DUA CARA BERAGAMA, DENGAN DAN TANPA GURU

Jurnal Suficademic | Artikel No.69 | Juni 2023

DUA CARA BERAGAMA, DENGAN DAN TANPA GURU
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Bisakah kita beragama tanpa guru?

Kalau kita memaknai agama hanya sebatas “ilmu/pengetahuan” yang mengisi otak, itu bisa dilakukan tanpa guru. Cukup dengan belajar secara otodidak, atau minimal meniru, kita bisa mendapatkan ilmu agama. Tapi, jika agama dipahami sebagai “pengalaman perjumpaan” (liqa’, wushul, ruku’, syuhud) dengan Allah; itu wajib ada Guru. Sebab, mata dan kecerdasan kita tidak cukup kuat untuk menemukan dimana Dia.

Beragama Tanpa Guru

Begini. Kalau beragama hanya sebatas percaya kepada Allah, itu gampang sekali. Tidak perlu guru. Cukup kita yakini saja, bahwa Allah itu ada. Memang kita semua, sejak lahir sudah percaya, bahwa Tuhan itu ada. Sebenarnya sudah selesai kita beragama. Tidak perlu capek-capek mencari guru.

Atau, mungkin kita ingin memperdalam ilmu tentang agama. Ingin tau sifat Tuhan bagaimana. Atau ingin tau tata cara shalat, puasa dan sebagainya. Untuk hal-hal seperti itu, juga tidak perlu mencari guru. Kitab dan buku yang tersedia yang membahas itu sudah banyak sekali tersedia di pustaka. Sumbernya pun beragam, dari aneka mazhab dan pemikiran. Banyak orang yang menjadi cerdas dan tau, hanya karena kuat membaca dan mengoleksi buku. Ataupun gara-gara rajin nonton Facebook dan YouTube. Ngapain susah-susah mencari guru.

Mungkin ada juga ilmu-ilmu teknis dalam beribadah, yang kelihatannya kita butuh pengajarnya. Misalnya ilmu qiraat, ilmu khath, atau banyak teknis syariat dan fikih yang sifatnya simulatif. Itu bisa Anda cari gurunya. Walaupun, video tutorial tentang itu juga sudah banyak beredar, tanpa perlu susah payah mencari guru. Cukup dengan ditiru. Sudah mirip.

Artinya, beragama, kalau sekedar ingin mendapat “ilmu agama”, Anda tidak perlu lagi seperti zaman dulu. Dulu tidak ada rekaman kaset, tidak ada TV, tidak ada YouTube, tidak banyak beredar kitab/buku. Karena itu, zaman nenek kita, untuk belajar harus dicari orang yang ahli dibidangnya. Untuk didengar dan diikuti secara khusus.

Sekarang, kalau sekedar “transfer of knowledge”, semua sudah digantikan oleh teknologi informasi. Google lebih banyak tau dari ulama manapun di dunia ini. YouTube lebih banyak menyimpan informasi daripada alim agama. Tinggal ketik keyword, search dan click. Anda bisa tau semuanya. Ngapain sudah payah, buang-buang waktu untuk duduk berguru. Asal ada internet, semua ilmu bisa kita undang ke kamar. Karenanya, jamaah pengajian, dimana-mana banyak berkurang. Sebab, kalau sekedar mendapat “ilmu”, di Hp sudah ada semua.

Beragama dengan Cara Berguru

Sebaliknya, jika level beragama yang Anda ingin capai adalah pengalaman zauq (rasa), wushul (sampai), taqarrub (dekat), ruju’ (kembali), atau liqa’ (berjumpa) dengan Wujud Allah; maka Anda harus menempuh cara-cara baru. Yang harus dijalani adalah proses “transfer of ruhani” (penyatuan wujud batini). Sebab, akal dan intelek tidak akan pernah bisa membawa kita ke level perjumpaan yang bersifat Dzati. Bahan bacaan, hafalan ayat dan hadis; itu sama sekali tidak membuat kita sampai ke objek Tuhan yang hakiki.

Anda boleh tau definisi kopi. Warna-warna kopi. Jenis-jenis kopi. Ukuran kopi. Referensi tentang kopi. Serta 1001 teori tentang kopi. Tapi apa artinya, kalau kita tidak pernah menyentuh untuk meneguknya. Apakah Anda kenyang dengan itu semua? Apa artinya ketika Anda tidak sampai kepada pengetahuan tentang rasa, ketika taste dan nikmatnya tidak pernah mengalir dalam tubuh Anda. Untuk apa segala konsep tentang Tuhan, kalau kita tidak pernah mengalami pengalaman menyatu dengan keindahan-Nya.

