SIAPA GURU NABI MUHAMMAD SAW?

Jurnal Suficademic | Artikel No.68 | Juni 2023

SIAPA GURU NABI MUHAMMAD SAW?
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Salah satu bentuk keabsahan spiritual dalam Islam adalah, adanya pertalian mata rantai keilmuan. Antara manusia dengan Allah, itu ada “jibril” dalam mata rantai sanad wasilah. Artinya, ruh keagamaan diperoleh melalui ketersambungan silsilah antara murid dengan guru. Ada kesinambungan jalur transmisi spiritual antara seseorang dengan pendahulunya. Murid dengan guru, itu bertemu. Ilmu ruhani dipindahkan dari satu qalbu seorang ke qalbu lainnya.

Termasuk antara satu nabi dengan nabi lainnya, itu ada pertalian sanadnya. Polanya macam-macam. Ada yang bertemu langsung dan hidup sezaman. Misalnya; Ibrahim as dan Luth as. Yakub as dengan Yusuf as. Musa as dengan Harun as. Daud as dengan Sulaiman as. Zakaria as dengan Yahya as. Serta Yahya as dengan Isa as. Hubungan diantara mereka pun ada yang sifatnya sedarah, antara ayah dengan anak (i.e. Yakub dan Yusuf, Daud dan Sulaiman, Zakaria dan Yahya). Atau hubungan kekerabatan (i.e., Ibrahim dan Luth, Musa dan Harun, Yahya dan Isa, dan lainnya).

Ada pula yang terpisah zaman. Tapi mewarisi ilmunya. Misalnya, antara Ibrahim dan Nuh. Jarak keduanya terpisah sangat jauh. Rentangnya mencapai 2.240 tahun. Namun demikian, Ibrahim as tetap menyatakan dirinya sebagai “syiah” (pengikut) Nuh as:

۞ وَاِنَّ مِنْ شِيْعَتِهٖ لَاِبْرٰهِيْمَ ۘ

“Sesungguhnya Ibrahim termasuk syiahnya/pengikutnya (Nuh) (QS. As-Shaffat: 83)

Ketika Ibrahim as menyatakan diri sebagai “pengikut” Nuh as, itu berarti ada pertalian nasab spiritual antara kedua mereka. Tidak mungkin menjadi pengikut tanpa ada yang diikuti, tanpa mengenal Nuh lewat orang-orang pada masanya. Karena jarak jaman antara kedua mereka terpisah, tentu saja ada ahli waris ilmu Nuh as yang hidup di zaman Ibrahim as. Kepada orang itulah Ibrahim as mengikat tali mazhab “kepengikutan” dengan Nuh as. Tentu, antara Nuh as dan Ibrahim as, ada dua nabi yang mengisi zaman: Hud as dan Shaleh as. Disamping banyak figur mulia lainnya.

Artinya, ketauhidan Ibrahim bukanlah murni hasil inovasi dia sendiri. Ada unsur-unsur spiritualitas yang ia warisi dari generasi sebelumnya, dari guru terdahulu. Perjalanan Ibrahim mencari Tuhan; berjumpa “bintang”, “bulan” dan “matahari” (QS. Al-An’am: 76-78); adalah perjumpaan Ibrahim dengan guru-guru spiritual. Ada guru yang menurutnya biasa, cahayanya redup dan tenggelam, tidak membawa Wajah Tuhan. Ada guru yang pada akhirnya mampu mempertemukan dirinya dengan Allah SWT.

Melacak Sanad Ruhani Nabi Muhammad SAW

Bagaimana dengan Nabi Muhammad SAW, kemana tali keilmuannya bersambung? Tentu saja kepada nabi sebelumnya, Isa as. Islam tidak berdiri sendiri. Islam merupakan tauhid dan peradaban. Sesuatu yang dibangun atas landasan spiritualitas yang berkesinambungan, dari nabi ke nabi. Dari wali ke wali. Dari imam ke imam. Dari guru ke guru. Dari schoolars ke schoolars. Dari ulama ke ulama.

Namun, antara Isa as dan Muhammad SAW juga berjarak, sampai 571 tahun. Bagaimana mungkin ilmu dan ruhaninya tersambung?

Sama seperti Ibrahim as dengan Nuh as. Ada sejumlah guru spiritual yang hidup pada masa “transisi” itu, yang mewarisi ilmu nabi sebelumnya. Mereka adalah para ulama dan wali, yang menjaga wasilah “batiniah” nabi sebelumnya.

