SPIRITUAL ENLIGHTENMENT

Jurnal Suficademic | Artikel No.65 | Mei 2023

SPIRITUAL ENLIGHTENMENT
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Pencapaian spiritual, dalam bahasa inggris disebut “enlightenment” (pencerahan). Bahasa lainnya adalah “awakening” (terjaga). Bentuk enlightenment/awakening juga beragam. Salah satunya, dalam bahasa tasawuf atau irfan juga disebut “yaqazah”.

Yaqazah adalah sebuah kondisi, dimana seseorang terjaga, tapi mampu melihat berbagai wujud/realitas metafisika. Ada orang yang berjumpa Nabi dalam mimpi. Itu biasa. Tapi, ada orang yang dapat melihat (Ruh) nabi/para wali dalam keadaan terjaga. Itulah “Yaqazah” (enlightened). Matanya telah “tercerahkan”, sehingga mampu melihat/menangkap esensi-esensi yang halus dan suci.

Tentu ada “alat ukur” yang jelas (spiritual measurement scale), bahwa yang dijumpai itu benar “Ruhani nabi”. Bukan wujud abal-abal yang mengaku nabi/wali. Sebab, jangankan di alam sana, di dunia saja kita sering tertipu dengan orang-orang gadungan yang mengaku diri sebagai aparat, ajudan pejabat, ulama, ustadz dan lain sebagainya.

Jangan karena jubahnya besar, jenggotnya panjang dan bahasa arabnya fasih, lalu dipercayai itu Syekh Abdul Al-Jilani. Saat akan matipun, kita akan dijumpai oleh aneka wujud. Tanpa ketercerahan spiritual, wujud iblis yang bercahaya pun mungkin akan kita percaya sebagai sosok kekasih Tuhan. Lalu bagaimana cara membedakan antara gelombang iblis dengan malaikat, itu wilayah kecerdasan sufistik.

Bagi banyak orang, Allah itu wujud batiniah, “maha gaib”. Karenanya, bagi mereka, Allah itu hanya sebatas wujud yang dipercayai ada. Tapi, bagi sebagian lainnya, Allah itu “maha nyata” (dhahir). Bisa disaksikan. Mata bashirahnya telah hidup, sehingga ia bisa mensyahadahi keberadaan Allah SWT. Itu namanya “yaqazah” (spiritual enlightenment). Allah bisa dijumpai dan dikenali secara Haqq (makrifat).

Bagi sekelompok orang, Allah tidak dapat dijangkau. Tidak bisa diajak bicara. Tidak bisa didengar ucapan-Nya. Karena, seperti kata Imam Ali as, mereka masih dalam keadaan “tertidur”. Kondisi impotensi spiritual seperti ini, Qur’an menyebutnya dengan: “bisu, tuli dan buta”.(QS. Baqarah: 18). Sementara, orang yang telah “terjaga” (enlightened/yaqazah), keseluruhan sistem sensori ruhaniahnya telah terhubung kembali dengan Allah.

Orang-orang “terjaga” adalah orang-orang yang jiwa/ruhnya telah “rujuk” dengan Allah. Bagi mereka, Allah bukan lagi wujud gaib. Malah bisa diajak berkata-kata. Allah telah menjadi sahabat dan teman bicara. Karena itu ada istilah “Kalamullah”, “Khalilullah” atau “Ruhullah” dalam Quran. Semua ini istilah untuk merujuk kepada orang-orang yang telah “terjaga” (tercerahkan). Mereka mampu berkomunikasi secara efektif dengan Allah.

Nabi kita bisa melihat para malaikat. Bisa berjumpa dengan (ruh) para nabi sebelumnya. Juga dapat bertemu dengan Allah. Itu terjadi dalam keadaan terjaga, bukan dalam kondisi tertidur atau halusinasi.

Level keterjagaan spiritual bertingkat-tingkat. Yang terendah adalah halusinasi. Salah satunya adalah suka menghayal. Termasuk menghayal yang jorok-jorok (porn). Halusinasi adalah salah satu bentuk “kebutaan spiritual” (spiritual blindness). Selain itu ada prasangka, iri, dengki, was-was; sampai kepada aneka bentuk ego dan arogansi sejenis. Semua itu wujud yang muncul dari kegelapan spiritual.

