RUMI: “YOU ARE THE ENTIRE OCEAN IN A DROP”

Jurnal Suficademic | Artikel No.77 | Juni 2023

RUMI: “YOU ARE THE ENTIRE OCEAN IN A DROP
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Untuk menggambarkan betapa kecilnya manusia, ada simulasi sains yang sering kita lihat beredar di medsos. Sebuah perusahaan motivasi nasional selalu menggunakan ini, untuk menumbuhkan kesadaran betapa “rapuhnya” manusia.

Dalam simulasi video tersebut dilukiskan. Sebagai individu, manusia adalah sebutir pasir di muka bumi. Sementara, bumi hanyalah sebutir debu di tengah tata surya. Sedangkan tata surya kita merupakan satu noktah super halus di tengah galaksi bima sakti. Selanjutnya, galaksi kita hanyalah sebuah titik mikro di tengah 200-an milyar galaksi. Ketika di zoom out lebih lanjut, alam semesta tidak pernah diketahui dimana batasnya!

Ini kita, melalui sudut pandang empirisme sains. Dalam tulisan terdahulu, “Hushuli dan Hudhuri: Dua Teknik Berpikir dalam Perolehan Pengetahuan”, kami menyebutnya sebagai “teknik berpikir ke luar” (the outer journey). Kajian tersebut menjelaskan mengapa kita, khususnya dalam dunia akademik, punya kecenderungan berpikir demikian. Paradigma berpikir semacam ini lahir akibat hukum alamiah emanasi (penciptaan) yang terus mengembang. Manusia terus bergerak, dari Wujud “kesatuan” (Ahadiyah) menuju “keragaman” ciptaan (Wahidiyah). Pikiran manusia akan terus melebar, dari pusat ketuhanan, menuju partikularitas alam.

BACA: “HUSHULI DAN HUDHURI: DUA TEKNIK BERPIKIR DALAM PEROLEHAN PENGETAHUAN”

Kalau mengikuti cara berpikir “ke luar” (dalam filsafat Islam juga disebut “hushuli”), intelektualisme manusia akan terus mengobservasi aneka ontologi luaran, sampai batas yang tidak terhingga. Pada ujungnya memang tidak akan pernah diketahui dimana ending dari wujud eksternal dari kosmos ini. “Wahai golongan jin dan manusia! Jika kamu sanggup menembus penjuru langit dan bumi, maka tembuslah. Kamu tidak akan mampu menembusnya, kecuali dengan Sulthan” (QS. Ar-Rahman: 33).

Sebagian manusia berharap, di batas luar itu, teleskop Hubble akan menemukan lapisan langit tertinggi. Disana seharusnya ada “Kursy” (Alas) dan kemudian “Arasy” (Singgasana); tempat Tuhan bersemayam. Ini ayat-ayat yang dibawa ke ranah berpikir “spasial” untuk menemukan Allah. Kenyataannya, esensi Allah tidak akan pernah ditemukan dalam pemikiran yang “berbentuk” dan “bertempat” seperti ini. The essence of God is beyond reasons and intellects. Tafakkaru fi khalqillah, wala tafakkaru fi Dzatillah (hadis).

Begitulah cara berpikir “syariat”. Ampuh untuk menjangkau wujud fisika dan membangun hukum-hukum formal. Bentuknya pemikirannya “transenden”, memahami kebenaran sebagai realitas eksternal. Wujud objek selidikan cenderung empirik (material). Tuhan adalah wujud/sosok yang dipersepsikan ada di langit sana. Di luar angkasa sana. Mungkin di luar batas alam semesta. Jauh terpisah dari manusia. Cara berdoa pun sampai menengadah ke atas, sambil menatap langit. Simulasi ini ampuh untuk mengungkit kesadaran, bahwa kita kecil. Tuhan Maha Besar. Lebih besar dari semesta. Tapi tidak terjangkau sama sekali.

Lalu bagaimana cara kita menemukan-Nya?

Secara syariat disarankan cukup dengan patuh pada Hukum-Hukum Ilahi. Beribadah saja sesuai aturan yang telah ditetapkan dalam berbagai teks keagamaan. Tidak usah sibuk-sibuk mencari Allah. Akal dan fungsi-fungsi inderawi tidak akan mampu menjangkau-Nya. Insya Allah, suatu saat, kalau sudah mati, kita dijanjikan akan berjumpa dengan-Nya. Di surga sana.

