JIKA INGIN MENIRU NABI, TIRULAH DARI AWAL

Jurnal Suficademic | Artikel No.67 | Juni 2023

JIKA INGIN MENIRU NABI, TIRULAH DARI AWAL
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Jika ingin meniru Nabi, tirulah seutuhnya. Dari awal, sampai akhir. Jangan diambil setengahnya. Bahaya!

Maksudnya begini. Nabi itu suri tauladan sempurna. Sejak lahir sampai wafat, semua yang ada padanya adalah “ayat” (pesan-pesan Tuhan). Sejak lahir sampai wafat, dari awal sampai akhir, segala sesuatu tentangnya adalah “divine guidance”. Tidak mungkin 40 tahun pertama kehidupannya adalah dimensi jahiliah. Lalu kita anggap sisa 23 tahunnya sebagai suri tauladan.

Ia membawa jejak yang comprehensive tentang kebenaran, sejak lahir sampai wafat. Allah selalu bersamanya, sejak awal sampai akhir. Huwal awwalu wal akhiru. Dia juga pancaran Dhahir (tajalli) dari yang Batin. Wadh-dhahiru wal batinu. Ia adalah Cahaya Allah dalam rupa material. Wujud dari Kitab dan Kalimah.

BACA: “Alif Lam Mim”, Itulah Kitab!

Ia sudah disebut sebagai “nabi” sejak belum lahir. Namanya sudah terukir dalam lisan dan hati para nabi, ribuan tahun sebelum jasadnya hadir ke dunia. Wujudnya telah digambarkan dalam skrip suci mereka. Jadi, Anda tidak boleh meniru segala sesuatu tentang Nabi saat ia telah berusia 40 tahun. Tirulah apapun yang ia lakukan sejak masih belia. Semuanya adalah petunjuk dan “cahaya”.

Artinya, jangan pikir Islam itu baru turun saat ia berusia 40 tahun. Tuhan dan malaikat sudah hadir menjaganya sejak ia dalam kandungan. Ia dilahirkan oleh ibu dan dari keluarga yang suci. Setiap langkah masa kecilnya, semua ibadah yang ia jalani di usia muda, adalah ilham dan tuntunan Tuhan semua.

Nabi bukanlah seseorang yang lahir dari “kehampaan”. Apalagi dari “kegelapan”. Nabi lahir dari proses “penempaan”. Genetiknya memang potensial untuk menjadi orang besar (He was born a leader). Tapi, setiap mujahadah yang ia lakukan sejak muda, adalah usaha untuk mengaktualkan semua potensi kenabian yang ada dalam dirinya (He was trained to be a leader).

Tidak ada nabi yang lahir dari kekafiran. Atau setelah menjalani kekufuran. Jangan mengira setelah 40 tahun hidup berkubang dalam kondisi jahiliah, lalu tiba-tiba seseorang disulap Tuhan jadi nabi. Nabi lahir dari “kesucian”. Setelah 40 tahun menempuh jalan kesucian, barulah ia utuh menjadi Rasul Tuhan.

Itulah sekolah kenabian. Sekolah mujahadah (tazkiyatun nafs). Berkali-kali ia menempuh edukasi spiritual di tempat-tempat sunyi. Di gunung. Mungkin juga ada tempat-tempat lainnya. Rumah Aminah binti Asad, ibunda Ali bin Abi Thalib, juga diriwayatkan menjadi tempat baginya dalam melakukan “iktikaf”. Pada usia muda, Gua Hirak adalah tempat favoritnya dalam bermeditasi (khalwat/suluk). Pada periode kemudian, saat sudah mengemban amanah penuh kenabian, ia juga sering menyepi di kamar rumahnya. Khususnya selama Ramadhan. Artinya, “kelambu suluk” untuk mengunci diri, bisa dimana saja. Yang penting tenang.

Karena itu, jika ingin meniru Nabi, tirulah keseluruhan jalan hidupnya. Tirulah amalan yang ia praktikkan selama 40 tahun pertama. Juga tiru apapun yang ia kerjakan selama 23 tahun setelahnya.

“Jangan hanya meniru Nabi setelah ia menjadi Nabi, tirulah Nabi sebelum Beliau menjadi Nabi”, sebut Abuya Sayyidi Syeikh Ahmad Sufimuda, seorang Sufi Besar Indonesia, yang telah memperlihatkan berbagai kebesaran Allah kepada para muridnya melalui suluk spiritual.