Karenanya, seperti kemukakan di muka, semua orang yang cerdas, tidak pernah sampai ke Tuhan. Hanya orang ‘bodoh’ yang sampai ke tujuan. Ilmu itu hijab. Akal itu frekuensinya rendah. Bayan dan Burhan tidak mengantarkan kita ke Wujud Tuhan yang asli. Teks dan argumentasi hanya mengisi pikiran Anda dengan ide-ide tentang Tuhan. Ilmu tidak membawa kita ke penyaksian dan penyatuan dengan Wajah Allah.

Untuk sampai kepada Allah, kita butuh Guru. Disini kita sebut Guru dengan “G” besar, untuk mengungkapkan bahwa ini bukan guru biasa. Guru biasa, itu hanya mengajari kita cara membaca dan menghafal. Cara shalat dan puasa. Sesuatu yang sebenarnya kalau kita kreatif dan rajin, juga bisa dipelajari sendiri.

Guru yang kami maksudkan disini adalah seseorang yang dapat membawa kita kepada Allah. Syaratnya, Guru ini sudah harus terlebih dahulu wushul/liqa’ dengan Allah. Karena itu, ia seorang ahli makrifat. Kasyaf. Ia tau dimana Allah. Ia mampu berkomunikasi dengan Allah. Lebih jauh lagi, ia bisa mensucikan Ruhani para murid guna dibawa untuk diperjumpakan dengan Allah Yang Maha Suci.

Guru pada level ini disebut sebagai Nabi/Rasul. Atau siapapun yang “mewarisi” keahlian ini dari Nabi/Rasul. Bisa saja kalau sekarang disebut dengan nama “imam”, “wali”, “mursyid”, “syaikh”, “habib” dan lainnya. Kalaupun disebut “Imam”, tentu tidak sama dengan imam yang kita pahami sebagai orang yang kerjanya memimpin shalat dan doa di masjid. Itu ustadz. Anda bisa menggaji dan menyuruh seseorang yang banyak hafalan dan bagus bacaan, untuk memimpin shalat di masjid. Tapi, seorang wali/imam sejati itu tidak bisa “dibeli” dan diperintah. Ia pemimpin wilayah, imam ruhaniah para murid, dimanapun mereka berada. Mereka mewarisi ilmu tadzkiyatun nafs, ahli makrifah, tajam mata batinnya, dan membawa bukti-bukti (hujjah/mukjizat) dari Tuhan. Ia dibeli dengan cinta dan kasih sayang (mahabbah/mawaddah).

Guru/Imam pada level ini disebut wasilah. Wasilah adalah “gelombang suci” yang ada dalam dirinya. Wajahnya karamah dan selalu diingat. Dalam diri Guru seperti ini telah diturunkan/tanazzul unsur-unsur malakut “Ruhul Muqaddasah Rasulullah” (Nur Muhammad/Nurullah). Dengan elemen Ruhani itulah ia mampu mensucikan jiwa muridnya. Dengan unsur “Ruhullah” itu pula ia mampu mengangkat ruhani muridnya untuk sampai kepada perjumpaan dengan Allah. Guru seperti ini disebut “Buraq”. Ruhaninya sudah berupa kilatan gelombang Cahaya Allah, yang mampu menteleportasi sang murid ke sisi-Nya. Hanya Cahaya Allah yang dapat membawa manusia ke sisi Allah. Itulah “wasilah”, Cahaya/Kitab yang ada dalam dada para nabi dan para pewarisnya.

Karena pentingnya wasilah sebagai “mediating variabel” (Guru) dalam beribadah, Allah senantiasa mengirim para nabi/rasul ke setiap tempat dan zaman. Begitu juga dengan para wali dan mursyid waris mereka, selalu hadir disetiap tempat dan zaman. Padahal, kitab suci sudah dimiliki oleh umat-umat terdahulu. Tapi, tetap saja Allah senantiasa mengutus orang sebagai Guru/Wasilah.

BACA: Nur Muhammad, “Variabel Mediator” Dalam Bermakrifat

Ber-“guru” bisa dengan siapa saja, termasuk dengan orang yang sudah wafat. Anda bisa menganggap imam Jakfar, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali sebagai “guru”, dengan membaca dan mengkaji karya-karya mereka. Tapi, ber-“Guru”, itu harus dengan sosok mursyid/imam yang masih hidup, yang membawa “tali” gelombang ruhani sang Nabi:

لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

Sungguh, benar-benar telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, dan (bersikap) penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin” (QS. At-Taubah: 128)

Kesimpulan

Jadi, kalau seseorang ingin beragama pada level “wujudiyah”, terhubung wujud ruhaniahnya dengan Allah, carilah “Guru”. Lalu bodohkan diri dihadapannya. Sebab, ia tidak membawa akal dan intelek kita ke hadapan Allah. Ia hanya membawa ruhani yang telah suci dari segala anasir dan persepsi. Ia hanya menerima sosok-sosok “ummi” sebagai kekasih-Nya.

Kita sepakat, semua ilmu idealnya butuh guru. Fungsinya untuk mengakselerasi perolehan ilmu. Kita belajar dengan orang yang sudah berilmu, agar cepat memperoleh ilmu. Begitu juga dengan ber-Guru dengan orang yang sudah sampai ke Tuhan, agar kita juga menempuh jalan yang sama untuk cepat sampai ke Tuhan.

Karena itu, dalam belajar butuh kerendahan hati. Khususnya di tasawuf/Irfan. Itu memang diajari untuk benar-benar merasakan bahwa kita memang ‘bodoh’. Kalau cerdas, mungkin sudah lama kita berjumpa Tuhan. Makanya, melalui bimbingan seorang Guru (yang berkualitas “Jibril”), melalui berbagai tahapan tariqah dan mujahadah, Anda akan dimikrajkan ke hadapan Allah. Ketika menemukan Guru seperti ini, Anda pasti akan mengalami hal ihwal semacam muraqabah dan yaqazah; serta berbagai dinamika pengalaman dan kecerdasan baru, setiap hari. Kebahagiaan yang luar biasa!

Sebaliknya, kalau level agama yang kita cari hanya sebatas untuk tau (transfer of knowledge), bukan untuk menaikkan derajat agar ruhani bisa membumbung dan mendekat ke hadapan Allah (transfer of ruhani), saya kira sudah cukup dengan banyak menghafal dan membaca. Tanpa berguru sekalipun, itu bisa dicapai. Artinya, kalau level shalat yang kita cari hanya bentuk ibadah lisan dan fisikal semata, itu cukup belajar dengan guru agama biasa. Tapi, kalau ingin mencapai level shalat dalam wujud dinamika “perjalanan” (mikraj) ruhani, maka kita semua mesti ber-Guru.

Shallu kama ra-aytumuni ushalli (HR. Bukhari). Shalat lah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat. Itu level beragama dengan cara “melihat”. Tidak perlu berguru secara khusus, cukup dengan ditiru. Ini sama seperti Cina berbisnis, rumusnya: Amati, Tiru, Modifikasi (ATM). Sebentar sudah jadi barangnya. Kualitasnya, wallahu ‘alam.

Kalau orang-orang jenggotnya panjang satu jari, Anda tinggal panjangkan satu jengkal. Kalau orang-orang ngomongnya kurang fasih, Anda tinggal fasih-fasihkan. Jadi barangnya, malah lebih bagus dari orang-orang, secara lahiriah. Masalah khusyuk, itu belakangan. Sebab, untuk memperoleh kualitas semacam khusyuk, itu tidak cukup dengan meniru. Melainkan harus ber-Guru. Anda bisa meniru tampilan ibadah dan cara Nabi beragama lewat mengintip, melihat dan mendengar. Tapi, ruhaninya, itu tidak bisa di copy paste dengan cara itu. Harus Nabi sendiri yang memindahkan rasa yang ada dalam qalbunya, kepada kita.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

3 thoughts on “DUA CARA BERAGAMA, DENGAN DAN TANPA GURU

  1. Tentu yg pernah “nyicip” kopi yg tau nikmat lezatnya kopi

  2. Berarti kita harus duluan punya ilmu untuk mengetahui mana guru biasa dan mana guru luar biasa.

Comments are closed.

Next Post

TAK ADA ORANG SHOLEH, JIN IFRIT PUN BOLEH!

Wed Jun 7 , 2023
Jurnal […]

Kajian Lainnya