Perbaikan akhlak juga begitu. Biasanya memadai dengan penguatan kesadaran kognitif. Lewat ceramah. Melalui doktrin dan renungan-renungan sederhana, manusia diharapkan bisa sadar akan fungsi keberadaannya. Metode ini bisa menyentuh aspek psikologis tertentu dari subconscious mind. Namun tidak bisa menjangkau alam “atas sadar” (Ruh). Jika Ruh bisa diaktivasi, paska pelatihan-pelatihan ESQ, manusia tentu sudah punya muraqabah dan bisa terhubung akrab dengan Tuhannya.

Metode pelatihan-pelatihan spiritual yang umum ditawarkan, cenderung menempatkan manusia sebagai makhluk terbatas, tidak mampu menjangkau dan lebur dalam Dzat Allah. Tidak mampu berinteraksi dan berdialog secara langsung dengan Dia Yang Maha Tinggi. Manusia dianggap sebagai “setitik debu” di alam semesta yang tidak bertepi. Manusia adalah “setetes air” di samudera yang maha luas ini. “You are just a drop in the ocean”.

The Inner Journey

Cara pandang di atas dibantah, atau lebih tepatnya “disempurnakan”, oleh para mistikus. Jalaluddin Rumi (1207-1273 M), pendiri tarikat ordo Maulawiyah di Konya Turki, dalam kalimat singkatnya mengklarifikasi: “You are not a drop in the ocean, you the entire ocean in a drop”. Manusia bukanlah setetes air di tengah samudera. Sebaliknya; manusia adalah seluruh samudera itu sendiri, dalam satu titik.

Kalimat dan cara pandang sufi ini punya konsekwensi yang luas. Pernyataan ini membalikkan cara berpikir sebelumnya. Manusia bukanlah setitik debu di semesta. Melainkan seluruh semesta, langit dan bumi yang maha luas, ada dalam diri manusia. Semesta yang awalnya dipahami sebagai tidak berbatas, kini menjadi wujud yang terselubung, terkurung dalam diri manusia.

Cara pandang ini, menempatkan manusia pada ‘posisi’ Tuhan. Sebab, Tuhan tidak ada di dalam alam. Alam bukan Tuhan. Dia ada “di luar” alam. Tuhan justru meliputi seluruh alam. Alam terbatas. Tuhanlah yang membatasi alam. Alam ada, tapi terkurung/terbatasi, dalam kebesaran Tuhan. Keseluruhan alam ada dalam ilmunya Tuhan. “Dan milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan Allah meliputi segala sesuatu” (QS. An-Nisa’: 126). “Ingatlah, sesungguhnya mereka dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ingatlah, sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu” (Fuṣṣilat: 54).

Pandangan ini sejalan dengan konsep “makro” dan “mikro” dari kosmos. Jagat raya yang maha besar, termasuk alam ketuhanan yang tidak bertepi, merupakan “makrokosmos”. Alam yang luas ini meliputi seluruh lapis langit dan bumi. Tapi, semuanya terangkum dalam diri manusia. Yang luas itu, seluruhnya tersembunyi dalam diri manusia. Karenanya, manusia disebut “mikrokosmos”. Kecil memang. Tapi wujud pancaran dari Yang Maha Besar. Manusia adalah “prototipe universal”. Wujud sempurna, “ahsani taqwim” (QS. At-Tin: 4). Tajalli, atau Citra kesempurnaan dari Tuhan yang maha besar. Jiwa manusia adalah “pintu gerbang” menuju semesta.

Bagaimana bisa?

Bayangkan, seluruh buku dan dokumen yang ada di semua rak dan gedung pustaka dunia, yang jumlahnya berton-ton itu, bisa diisi dalam satu flashdisk kecil. Kok bisa? Bahkan sekarang ada teknologi artificial intelligence (AI). Seluruh dunia bisa dihadirkan ke hadapan Anda, dalam sebuah kacamata kecil “virtual reality”. Itulah teknologi. Manusia adalah wujud dari teknologinya Tuhan. Bayangkan, alam semesta yang maha luas ini, bisa ditempatkan dalam diri manusia yang sangat kecil. Wujud metaverse, replika alam semesta, semua terkoneksi dan bisa dihadirkan dalam tubuh mungil manusia. Persis kata Rumi, “You are the entire ocean in a drop”.