Sebenarnya mereka itu ‘nabi’ juga. Namun, jumlah nabi secara tekstual sudah dibatasi menjadi, lebih kurang, ada 25 orang. Itu yang kita hafal-hafal. Banyak nama lain yang tidak muncul kepermukaan. Quran sendiri menyebutkan, banyak sekali nabi yang namanya tidak disebut dalam kitab suci. Ada di berbagai tempat dan zaman. Bahkan, sebuah hadis mengatakan, jumlah mereka mencapai 124.000.

Lalu siapa nabi/wali yang hidup diantara zaman Isa as dengan Muhammad as. Quran menyebutkan, ada “hawariyyun”. Ini merupakan kelompok-kelompok yang setia dan taat menjaga ajaran ketauhidan yang dibawa Isa as. Mereka merupakan kelompok Nasrani atau Kristen yang “muslim”; yang patuh dan berserah diri kepada Allah, serta percaya akan kehadiran nabi setelah Isa as. Mereka beriman kepadanya.

Maka kemudian, kita temukan dalam sejarah, sepotong kisah yang memvalidasi apa yang kita bahas ini. Tersebut nama Buhairah, seorang pendeta Nestorian, yang menemukan sosok nabi yang ia cari. Dari riwayat, kita dapat mengetahui bahwa ia seorang ahli “makrifat”. Ia punya mata batin (bashirah) yang kuat. Lewat “tanda-tanda” tertentu, ia begitu mengenal, bahwa anak kecil yang ia lihat dalam sebuah tenda dagang yang sedang menuju Syam adalah calon nabi. Yang namanya tertulis dalam kitab-kitab terdahulu.

Tentu tidak mudah menemukan seorang calon nabi, terutama saat usianya masih kecil. Konon lagi, Anda harus mencarinya di tengah padang pasir dan geografis Arabia yang begitu luas dan ganas. Itu sama dengan mencari sepotong jarum yang halus, di dalam tumpukan besar jerami. Mustahil menemukannya, kecuali Anda mendapat petunjuk yang kuat dari Allah.

Jadi ini bukan sekedar keahlian membaca tanda-tanda lahir saja. Ini murni ketajaman spiritual. Artinya, kalau Buhaira tidak mewarisi ilmu kewalian yang benar-benar kasyaf, tentu ia tidak akan mampu mengenal bakal calon nabi. Anda boleh lihat wajah anak-anak di sekeliling Anda. Atau cobalah keliling seluruh Indonesia. Coba pastikan, mana calon presiden besar masa depan bangsa. Tidak akan tau kita. Ini masalah hijab dan pencerahan spiritual. Kalau Anda bukan seorang “pewaris” ilmu nabi, sulit mengenal yang mana calon nabi. Hanya wali yang kenal wali.

Itulah Buhairah. Mungkin termasuk salah satu wali akbar, “pewaris” ajaran Isa as, yang se-zaman dengan Muhammad as. Mereka bertemu. Bagaimana bentuk pertemuannya, tidak dijelaskan secara detil.

Tidak mungkin bagi seorang Buhairah, seorang yang beriman pada kedatangan seorang nabi setelahnya, ketika bertemu, akan meninggalkan Muhammad SAW begitu saja. Ia pasti akan melakukan sesuatu. Sebagai orang yang telah duluan tau, ia pasti akan “mewarisi” sesuatu dari Isa as kepada calon nabi itu. Ia pasti akan menyampaikan kepada Muhammad, “Kalimah” yang mungkin pernah ia terima dari para wali sebelumnya, yang bersambung ke Isa as.

Secara lahiriah, pasti ada timbang terima ilmu dan pengetahuan tertentu antara Buhairah dengan Muhammad dalam perjumpaan itu. Mungkin juga ada bentuk-bentuk transmisi spiritual tertentu yang ia ijazahkan kepada Muhammad. Mungkin proses talqin dan transfer potongan pengetahuan kepada Muhammad berlanjut lebih lama sampai ke Syam, tidak hanya terhenti ditempat itu.

Kita tidak tau persisnya seperti apa. Abu Thalib pun begitu rapi menjaga kerahasiaan Muhammad, keponakan yang begitu ia sayangi. Begitu juga dengan apa-apa yang ia alami saat ia dalam perlindungannya. Abu Thalib tau, ini bukan anak sembarangan. Anak yang sejak kecil sudah dipayungi awan.