Selain itu, ada juga orang yang punya ‘keterjagaan’ spiritual. Mata batinnya terbuka. Namun hanya mampu menjangkau entitas-entitas ruhani yang kotor. Mental dan penglihatannya mentok di alam jabarut yang penuh makhluk halus yang buruk rupa. Itu bukan spiritual enlightenment. Ini “rabun spiritual”. Kesadaran jiwanya terjebak di alam bayang-bayang.

Sementara, orang-orang tercerahkan (enlightened), visinya tembus ke langit. Kesadarannya masuk ke alam malakut dan rabbani. Tidak terjebak di alam jin, iblis dan setan. Dalam keadaan sadar mereka dapat terkoneksi dengan wujud-wujud yang bernilai tinggi. Mereka mampu menjangkau informasi dan kebenaran dari sumber-sumber yang halus dan suci.

“Alertness” (Muraqabah/Gemerincing Lonceng)

Sedikit yang punya “kesadaran mukasyafah” (gamma consciousness), yang visinya tembus ke langit. Karena, umumnya manusia, kesadarannya belum tinggi. Masih tertidur, belum teraktivasi. Seperti tersebut dalam sebuah hadis dari Imam Ali: “Manusia tertidur, kalau mati maka baru terjaga”:

الناس نيام فإذا ماتوا انتبهوا

Kita memang “terjaga” (awake) sepanjang hari. Bukankah mata kita selalu terbuka dari pagi sampai sore? Tapi, yang terjaga hanya mata biologis kita. Gelombang otak kita (brainwaves) aktif. Sedangkan gelombang ruhaniah (supraconscious wave) pasif. Kecerdasan kita masih “terhijab” oleh gelombang-gelombang rendah.

Karenanya, kita hanya mampu menalar fenomena-fenomena kasar. Kita hanya mampu menyadari kehadiran gelombang dan entitas material. Kecerdasan kita masih bersifat “wushuli”. Anda harus bekerja dan berfikir keras untuk mengetahui sesuatu. Kesadaran kita belum cukup tercerahkan untuk mencapai level “hudhuri”. Dimana berbagai gelombang, cahaya dan entitas spiritual hadir sendiri untuk mengungkapkan dirinya.

Orang-orang yang telah “terjaga/sadar” (spiritually awake/enlightened) biasanya akan mengalami kondisi jiwa yang “alert”. Bahasa lain dari alert/alertness adalah sharp-sightedness, vigilance, wakefulness atau watchfulness. Semua ini bermakna awas, sadar, terjaga, waspada, hati-hati, siaga.

“Alertness” ini juga bermakna “alarm”. Ada alarm yang mulai aktif dalam diri kita. Setiap ada sesuatu, alarm akan secara otomatis berbunyi. Apakah itu kondisi berbahaya, atau kondisi menguntungkan; alarm akan hidup.

Orang-orang “tercerahkan” sudah mampu mengaktivasi berbagai titik alarm dalam diri. Alarm ini merupakan “titik qalbu”, “bisikan Tuhan”, “God-Spots” atau “suara hati”; yang selalu berbunyi untuk menyampaikan informasi tentang sesuatu. Ketika menyentuh makanan misalnya, itu alarmnya langsung hidup; untuk memberitahukan apakah makanan itu halal atau haram. Ketika berjalan ke suatu tempat, alarm akan hidup, untuk menyampaikan kepadanya, apakah ia sedang berjalan ke tempat baik atau buruk. Ketika akan berceramah, alarm akan hidup, untuk mengingatkannya bahwa apa yang dikatakan itu baik ataupun berpotensi buruk.

“Alarm” inilah yang disebut sebagai bunyi gemerincing “lonceng”. Inilah salah satu metode turunnya “wahyu” kepada Nabi. Karena ini sebuah “alarm” (denyut batin, getaran qalbu atau vibrasi spiritual), tentu Nabi sangat hati-hati dalam menerjemahkan maknanya. Apakah maknanya “baik”, ataupun “buruk”. Hidupnya alarm ini dalam diri Nabi ataupun orang-orang tercerahkan lainnya adalah sebuah pertanda “ketercerahan jiwa”. Ini pertanda bahwa Allah telah bersedia hadir, untuk memberitahu Anda tentang baik buruk, atau benar salah sesuatu, lewat bahasa-bahasa tertentu. Ada puluhan jenis bahasa yang digunakan Tuhan dalam menyampaikan wahyu, ilham atau hidayah kepada manusia. ‘Gemerincing lonceng’ (alarm) adalah salah satunya.