Karena itulah, Allah yang tak terhingga pun, bisa tertampung dalam satu titik “Ba” di qalbu manusia. Kenyataannya begitu. Seperti disebut dalam hadis qudsi, “Tidak dapat memuat Dzat-Ku bumi dan langit-Ku, kecuali hati hamba-Ku yang mukmin lembut lagi tenang” (HR. Abu Dawud). Tuhan tidak bisa ditemukan di alam semesta. Alam ini hanya bayangan-Nya. Kemanapun seorang saintis terbang, ke galaksi terluar sekalipun, tidak ada Tuhan disana. Menjelajah angkasa, dalam konteks mencari Tuhan, itu mirip pekerjaan sia-sia.

Makanya Stephen Hawking (1942-2018) tetap ateis sampai kematiannya. Memang ada “tanda-tanda” Tuhan disana, sebagaimana Albert Einstein (1879-1955) mengakuinya. Tapi ia juga tidak pernah melihatnya. Tuhannya tersembunyi dalam diri manusia. Sebagaimana firman-Nya: “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya, lalu dipikullah amanat itu oleh manusia” (QS. Al-Ahzab: 72).

Atas dasar ini, manusia yang hatinya telah lembut dan tenang, terkhusus para nabi dan walinya, disebut “penghulu alam” (prototipe universal). Seluruh alam tunduk dan ada dalam dirinya. Mereka merupakan Kalimah, Kitab Induk semesta. Tuhan bersemayam dalam diri mereka. Tuhan tidak jauh. Tuhan dekat (immanent). Lebih dekat dari urat leher mereka. “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (QS. Qaf : 16). Begitu dekatnya. Sehingga Allah bisa diajak berbicara, kapan saja. Orang-orang seperti ini akan lebih banyak menundukkan kepala, lebih sering berbisik dan memejamkan mata. Mereka tidak suka memantau keluar. Mereka lebih senang memandang ke dalam dirinya. Sebab, Tuhan bertajalli disana.

Perhatikan. Kalau Anda punya hp ditangan, sambil duduk di rumah, Anda bisa bicara dengan seribu orang yang sedang berkumpul dalam sebuah konferensi di luar negeri sana. Seribu orang, atau berapapun jumlahnya, semuanya bisa masuk dan berkumpul di hp Anda yang sangat kecil itu. Itulah manusia, sebagai teknologi Tuhan yang maha kuasa. Manusia adalah “hp”, perangkat canggih ciptaan Tuhan. Dalam dirinya bisa hadir semua kebesaran dari alam ini. Manusia, ketika sinyal qalbunya hidup, bisa menjangkau dan menghadirkan Tuhan yang laitsa kamislihi syai-un dan maha jauh itu. Semua wujud diluar sana, gelombangnya bisa masuk dan hadir dalam dirinya.

Kalau sudah pada level ini, manusia bisa dekat dengan semua yang jauh. Bisa begitu rapat dan menyatu dengan Tuhannya. Manusia menjadi “layar” tempat aktualnya berbagai kekuatan dari alam sana. (Cahaya) Tuhan pun bisa hadir terproyeksi pada wajahnya. Bahkan kata-kata yang keluar dari lisan mereka menjadi ayat dan hadis. Semuanya adalah perkataan dari Tuhan yang menempati qalbu ruhaniahnya. “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan” (QS. An-Najm: 3-4). Begitupun ketika bertindak, pada hakikatnya adalah tindakan bernilai Ilahiah. “Maka (sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, melainkan Allah yang membunuh mereka, dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar” (QS. Al-Anfal: 17).

Alam juga tunduk kepada mereka lewat gelombang ketuhanan (mukjizat) yang hadir pada diri mereka. Sebagai manusia wahyu, ada kekuatan supra-natural dalam diri mereka. Mereka bisa memanifestasikan kekuatan yang lebih tinggi dari hukum alami biasa. Maqam mereka sudah berada di level metafisika. Alam fisika beserta seluruh kekuatan malaikatnya akan tunduk dan sujud kepada mereka. Alam ini bahkan bisa mengalami chaos, bisa kiamat, kalau orang-orang seperti ini sudah tidak ada. Sebab, mereka dipercayakan, diberi “amanat” oleh Allah untuk membawa Ruh (Jiwa) semesta. Karena itulah para nabi terus bertalian hadir di muka bumi. Paska mereka juga wajib ada pewarisnya.