Dari potongan riwayat ini, setidaknya ada “clue”, bahwa tidak ada kekosongan risalah antara Isa as dengan Muhammad SAW. Secara literal memang tidak ada sosok “nabi” diantara kedua mereka. Namun, ada para wali dan orang-orang shaleh para penjaga zaman semacam Buhairah, yang hidup di masa transisi itu. Artinya, spirit dan risalah keislaman tidak pernah terputus. Sanad keilmuan masih bersambung. Ada imam-imam, master spiritual, rahib atau pendeta yang setia menjaga rahasia langit dan menunggu kehadiran penerima wahyu selanjutnya.

Kita tidak tau, apakah Muhammad ada berguru secara khusus pada Buhairah atau imam-imam relijius lainnya. Bahkan saat sudah dewasa, seorang imam Kristen Nestorian lainnya di Mekkah, Waraqah bin Naufal (sepupu Sayyidah Khatijah), ikut menjadi teman diskusi saat Muhammad mengalami “pengalaman mistis” di Gua Hirak.

Kita tidak tau. Tidak ada catatan khusus tentang bagaimana cara Muhammad menempuh pendidikan saat kecil. Yang populer hanya cerita menggembala kambing. Tapi bukan berarti tidak ada. Beberapa “hint” dalam kisah masa kecilnya memberi petunjuk ke arah itu. Ia pernah “dibedah” dadanya oleh orang tertentu, tidak dijelaskan siapa (hanya disebutkan sebagai “malaikat”). Ini menjadi catatan, bahwa ada orang yang memang tertarik, atau dengannya. Atau sengaja diutus Tuhan kepadanya. Lalu melakukan proses “pembersihan”, dan mungkin juga telah “menanam” Kalimah tertentu dalam dadanya. Mungkin juga orang misterius ini berulang kali datang untuk mendidiknya. Record sejarah masa kecil Muhammad sampai ia berusia 40 tahun memang sangat sedikit. Padahal, banyak hal yang terjadi pada periode pertumbuhan yang sangat penting ini.

Yang jelas, dari semua itu, Muhammad tumbuh dan terdidik menjadi pribadi yang penuh adab dan etika. Sampai digelar “Al-Amin”. Kita juga melihat bagaimana Muhammad saat beranjak muda sudah begitu taat mengamalkan ajaran “meditasi” (zikir/khalwat/suluk). Ia rutin melakukan itu, secara sangat khusus, selama berhari dan bermalam-malam. Bahkan sampai sebulan. Setiap tahun pula. Tentu menjadi pertanyaan, dari mana ajaran dan praktik spiritual ini ia dapatkan? Darimana zikir dan kaifiyat meditasi ala para nabi ini dia peroleh? Apakah ia mengarangnya sendiri? Apakah itu warisan keluarga, atau ada orang lain yang mengajarkannya?

Tidak hanya ke jalur Isa as melalui Buhaira, ada kemungkinan Muhammad SAW juga memperoleh transmisi ilmu dan spiritual dari sanad tariqah “hanifiyyah” keluarganya, yang bersambung ke Ibrahim as.

Seperti kita ketahui, keluarga dan kakek-kakek Muhammad merupakan para “imam” penjaga Rumah Allah (Baitullah/Kakbah). Kakbah merupakan rumah Tuhan warisan Ibrahim as dan Ismail as di lembah Mekkah. Sebagai pemegang kunci rumah Tuhan, tentu mereka mewarisi sejumlah ilmu tentang ketuhanan.

Bahkan kakeknya, Abdul Muthalib, dikenal keramat dan sangat pasrah kepada Allah. Setelah ia berdoa dan menyerahkan kembali Kakbah kepada Allah, seketika datang Burung Ababil untuk menghancurkan tentara Abrahah. Itu pertanda, doanya sangat makbul disisi Allah.

Kakbah itu sebenarnya tidak keramat-keramat sekali. Biasanya saja. Bahkan sudah seringkali hancur, gara-gara perang suku di zaman sebelumnya. Hajar Aswad pun pernah hilang di bawa banjir. Kalau tidak ada yang menjaga dan mendoakan untuk keselamatan Kakbah, bangunan itu bisa hancur. Kalaupun ada yang berdoa, tentu yang doanya diterima Allah. Seperti Abdul Muthalib. Bisa saja Abrahah meluluhlantakkan Kakbah. Tapi doa Abdul Muthalib mampu menolak bala yang dibawa oleh tentara gajah.