Uniknya, kondisi “alertness” dan bentuk-bentuk alarm ini, kami temukan masih ada dalam dunia tasawuf sampai sekarang. Langka memang. Tapi masih bisa dijumpai eksistensinya dalam jamaah sufi tertentu, yang kelihatannya masih mewarisi metode komunikasi transenden dengan dunia Ilahi.

Mereka menyebutnya “muraqabah” (spiritual alertness). Tentu ada tahap yang harus ditempuh untuk mencapai kondisi “alertness”. Harus ada jalan penyucian jiwa melalui berbagai macam zikir (suluk/meditative practice) selama sekian lama. Ada makanan yang harus dijaga. Ada adab batiniah yang harus dipelihara. Disini dibutuhkan bimbingan seorang Guru spiritual yang telah duluan mencapai makam “enlightened” (kamil/awake). Dalam dunia spiritual biasa disebut imam ruhani atau walimursyid.

Penutup

Ada dua bentuk pencerahan yang mungkin dicapai manusia. Pertama, pencerahan intelektual (wushuli). Pada tahap ini, seseorang hanya mampu memperoleh pengetahuan tentang dunia luaran melalui kekuatan “free-will”. Apakah melalui proses reasoning atau bentuk-bentuk dialektika dan critical thinking (fungsi otak dan inderawi). Sehingga menjadi jelas hukum-hukum yang ada dibalik sesuatu.

Kedua, pencerahan spiritual (hudhuri). Pada tahap ini, kecerdasan manusia sudah terhubung dengan kecerdasan Tuhan. Akal manusia telah tersambung dengan akal Tuhan. Secara kreatif ia mampu mengakses pengetahuan yang sebenarnya tidak ia usahakan untuk ketahui. Ilmu dan pengetahuan seperti hadir untuk menampakkan dirinya sendiri. Pada station ini, sebenarnya Tuhanlah yang sedang berfikir dalam dirinya, bukan dirinya lagi. Ia cerdas atas dasar “God’s-will”. Kepada dirinya telah diperlihatkan hal-hal yang melampaui kerja nalar. Pengetahuan hadir melalui mekanisme supra-rasional. Mereka telah menjadi wadah tempat aktualnya logos atau ide-ide laduniah dari sisi Tuhan.

Perjalanan Musa as mencari kebenaran, lalu pulang dengan membawa “api”; adalah gambaran dari “ketercerahan spiritual” yang telah ia alami. “Maka ketika ia datang ke tempat api itu, ia dipanggil, “Hai Musa, Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu. Sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa” (QS. Thaha: 11-12). (7) (Ingatlah) ketika Musa berkata kepada istrinya, “Sesungguhnya aku melihat api . Aku akan membawa kabar tentangnya kepadamu atau membawa suluh api agar kamu dapat menghangatkan badan (dekat api); (8) Maka, ketika tiba di sana (tempat api itu), dia diseru, “Orang yang berada di dekat api  dan orang yang berada di sekitarnya telah diberkahi. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam” (QS. An-Naml: 7-8)

Budha Gautama juga demikian. Budha sendiri bermakna “tercerahkan”. Ia mengalami transformasi yang luar biasa setelah menjalani proses pertapaan di bawah pohon boddhi. Muhammad SAW juga begitu, mengalami epifani saat berkhalwat di kegelapan Hirak. Semua mereka mencapai pencerahan spiritual dengan cara yang sama, “meditasi” (zikir/suluk). Bukan dengan membaca kitab/buku.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

3 thoughts on “SPIRITUAL ENLIGHTENMENT

Comments are closed.

Next Post

TASAWUF, MENYEDERHANAKAN CARA BERAGAMA

Wed May 31 , 2023
Jurnal […]

Kajian Lainnya