Quran itu penuh metafora. Gaya bahasanya puitis dan berlapis. Makna kata yang terkandung di dalamnya banyak yang harus dipahami secara “isyarah”. Setiap ayat perlu diperlakukan secara hati-hati. Karena, selain mengandung kebenaran sebagai “realitas eksternal” (pesan tekstual); seringkali juga punya makna sebagai “realitas internal” (pesan spiritual). Ada kedalaman pesan dan kandungan. Sebuah kata, selain dipahami “apa adanya”, juga perlu dicerdasi “sebagaimana harusnya”. Karena itu daya khayal aktif (intuisi) harus dihidupkan saat menjelajah Al-Qur’an. Sehingga seorang mufassir bisa berbicara dengan-Nya.

Ketika Quran menyebut “matahari”, itu tidak selalu berarti matahari sebagai objek langit. Melainkan juga “Ruh Ilahi” yang memiliki cahaya otonom dalam diri. Ketika menyebut “bulan”, itu bukan selalu bulan sebagai benda angkasa yang bersinar saat malam hari. Melainkan “hati” yang bersinar karena menerima cahaya dari Ruh Ilahi. Banyak cerita dalam Quran yang sebenarnya itu hanya “kiasan” dan punya makna-makna di luar pesan tekstual.

Begitu juga dengan kata “langit” dan “bumi”, bukan untuk dipahami sebagai realitas eksternal semata. Melainkan juga lapisan-lapisan dalam kesadaran “latifah” manusia. Perjalanan menembusi langit dan bumi, sesungguhnya hanyalah “inner journey”. Dalam mikrokosmik manusia ada tujuh lapis langit, tempat bersemayam berbagai kekuatan Ilahi. Disitu bersemayam wujud kecerdasan spiritual dari Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Daud, Isa, dan Muhammad. Khalwat atau suluk dalam tradisi kaum sufi bertujuan mengaktivasi berbagai getaran dan kesadaran ini.

Di atas semua itu, di luar alam bumi dan bintang-bintang; di atas alam materi, bentuk, tabiat, persepsi dan sebagainya itu; terdapat Kursy dan Arasy, alam Rabbani, ‘tempat’ Dia bisa dijumpai secara hakiki. Hanya dengan kekuatan “Sulthan” seseorang bisa menembusi semua kegelapan dan selubung cahaya itu. Fanfudzu, la tanfudzuna illa bi Sulthan (QS. Ar-Rahman: 33). Sulthan adalah “Raja”, “Kekuatan”, “Ilmu” atau “Cahaya”. Sulthan adalah Wasilah, Nurun ‘ala Nurin, Cahaya Muhammad, Gelombang Ilahi, Ruhani Guru Mursyid, atau Rasulullah.

Siapapun yang pada setiap masa mampu menemukan kekuatan sang Rasul ini, pasti bisa tembus secara cepat ke ‘Arasy (Singgasana) Tuhan. “Sungguh, benar-benar telah datang kepadamu Rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, dan (bersikap) penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan), katakanlah (Nabi Muhammad), “Cukuplah Allah bagiku. Tidak ada tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal dan Dia adalah Tuhan pemilik ‘Arasy (Singgasana) yang agung” (QS. At-Taubah: 128-129).

Karena itu dikatakan, “Siapa yang mengenal diri akan mengenal Tuhannya” (hadis). Ada dua makna “diri”. Pertama, “diri” kita sendiri. Seperti penjelasan di awal, diri kita adalah alam semesta (mikrokosmos). Tuhan menampilkan dirinya di sana. Ada jalur, atau jalan menuju Tuhan dengan cara “menyelami” diri (zikir/meditasi). Kedua, “Diri” sang Pembimbing Ruhani (imam/walimursyid pewaris Rasul). Kita tidak bisa terbang menuju alam Tuhan yang ada di kedalaman semesta jiwa, kalau bukan dengan “Kekuatan” (Sulthan) dari sang Burak, Jibril atau Guru Ruhani. Jibril itu sendiri adalah “rasul” (utusan Tuhan). Jibril adalah Cahaya Tuhan yang ada dalam diri para Pembimbing Ruhani. Karena itulah, setiap perjalanan jiwa memerlukan Pembimbing.

Ruh Quddus inilah kendaraan atau teknologi yang dapat melakukan fusi terhadap jiwa seseorang. Guru yang mewarisi Ruhani Rasulullah punya kekuatan untuk membersihkan dan menggabungkan ruh kita dengan Ruh Ilahi. “Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang beriman ketika Allah mengutus seorang Rasul di tengah-tengah mereka dari kalangan mereka sendiri; yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan jiwa mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah, meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (QS. Ali Imran: 164).

