TASAWUF, MENYEDERHANAKAN CARA BERAGAMA

Jurnal Suficademic | Artikel No.66 | Mei 2023

TASAWUF, MENYEDERHANAKAN CARA BERAGAMA
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM.

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Kalau harus dengan menghafal sifat 20, baru kemudian seseorang dapat dikatakan bertauhid, itu berarti Anda sedang menganut sebuah agama yang berat. Konon lagi, setelah Anda hafal semua itu, Tuhan juga tidak pernah bisa dijumpai. Akhirnya, kerja kita hanya menghafal saja.

Begitu juga dengan Asmaul Husna. Kalau harus dengan ahli dalam menghafal 99 Nama, lalu seseorang dikatakan dapat tiket ke surga; itu juga jenis agama yang sudah terlalu berat. Konon lagi, setelah Anda hafal semua itu, Allah tak pernah bisa ditemui. Kerja kita, lagi-lagi, hanya menghafal saja.

Agama itu Sederhana

Islam itu sebenarnya sederhana. Cukup hanya tau satu Nama, lalu Anda terus memanggilnya dengan itu, lalu Dia datang. Itu baru agama. Simple dan efektif. Tidak bertele-tele. Tidak menghabiskan banyak waktu dan tanpa hasil.

Artinya, tidak harus menempuh pesantren 9 tahun untuk disebut telah mengenal Allah. Atau, tidak harus sampai kuliah S3 ke Mesir dan Madinah baru disebut ahli agama. Itu bukan lagi agama. Itu sebenarnya sudah masuk dalam ranah komersialisasi edukasi agama. Anda sudah disuruh antri dan rajin bayar SPP untuk menjadi orang beragama atau dapat titel “ulama”.

Agama yang asli, itu cukup hanya dengan malam ini masuk Islam, lalu 40 hari ke depan, dengan metodologi dan amalan tertentu yang sangat sederhana, Anda sudah berjumpa Tuhan. Tanpa harus menghafal banyak ayat atau membaca kitab. Tanpa bisa mengaji dan kenal satu huruf hijaiyah pun, Anda bisa berjumpa Tuhan sejak di dunia. Itu Islam yang sebenarnya. Mudah dan praktis. Itulah hakikat agama, simpel!

Allah itu sederhana. Begitu sederhananya Allah, sehingga ia bisa dijangkau oleh orang kampung yang tak pernah sekolah sekalipun. Nabi dan kaumnya, itu komunitas ummi, “bodoh”. Tidak membaca. Atau mungkin juga banyak yang tidak bisa membaca. Tidak ada kitab bacaan yang mereka punya untuk dikaji tiap malamnya, supaya cerdas dan mengenal Allah.

Bayangkan, kaum “ummi” saja bisa makrifat. Bisa mengenal dan berjumpa dengan Allah. Lalu kenapa kita yang sudah jadi ulama, sudah jadi profesor doktor, sudah menulis diberbagai jurnal internasional, sudah mengaji puluhan atau mungkin ratusan kitab; tidak pernah bertemu dan berbicara dengan Allah. Apa masalahnya?

Masalahnya adalah, “kecerdasan” merupakan penghalang (hijab) untuk menuju Tuhan. Orang yang paling sulit makrifat adalah orang berilmu. Dalam otak kita sudah terlalu banyak bacaan dan persepsi. Sehingga sulit bagi kita untuk menerima Allah yang asli, yang sederhana. Allah tidak akan hadir, kecuali kepada kaum yang “ummi”. Dia hanya akan mengisi gelas yang “kosong”, hati dan pikiran yang bersih. Subhana rabbika rabbil ‘izzati ‘amma yashifun. “Maha suci Tuhan-mu, Tuhan yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka sifatkan” (QS. As-Shaffat: 180).

Karenanya, teknik bermakrifat kepada Allah sangat sederhana. Kosongkan dirimu. “Ummi”-kan intelektualitasmu. Buang referensimu. Jangan banyak kali lihat kiri kanan. Jangan banyak kali analisis. Jangan banyak kali bertanya. Tongkatkan lidah ke langit-langit. Pejamkan mata. Matikan pikiran. Rileks! Tuhan akan hadir untuk berbicara, dalam berbagai bahasa dan kehadiran. Mulai dalam wujud muraqabah, yaqazah dan berbagai model “tanazzul” rasa dan Dzat. Bahkan sampai engkau benar-benar bisa merasakan dan melihat Wajah-Nya.

Islam sebagai agama akhirat, itu sederhana. Tidak butuh sekolah. Tidak perlu menghafal. Tidak perlu kecerdasan. Tidak perlu belajar berlebihan. Cukup patuh saja pada orang yang akan membawa kita kepada Allah. Itulah yang dibimbing Khidir as kepada Musa as. Cukup jadi orang bodoh saja. Yakin dengan Guru. Patuh. Amalkan apa yang disuruh. Jangan banyak kali protes. Diujung itu, Anda akan sampai dan bertemu Tuhan.

Berislam pada awal masa kenabian juga begitu. Cukup hanya dengan yakin kepada Muhammad SAW, lalu istiqamah melaksanakan amalan zikir yang ditalqinkan kepada mereka; 40 hari kemudian mereka mulai mengalami kuantum spiritual. Mereka mulai berjumpa malaikat dan pengalaman mistis unik lainnya. Allah menjadi begitu nyata bagi mereka (QS. As-Shaffat: 30).

Tidak ada amalan dan edukasi agama yang berat-berat pada masa awal Islam. Cuma zikir-zikir doang. Perintah sholat pun katanya belum turun. Pun tidak ada yang hafal Quran 30 juz. Karena Quran saja baru turun sepotong-potong. Itupun hanya satu dua orang saja yang nulis. Tapi, itulah Islam terbaik. Islam paling sederhana. Dalam kesederhanaan itu mereka bisa akrab dengan Allah dan para malaikat-Nya. Karena itulah mereka bisa terus memenangkan perang.

Lahirnya Islam yang Rumit

Islam itu baru rumit dan dibuat menjadi rumit setelah periode nabi dan kekhalifahan. Mulai lahir kajian ilmu dan pengelompokan pengetahuan. Lahir madrasah dan berbagai sekolah. Lalu saling berdebat. Para pengikutnya saling klaim sebagai mazhab terbaik.

Pada periode ini, patokan kebenaran sudah pada teks dan riwayat yang dipegang masing-masing. Bukan lagi pada diskusi langsung (laduniah) dengan Tuhan. Definisi kecerdasan sudah mulai berubah. Dari yang awalnya pada masa Nabi cerdas itu dipahami sebagai “ahlullah” (orang yang mengenal dan akrab dengan Allah), sudah berubah menjadi “ahli kitab” (orang yang banyak menghafal dalil kitab).

Pada masa Nabi, cerdas itu aspeknya ada pada “Ruhani”. Yaitu ruhaninya terkoneksi dengan Allah. Qalbunya hidup. Pada masa kemudian, cerdas itu “otak”. Yaitu otak yang mampu menyimpan banyak memori. Padahal, karamah dan mukjizat menjadi bukti kebenaran Quran. Dan itu terletak pada kecerdasan Ruhani. Bukan pada ketinggian ilmu kognisi.

Kita tidak menolak agama yang telah di derivasi dalam jutaan kitab dan buku. Itu bagian dari khazanah perkembangan agama dan peradaban Islam. Peradaban disusun atas dasar kajian demi kajian. Buku demi buku. Kitab demi kitab. Pemikiran demi pemikiran. Regulasi demi regulasi lahir dalam Islam untuk menjelaskan berbagai hal, untuk membuat aturan tambahan terkait interaksi manusia dengan manusia, dengan alam dan Tuhan. Islam pada kadar tertentu telah jauh menjadi sebuah sistem ideologi (pemikiran).

Namun, jangan lupa, agama bukan itu semua. Itu hanya “asesoris” untuk mempercantik bangunan agama. Agama yang asli, itu adalah “Allah”, cara berhubungan dengan Allah; yang bisa dijangkau oleh orang bodoh sekalipun; tanpa harus sekalipun membuka kitab suci dan timbunan buku karya ulama.

Agama yang sesungguhnya adalah metodologi (tariqah) untuk menjangkau Allah, yang dapat ditempuh dengan cara paling ‘primitif’ (sederhana). Bahwa sejak jaman kuno, Allah sudah bisa dijumpai oleh banyak orang, dengan cara paling simple, tanpa perlu sekolah dan membaca. Cukup hanya tau cara “membaca” (iqrak) Namanya, yaitu dengan cara menzikirkan “ismu rabbik” secara benar (QS. Al-‘Alaq: 1) Dia akan menampakkan diri-Nya kepada Anda.

Penutup

Itulah tasawuf yang asli. Ketika ilmu tauhid dan fikih membawa Anda kepada kajian yang panjang lebar tentang pemahaman teologis dan teknis beragama, tasawuf mencoba menyederhanakan kembali itu semua dalam format paling sederhana. Bahwa Allah bisa dijangkau dengan cara paling simple. Dengan cara duduk diam, dengan mata terpejam, dengan bacaan sederhana, dengan menyebut satu Nama, dengan jiwa yang tenang. Sebodoh-sebodoh orang, pasti mampu mengamalkan itu semua.

Sekilas, setelah menyimak ulasan ini, bertasawuf itu terkesan mudah. Sebab diajak kepada hal-hal sederhana. Kenyataannya tidak. Sangat sulit untuk kembali menjadi ‘bodoh’ (ummi) setelah sekian lama kita merasa pintar. Karena itulah selalu dikatakan, musuh terbesar manusia adalah “ego” (dirinya sendiri). Mujahadah atau perang terbesar adalah melawan “rasa pintar” yang ada dalam diri kita. Ilmu, dengan berbagai persepsi yang telah dibangunnya, adalah hijab. Sebuah kejahilan, atau tirai penghalang, yang menyebabkan Allah enggan untuk menampakkan diri-Nya kepada kita.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

2 thoughts on “TASAWUF, MENYEDERHANAKAN CARA BERAGAMA

Comments are closed.

Next Post

JIKA INGIN MENIRU NABI, TIRULAH DARI AWAL

Thu Jun 1 , 2023
Jurnal […]

Kajian Lainnya