Apa yang Beliau sampaikan, dalam makna lainnya seperti ini. Kalau ingin meniru dokter, tirulah apa yang dikerjakan oleh seorang dokter sebelum ia menjadi dokter. Yang membuat seseorang menjadi dokter adalah apa yang ia lakukan selama bertahun-tahun sebelum menjadi dokter. Ada pendidikan khusus, koas, ujian, pengorbanan dan disiplin lain yang mereka tempuh dalam waktu cukup lama; sebelum akhirnya dilantik menjadi dokter. Jangan berlagak jadi dokter, hanya bermodal baju putih, lalu nyuntik orang. Bisa tewas pasiennya.

Itulah Nabi. Jangan tiru shalat, puasa dan berbagai ibadah Nabi setelah ia menjadi Nabi. Semua kualitas ibadah nabi; kedalaman rasa khusyuk dan kemampuan ia berkomunikasi dengan Allah, itu buah dari “pendidikan ruhani” yang ia tempuh selama bertahun-tahun sebelum menjadi Nabi. Karenanya, ceramah Beliau bukan ayat yang lahir dari nafsu provokasi. Melainkan dari apa yang ia dengar dan dapatkan langsung dari Tuhannya.

Tidak susah meniru cara sholat Nabi, yang sehari semalam cuma lima kali itu. Gampang. Burung Beo sekalipun, kalau dilatih baca ayat juga bisa. Monyet pun bisa dilatih untuk meniru gerak shalat. Hanya saja, tidak ada kesadaran baru yang ia peroleh dari mengulang-ulang ibadah seperti itu. Yang susah dalam beragama adalah, bagaimana ketika shalat kita terkoneksi dan mampu bercakap-cakap dengan Allah. Pengalaman mikraj dalam skala reguler betulan terjadi.

Analogi lainnya. Tidak susah untuk menjatuhkan sepotong rakitan besi seberat 4 ton, dari atas pesawat ke bumi. Yang berat adalah, bagaimana sepotong besi itu bisa menghancurkan seluruh kota Hiroshima dan Nagasaki. Butuh proses belajar yang lama untuk mencapai teknologi berkekuatan super seperti itu. Kenabian juga sama. Untuk mencapai level agama yang membawa mukjizat, itu ada jalur khusus, dan lama proses riset spiritualnya. Kecerdasan ini tidak diperoleh dengan sekedar meniru fisik dan tampilan sesuatu. Kekuatan batinnya yang harus dikuasai.

Jadi, beragama jangan seperti anak kecil di karnaval 17 Agustus. Tiba-tiba semua merasa jadi tentara, gara-gara memakai seragam tentara. Semua merasa jadi polisi, gara memakai atribut polisi. Semua serentak jadi dokter, gara-gara mengenakan kostum dokter. Padahal, untuk menjadi polisi atau tentara, seseorang harus menempuh pendidikan, berguling-guling, sampai terbakar terik matahari dan berbagai kerumitan lainnya. Dokter juga begitu. Lama proses yang dibutuhkan untuk menjadi seorang ahli, yang “kasyaf” (enlightened) di bidangnya. Yang tau persis apa jenis penyakit; dan sekali sentuh, sembuh semua pasiennya.

BACA: “Islam Karnaval”

Kita, jangan tiba-tiba merasa seperti Nabi, gara-gara memakai jubah. Gara-gara menutup kepala dengan surban. Gara-gara fasih berbicara “ana-ente”. Gara-gara memanjangkan jenggot. Gara-gara celana sudah di atas tumit. Gara-gara makan setalam bersama. Gara-gara memakai siwak. Gara-gara memakai celak, dan entah apa lagi.

Jangan merasa sudah menjadi “pewaris” Christiano Ronaldo karena memakai baju nomor 7. Berambut cepak, dan bisa meneriakkan “Siuuu” sambil berputar melompat di udara. Perlu latihan lama untuk menjadi seperti CR7 dan Messi. Tidak cukup meniru tampilan lahiriah dalam mengolah bolanya saja. Kekeramatan mereka dalam dunia bola diperoleh dari mujahadah panjang, sejak kecil.

Yang membuat Muhammad menjadi nabi, sehingga layak diikuti, adalah amalan yang ia lakukan selama 40 tahun sebelum ia diangkat derajatnya ke posisi itu. Semua yang ia kerjakan dikemudian hari menjadi penuh “power” (mukjizat) sebagai akibat pengayaan spiritual yang tekun ia lakukan sejak awal. Karena itu; agar syahadat, shalat, puasa, zakat, haji dan jihad benar-benar mengikuti standar dan kualitas Nabi; kita mesti mengerjakan amalan-amalan yang disimulasikan Nabi sebelum ia sampai ke level itu.