Jadi, sebenarnya, tidak susah menemukan dan terkoneksi dengan Allah. Tidak perlu menempuh perjalanan ke luar angkasa, dengan biaya yang luar biasa mahal. Kalau untuk sekedar membangun peradaban dan kecerdasan empirik, itu sah-sah saja. Memang itu fungsi ego manusia, untuk membangun kehidupan duniawinya. Tapi, jika tujuannya ingin kembali ke asalnya yang ukhrawi, untuk bertemu dan berjumpa dengan Allah, lakukan perjalanan ke dalam diri. Biayanya murah sekali. Hanya saja, agak sulit menemukan Guru Pembimbing yang ahli. Guru agama memang banyak sekali. Tapi Guru Ruhaninya sangat langka. Dulu juga begitu. Ahli kitabnya yang banyak. Nabinya sedikit.

Kenapa perlu melakukan perjalanan “ke dalam” diri (the inner journey)?

Sekali lagi, karena apapun yang kita cari di luar sana, semua kebenaran yang ada di realitas eksternal alam (di berbagai ufuk semesta), semuanya ada di dalam diri. Kebahagiaan sejati, Allah sebagai “perbendaharaan tersembunyi”, ada dalam esensi ruhani. Kita dengan alam sebenarnya “menyatu”, terhubung melalui matrik energi yang maha meliputi. Karena itu, Tuhan (Al-Haqq) yang kita percaya ada di atas sana, pada hakikatnya ada di kedalaman jiwa. Sebagaimana firman-Nya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap penjuru (ufuk) dan pada diri mereka sendiri (anfusihim) sehingga jelaslah bagi mereka bahwa itu adalah Kebenaran (Haq). Tidak cukupkah bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu” (QS. Fuṣṣilat: 53).

Kesimpulan

“You are not a drop in the ocean, you are the entire ocean in a drop”, begitu pesan singkat dari Rumi yang disampaikan kembali kepada kita oleh The Master, Sufimuda. Sangat sederhana. Seolah-olah seperti mengoyak keyakinan sempit yang selama ini kita pelihara, yang membuat kita jauh dan tak berdaya untuk menempuh jalan untuk merasakan betapa dekatnya kita dengan-Nya.

Pesan ini seperti mengajak kita untuk kembali merevolusi kesadaran dan kemampuan jiwa untuk menjangkau Yang Tak Terhingga. Untuk memiliki visi yang lebih besar tentang dunia. Untuk naik ke dimensi “Sidrah al-Muntaha”. Sehingga bisa memandang dengan mata-Nya. Mendengar dengan telinga-Nya. Menyentuh dengan tangan-Nya. Berjalan dengan kaki-Nya.

Melalui the inner journey, kita perlu merevolusi kesadaran. Bahwa kita ini besar. Sehingga bisa kembali melihat dengan mata bashirah, bahwa dunia ini sebenarnya tidak lebih dari sebutir pasir di depan mata kita. Kita lebih besar darinya. Kita tidak dikuasai olehnya. Kitalah yang akan menguasainya. Begitulah pesan divine leadership yang kami syarah dari pesan Rumi via Sang Guru ini.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

3 thoughts on “RUMI: “YOU ARE THE ENTIRE OCEAN IN A DROP”

  1. Tuan, cobalah tonton channel youtubenya Tom Kearin Be Something Wonderful. Beliau menurut saya adalah salah satu guru manifestasi terbaik. Dia beragama nasrani dan mengambil kisah2 keajaiban dari para nabi, selain nabi Isa tentu saja, seperti nabi Musa, Ibrahim, dll. Dan dia selalu mengatakan there’s only one God. Dan dia juga pernah menyebutkan kata2 Rumi ini. Dia tidak seperti guru2 manifestasi lain yang landasannya bukan agama samawi, terlalu banyak ritual yg bertentangan dgn Islam. Saya merasa cocok dgn Tom Kearin karena sangat simpel dan dapat diterima oleh konsep Islam dan dia sudah mendekati pada konsep tauhid. Tinggal saya cari referensi dan sudut pandang Islam. Dan saya menemukan website tuan..

Comments are closed.

Next Post

DUA TAHAP EVOLUSI: "ALAMI" DAN "IKHTIYARI"

Mon Jul 3 , 2023
Jurnal […]

Kajian Lainnya

%d bloggers like this: