapa waktu kemudian, setelah lama tidak berjumpa, sekelompok orang ini bertemu kembali. Tapi dalam suasana berbeda. Mereka saling menatap seperti ada sesuatu yang terjadi dengan mereka. Khususnya yang mengamalkan zikir secara istiqamah pada jumlah waktu yang telah ditentukan. Ternyata, ada pengalaman-pengalaman “kehadiran” yang mereka alami, lihat dan rasakan. Tapi mereka tidak tau apa itu. Unik. Terkadang mengejutkan.

Barulah kemudian Guru sufi dalam beberapa tahapan sayr wasuluk kembali menjelaskan tentang apa yang sebenarnya mereka alami, lihat dan rasakan. Ternyata, itu adalah entitas-entitas “malaikat” yang turun dari sisi Allah. “Kalian sudah mati. Kalian sudah tersambung dengan Kalimah. Karenanya, malaikat tidak gaib lagi bagi kalian. Sebab, kalian sudah hidup di sisi Tuhan dan sudah terjaga dari mimpi-mimpi duniawi kalian”, begitu kata Master Sufi.

Karena malaikat adalah konsep “abstrak” yang selama ini hanya didengar dalam ceramah-ceramah, tentu butuh waktu bagi sang Sufi untuk memperkenalkan jenis malaikat yang sesungguhnya. Malaikat yang asli tentu wujudnya bisa jauh berbeda dari bentuk malaikat yang terdogma dalam mental imej para muridnya. Di dunia hakikat, seseorang akan menjumpai realitas asli dari berbagai konsep yang ia terima sebelumnya. Boleh jadi, realitas itu berbeda sekali dengan apa yang mereka duga. Karenanya, dunia tarikat dan hakikat sering “mengejutkan”. Pengalaman makrifat sering meluruskan berbagai pengetahuan konseptual yang dibangun terlalu imajinatif.

Itulah jalan pembuktian Fuṣṣilat 30 yang metodologinya disimulasikan oleh sang Sufi master kepada muridnya. Bahwa benar, kalimat “Tuhan kami adalah Allah” dapat dipraktikkan dalam bentuk-bentuk amalan rahasia (zikir personal) para nabi. Sang sufi menentukan jumlah hari yang mereka harus istiqamah melakukan itu. Biasanya sering diistilahkan dengan “40 hari”, “100 hari”, “7 tahun” dan sebagainya. Tergantung target capaian dari amalan dan pembuktian metafisika dari ayat tertentu.

Jumlah bacaan (zikir) perhari juga ada ketentuannya. Pada prinsipnya, zikir itu dapat dilakukan “sebanyak-banyaknya”. Zikran katsira, QS. Ahzab: 41 (يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوا اذۡكُرُوۡا اللّٰهَ ذِكۡرًا كَثِيۡرًا). Namun, indikator “banyak” juga ada range nilai variabelnya. Apakah 1000, 5000, 10.000, 70.000 dan sebagainya.

Kesimpulan

Quran berisi “ayat-ayat” (dalil/hipotesa), yang harus ditemukan metodologi pembuktiannya. Seperti ayat di atas, dikatakan: “Jika istiqamah menyebut nama Allah, akan turun malaikat” (QS. Fuṣṣilat 30). Pertanyaannya, apa yang disebut “nama Allah”? Apa metodologi yang digunakan untuk menyebut nama Allah? Apa itu “malaikat”? Apa makna “turunnya” malaikat? Apa indikator malaikat sudah turun?

Ada juga ayat yang menyebutkan: “Berdoalah, niscaya akan kukabulkan” (Gafir: 60; QS. Al-Baqarah: 186). Pertanyaannya, apa yang dimaksud “berdoa”? Metodologi apa yang digunakan untuk berdoa? Apa indikator bahwa doa akan dikabulkan?

Ada juga ayat yang berbunyi: “Maha suci Allah yang memperjalankan hamba-Nya” (QS. Al-Israk: 1). Apa maksud “diperjalankan”? Metodologi yang bisa digunakan sehingga seorang hamba bisa diperjalankan? Apa indikator bahwa seseorang sudah diperjalankan?

Ada juga ayat yang menjelaskan, “orang-orang beriman bergetar hati saat nama Allah disebut” (QS. Al-Anfal: 2). Apa makna “bergetar” hati? Apa metodologi yang dapat membuat hati bergetar? Apa indikator bahwa hati sudah bergetar?

Ada juga ayat yang mengatakan: “Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan munkar?” (QS. Al-Ankabut: 45). Apa definisi dari “shalat”? Apa itu keji dan munkar? Shalat apa yang dapat mencegah seseorang dari perbuatan keji dan munkar? Metodologi apa yang digunakan untuk melaksankan shalat seperti itu? Apa indikator bahwa shalat (yang mencegah keji dan munkar) telah dikerjakan? Apakah selama ini kita sudah mengerjakan shalat, sudah tercegah dari perilaku keji dan munkar?

Banyak ayat serupa, yang menjanjikan “utilitas” (faedah/manfaat/efek) jika mengamalkan sesuatu. Quran itu banyak sekali berisi dalil syariat (kumpulan ayat/teori/hipotesa) tentang faedah empirik jika kita besedia melakukan sesuatu, baik pada dimensi fisik (sains alam) maupun metafisik (spiritual). Sementara, yang namanya “dalil”, itu hanya sebatas “informasi”. Untuk mencapai hasil dalam bentuk-bentuk realitas hakiki, itu perlu jalan pembuktian. “Jalan” inilah yang disebut sebagai “tariqah” (metodologi).

Tariqah, pada dimensi metafisik, adalah jalan untuk menghubungkan jiwa kita dengan Allah. Sehingga, teks/ayat/bacaan menjadi bervibrasi, punya kekuatan untuk menerangi, menghidupkan, menyembuhkan dan mematikan. Tarikat adalah jalan untuk mengubah kalimat (yang sifatnya baharu), menjadi “Kalimah” (yang sifatnya Qadim). Tarikat adalah metode untuk mengubah ayat dari realitas teks menjadi realitas malakut (Ruh). Tarikat adalah sebuah metode untuk melakukan fusi nuklir pada setiap atom ayat, sehingga melahirkan kekuatan (mukjizat).

Tarikat, sebagaimana bunyi akhir ayat Fuṣṣilat 30, adalah metode untuk menguatkan jiwa manusia sehingga mencapai ketenangan yang hakiki. Manusia adalah makhluk pencari, penuh rasa was-was dan gelisah. Dunia dan kebenaran level akademik yang positivistik justru membuat orang menjadi skeptis. Hanya ketika iman bisa di upgrade ke level pembuktian yang meyakinkan (Haqq), maka seseorang akan hilang rasa takut dan sedihnya. La takhaf wala tahzan. Sebab, ketika baginya telah tersingkap berbagai kebenaran yang selama ini hanya sebatas dugaan, ia akan merasakan kekuatan iman yang sesungguhnya.

Melalui tarikat yang benar, yang dimbing oleh Guru yang benar, semua dimensi gaib (rukun/ontologi keimana) bisa dihadirkan. Melalui tarikat, seseorang bisa dipastikan sudah berada di surga (sudah bersama Allah), sejak ia masih di dunia. “Janganlah kamu takut (alla takhafu) dan bersedih hati (wala tahzanu) serta bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan kepadamu” (QS. Fuṣṣilat [41]:30).

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

One thought on “METODE PEMBUKTIAN AYAT (TELAAH METODOLOGIS FUṢṢILAT 30)

Comments are closed.

Next Post

MAKNA SUFISTIK "HAFIDZ"

Mon May 15 , 2023
Jurnal […]

Kajian Lainnya