“BE STUPID!”

Jurnal Suficademic | Artikel No.63 | Mei 2023

BE STUPID!
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Beragama itu ada dua level. Level pertama, berlaku hukum “Don’t be stupid!”. Jangan bodoh. Level kedua, “Be stupid!”. Bodoh saja lah. Untuk sempurna beragama, seseorang harus menerapkan kedua hukum ini. Merujuk pada kajian kita sebelumnya, “Consciousness Map: Peta Kesadaran Manusia”, skala 0-499 mendidik kesadaran kita untuk “cerdas” (secara aqliyah/naqliyah). Sementara 500-1000, itu sudah pendidikan untuk naik ke level ‘bodoh’ (spiritually awake).

BACA: “Consciousness Map”: Peta Kesadaran Manusia

“Don’t Be Stupid!”

Level pertama, “Do not be stupid”. Ini wilayah akal. Wilayah dalil dan argumentasi. Untuk memilih dan mengamalkan sesuatu, Anda perlu dalil. Paling tidak, ada sebuah petunjuk umum bahwa apa yang kita lakukan itu benar. Pernah dilakukan oleh orang shaleh sebelumnya.

Agama itu tekstual sekaligus rasional. Kita punya kitab yang menyuruh beribadah (shalat, puasa, zakat, haji, jihad dan sebagainya). Kita juga punya akal untuk memahami sesuatu yang disampaikan, apakah itu benar atau salah. Manusia adalah mahkluk berakal. Agama ditujukan hanya kepada mereka yang berakal. “Ad-dinu ‘aqlun, la dina liman la ‘aqla lahu”. Agama itu akal, tidak ada agama bagi yang tidak berakal.

Agama itu ilmu dan intelektualitas. Semua ayat terkait “afala ta’qilun”, “afala tubshirun”; mengarah pada penguatan kapasitas kecerdasan rasional dalam beragama. Agama adalah teori tentang kebenaran. Agama adalah kerangka pikir tentang kebaikan. Puncak dari kecerdasan ini adalah punya kesadaran bahwa Tuhan itu ada secara objektif. Dia benar ada secara rasional. Dia sumber keindahan dan kesempurnaan. Segala sesuatu yang terbit darinya, adalah benar secara mutlak. Perintahnya adalah benar.

“Be Stupid!”

Level kedua, “Be Stupid”. Ini wilayah hati. Wilayah kepatuhan, ketaatan atau kepasrahan. Islam artinya “tunduk”, “patuh” atau “pasrah” (submission). Ini wilayah ‘kebodohan’.

Coba perhatikan tentara. Saat komandannya memerintahkan sesuatu, langsung dijawab oleh pasukannya: “Siap Dan!”. Itu contoh orang bodoh. Semua dijawab siap. Semua dikerjakan. Semua ditindaklanjuti. Sebab, sudah ada doktrin, bahwa kebenaran turun secara mutlak dari sang komandan. Karena kebodohan inilah, sistem militer berjalan efektif. Negara menjadi terkontrol. Musuh bisa dihadapi. Semua terlaksana, praktis tanpa perdebatan.

Bayangkan, jika para jenderal kita sekelas Tuhan. Pasti dalam semalam, negara langsung makmur dan aman. Kacaunya, jenderal-jenderal kita banyak dari kelompok mafia sekelas Sambo. Para pedagang dan pencari keuntungan pribadi. Menjadi backing pengedar narkoba, dan sebagainya. Itu saja problemnya. Makanya negara ini kacau dan anarkhi terus. Hukum tidak pernah tegak. Lalu sekelompok aparat yang harus selalu bersikap bodoh (taat/patuh) untuk mengeksekusi semua perintah mereka.

Seorang nabi, itu juga seorang jenderal. Pada level pertama, ia mendidik umatnya untuk punya kesadaran ketuhanan. Nabi juga bertugas untuk mencerdaskan gelombang “beta” otak pengikutnya, bahwa Tuhan itu ada. Esa. Segala argumentasi dibangun untuk menjelaskan kebenaran ini. Para nabi berusaha menguraikan secara rasional, betapa kita perlu beragama dan bahagia pasti diperoleh ketika seseorang percaya dan patuh kepada-Nya.

Tahap selanjutnya, Nabi mendidik ‘kebodohan’ pada diri para pengikutnya. Mereka diperintahkan untuk patuh (taqlid). “Sami’na wa atha’na”. Begitu bodohnya, sampai mereka rela mati untuk Tuhan dan Nabinya.

Agama itu cinta. Pada level pertama, Anda punya banyak teori tentang cinta. Anda bisa memilih dan memilah secara sadar, siapa yang pantas dicintai. Tapi, pada level lebih tinggi, cinta itu ‘kebodohan’. Ketika sudah jatuh cinta, semua hanya cerita tentang pengorbanan. Apapun Anda lakukan. Pada level itu, kepuasan sudah pada elemen “rasa”. Derita, bahkan kematian sekalipun, itu bentuk “rasa” paling memuaskan, ketika itu dilakukan atas nama cinta.

Level Agama: Dari Cerdas ke Bodoh

Agama, pada level awal, itu tauhid/syariat (teori kebenaran). Pusat kesadaran kita adalah “aku”. Menurut pendapat-“ku”. Menurut pemikiran-“ku” dan sebagainya. Pada level atas, agama adalah tasawuf/ihsan (hilang akal, hilang kata-kata). Pusat kesadarannya adalah “dia”. Gerak gerik sudah Anda sesuaikan sebagaimana maunya Dia. Bukan lagi “aku”-nya Anda yang bekerja. Melainkan atas dasar “muraqabah” kehadiran-Nya.

Ketika Tuhan belum jelas, Tuhan masih dalam wujud dalil dan argumentasi, Anda akan bekerja sesuai akal dan tafsir. Begitu Dzat Tuhan menjadi dhahir (nyata), Anda akan bekerja sesuai aba-aba. “Siap Pak!”, begitu jawaban Anda setiap kali Dia berfirman kepada Anda. Apapun perintahnya, sebodoh apapun tugasnya, tetap jawabannya: “Siap Dan”, “Baik, Guru”. “Iya, Habib”. “Na’am Abuya!”.

Itu agama, pada level atas. Athiullah, athiurrasul, wa ulil amri minkum. Anda “pasrah” (taslim) pada semua kehendak-Nya, kehendak rasulnya dan walinya. Anda percaya, Dia Maha Benar. Maka, sebodoh apapun perintahnya, tetap Anda laksanakan. Shalat sehari semalam pada sejumlah waktu yang telah ditentukan, itu salah satu bentuk kebodohan. Kalau dipikir-pikir secara mendalam, ngapain rukuk sujud tidak jelas seperti itu. Apa manfaatnya. Tidak jelas itu. Tidak kaya kita gara-gara rajin melakukan itu. Hampir semua ibadah seperti itu. Wujud kebodohan semua.

Tapi, karena itu doktrin dan perintah-Nya, anda rela mengerjakannya. Itu bentuk aplikasi dari kebodohan kita. Uniknya, dalam kebodohan inilah kita memperoleh “pencerahan” (enlightened). Dalam segala bentuk kepatuhan inilah kita mengalami “kenaikan” (descending). Ternyata, Tuhan itu Maha suka-suka. Dia memang ingin kita menjadi “hamba”, yang bodoh.

Rupanya, dalam segala bentuk ibadah yang terkesan bodoh inilah seseorang diberi kekuatan oleh-Nya. Menariknya, semakin bodoh seseorang pada level tasawuf, semakin tercerahkan ia (kasyaf). Ternyata, Tuhan hanya hadir pada diri orang-orang yang telah kehilangan kecerdasannya. Dia hanya mengisi gelas yang kosong. Dia hanya hadir pada jiwa yang tidak tersisa apapun, selain kepatuhan dan kecintaan kepada-Nya (mahabbah).

Tuhan tidak menjelma pada makhluk. Tuhan hanya hadir pada setiap wujud yang sudah “tidak berdaya”, sudah hilang kesadaran material kemakhlukannya. Tuhan hanya ber-tajalli pada jiwa yang telah hilang dan mati kesadaran “diri” rendahnya. Yang tidak ada rasa apapun lagi, selain kefanaan pada Wajah-Nya.

Tuhan hanya mengiluminasikan qudrah iradah-Nya pada orang-orang ‘bodoh’ (ummi). Yaitu, orang-orang yang telah kehilangan ikatan pada teks hafalan dan logika. Tuhan adalah Realitas di luar akal dan pikiran. Karenanya, Tuhan hanya menghadirkan Wajah-Nya pada orang-orang yang sudah ‘kehilangan’ nalar akal. Allah hanya hadir pada qalbu yang bersih, qalbu yang tidak terisi ilmu dan persepsi apapun, selain harapan akan kehadiran-Nya.

Penutup

Beragama adalah proses menemukan ruang tempat kita menunjukkan kepintaran, sekaligus kebodohan. Ada wilayah tempat kita memperlihatkan cerdas dan mendewasakan akal. Ada dimensi tempat kita berubah jadi bodoh, hina dan rendah. Karenanya kita temukan, banyak sufi yang awalnya juga seorang filsuf. Mereka benar-benar menemukan ruang dan titik keseimbangan.

Smart listens to the head, stupid listens to the heart. Orang cerdas mendengar apa kata otaknya. Orang ‘bodoh’ mendengar apa yang dibisik oleh hatinya. Syariat melatih kita untuk rajin beribadah, selalu merasa benar dan pintar; dengan fanatisme pada mazhab, dalil dan hafalan. Sementara, tarikat dan tasawuf justru sebaliknya, melatih kita beristighfar, karena selalu merasa bodoh dan salah. Bersyariat tanpa tasawuf (irfan), membuat kita jadi iblis. Hanya dengan tasawuf manusia menjelma jadi malaikat, yang cerdas tapi patuh. Perpaduan dua sifat ekstrim inilah yang melahirkan seorang manusia sempurna.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

3 thoughts on ““BE STUPID!”

Comments are closed.

Next Post

RELIGION IS TECHNOLOGY

Thu May 25 , 2023
Jurnal […]

Kajian Lainnya