Sebagai pengikut Ibrahim as yang “hanif”, kemungkinan Muhammad SAW juga telah banyak mendapat transmisi ruhani dari sanad tariqah keluarganya yang bersambung ke Quraisy, ke Adnan, sampai ke Ismail dan Ibrahim as.

Lebih dari itu, kelihatannya Beliau telah berhasil menyatukan kedua jalur ruhani dan keilmuan ini. Baik dari jalur “hawariyyun” (jalur Isa as yang bersambung ke Ibrahim as), maupun jalur “hanif” (jalur Bani Hasyim yang juga bersambung ke Ibrahim as).

Artinya, Beliau bukan seorang nabi yang lahir dari kevakuman intelektual. Ia bukan nabi yang tiba-tiba lahir gara-gara suka menyepi ke tempat gelap. Ruhani dan kecerdasannya terdidik cukup kuat lewat interaksi sosial dengan berbagai khazanah keilmuan dimasanya. Ia petualang ke berbagai negara. Boleh jadi ia banyak belajar dan bersentuhan dengan berbagai macam pengetahuan di sepanjang perjalanan. Karenanya ia begitu tau tentang Kristen, Yahudi dan lainnya. Kecerdasannya bukan semata-mata karena wahyu belaka. Sebagai manusia biasa, peran dialektika dengan berbagai macam konflik dan pandangan keagamaan juga ada.

Karenanya, ketika surah semacam Al-Ikhlas turun, tentulah itu untuk menjawab persoalan-persoalan teologis yang sedang diperdebatkan. Ia lewat kuasa Tuhan, hadir untuk memberi solusi tentang itu. Karenanya, Islam terlihat seperti agama campuran antara Yahudi dan Kristen. Bahkan ada yang ‘menuduh’ Islam sebagai sebuah sekte dari Yahudi atau Kristen.

Disatu sisi tidak salah. Sebab, nabi-nabi Yahudi sampai kepada Nabi Isa as, itu nabi Islam semua. Nabi Muhammad SAW mengambil semua hikmah dan kebajikan dari mereka. Quran sendiri merupakan kompilasi wahyu dan hikmah dari semua kitab samawi terdahulu. Boleh jadi banyak kesamaan isi antara kitab sebelumnya dengan apa yang tersebut dalam Quran. Sebab, Muhammad tidak membawa agama baru. Ia memperkenalkan kembali kebenaran yang dibawa para nabi sebelumnya. Muhammad SAW mewarisi ilmu-ilmu mereka. Namun, sebagai “mujaddid” (pembaharu), Muhammad SAW juga memperbaharui sejumlah aspek hukum dan etika dalam beragama. Agar sesuai dengan umat di akhir masa.

Karena Muhammad lah Islam menjadi agama “universal”. Kita bukan Kristen, yang mandek di Isa as. Juga bukan Yahudi, yang mentok di Musa as. Islam adalah agama semua nabi yang “berserah diri” kepada Allah. Islam adalah agama yang berdiri di atas Kristen dan Yahudi. Islam adalah agama yang Qurannya keberadaan mengakui Injil, Taurat dan Zabur. Islam adalah agama yang mewarisi dan juga melihat kebaikan pada diri semua nabi; Isa as, Musa as, Ibrahim as dan lainnya.

Penutup

Belajar dari kisah “sanad” keilmuan Muhammad, kita harus membuka diri. Untuk menyerap pengetahuan dan kebenaran dari semua guru dan tempat. Dari timur dan barat. Dari keluarga sendiri maupun dari tempat-tempat yang jauh di luar sana. Dari semua agama samawi. Dari semua filosofi suci. Dari para walimursyid dan imam ruhani. Pada akhirnya, semua perjalanan spiritual dan keilmuan Muhammad membawanya kepada perjumpaan dengan jibril, dengan Allah.

BACA JUGA: Melacak Sanad Keislaman Nabi Muhammad SAW

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

2 thoughts on “SIAPA GURU NABI MUHAMMAD SAW?

  1. MasyaAllah, luar biasa tulisannya tuan guru. Saya semakin jatuh cinta dgn agama Islam. Luar biasa

Comments are closed.

Next Post

DUA CARA BERAGAMA, DENGAN DAN TANPA GURU

Tue Jun 6 , 2023
Jurnal […]

Kajian Lainnya