Karena itu, banyak sekali ayat tentang zikir dalam Quran. Dalam berbagai derivasinya, disebut sebanyak 267 kali. Lebih banyak dari ayat tentang shalat, yang hanya disebut 83 kali. Tapi sedikit yang tau persis teknik cara mengamalkan zikir. Orang hanya tau tata cara shalat. Fikih shalat sangat populer dan banyak dikaji. Tapi tidak dengan zikir. Padahal, ruh dari shalat adalah amalan zikir, yang telah terlebih dahulu ditegakkan Nabi selama 40 tahun. Lalu apa jadinya shalat kita, tanpa kekuatan zikir. Bagaimana kita bisa mengingat Allah dalam shalat, ketika Allah belum pernah dijumpai. Apanya Allah yang kita ingat dalam shalat?

Mewarisi Nabi

Semua yang dikerjakan Nabi di usia 23 akhir, itu lebih kepada konsumsi “publik”. Sudah mulai mengarah ke aksi yang bernilai sosial. Sifatnya sudah dakwah lahiriah (syariah). Yang membuat semua itu punya fondasi kuat adalah pengalaman Beliau beragama (berzikir) secara “rahasia” selama 40 tahun sebelumnya. Dari berbagai kekuatan hakikat itulah Muhammad menjelma menjadi sosok terpercaya, menjadi seorang wali/nabi.

Seharusnya; seorang ulama, kiyai, ustadz atau habib; itu juga lahir dari proses serupa. Orang-orang yang bekerja menurunkan ilmu agama kepada masyarakat, itu seharusnya adalah orang-orang yang baru saja “turun” dari berjumpa dengan Allah. Anda turun ke bumi dengan membawa “Kalimah” yang baru saja Anda terima dari Allah. Bukan sesuatu yang Anda tiru dari orang lain. Juga bukan sekedar bacaan/hafalan dari buku tertentu. Idealnya begitu. Ilmu yang asli, itu betul-betul sesuatu yang Anda dapatkan dari Allah (spiritual enlightenment).

BACA: Spiritual Enlightenment

Itu baru disebut sebagai “Ulamanya Allah” atau “Habibullah”. Mereka meniru secara utuh langkah perjalanan atau tariqah kenabian. Pernah menempuh jalan, benar-benar bertemu dan mendapatkan mandat langsung dari Allah untuk mendakwahkan “Kalimah”-Nya. Bukan gara-gara Anda cucu (dzuriyat) Nabi, lalu suka hati mencaci dan menakuti orang dengan bab agama. Anda “mewarisi” Nabi bukan sekedar karena kesamaan unsur materialitas DNA. Melainkan karena kemampuan menyerap dan mengaktualkan unsur “Nur”-Nya.

Begitulah wujud dari ulama hakikat, ustadz sejati, atau habaib yang asli. Karamahnya ada. Seperti Nabi, membawa mukjizat yang nyata. Mewarisi genetik “nuriyah” dan kemaksuman sang Nabi. Sehingga ia menjadi “hujjah”, contoh sempurna kebaikan bagi sekalian manusia. Menjadi “tali wasilah” bagi umatnya. Lahir dan batin, mereka mewarisi akhlak dan spiritualitas Nabi.

Penutup

Jika ingin meniru Nabi, tirulah dari awal sampai akhir. Sejak sebelum dan sesudah usia 40. Replikasi sisi lahir, sekaligus batinnya. Pada hakikatnya, sisi lahir adalah pancaran dari batin. Ketika batin telah diperoleh, akhlak bisa mendhahir dalam wujud apapun, sesuai konteks jaman dan tempat. Selama ini, kita hanya bisa meniru sisi lahiriah Nabi. Tanpa pernah merasakan pengalaman spiritual kenabian. Ini menjadi cacatan koreksi bagi kita dalam beragama. Meniru boleh, tapi harus kaffah, sempurna.

Sementara, dalam proses belajar, khususnya anak-anak, atau lagi sakit, uzur dan cacat; bolehlah kalau hanya baru mampu mengambil setengahnya. Misalnya, sisi lahiriahnya saja. Daripada tidak ada sama sekali. Sebab, “mâ lâ yudraku kulluhu lâ yutraku kulluhu (apa yang tidak dapat diraih semuanya, maka tidak ditinggalkan semuanya)”. Karena itu bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupanmu (QS at-Taghabun [64]: 16). Namun, jika ingin berislam secara sempurna, ingin mengalami secara utuh, ikuti keseluruhan contoh amal kenabian. Dari awal sampai akhir. Dhahir dan batin.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

Next Post

SIAPA GURU NABI MUHAMMAD SAW?

Sat Jun 3 , 2023
Jurnal […]

Kajian Lainnya