APA YANG DUFLO SEMBUNYIKAN? (Kritik Terhadap Disertasi Peraih Nobel Ekonomi 2019)

image: Esther Duflo dan suaminya Abhijit Banerjee, dua dari tiga Nobel Prize winners in economics tahun 2019 (thejakartapost.com)

APA YANG DUFLO SEMBUNYIKAN?
(Kritik Terhadap Disertasi Peraih Nobel Ekonomi 2019)
Oleh Said Muniruddin I Dosen | Fakultas Ekonomi dan Bisnis – Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

SAYA terpaksa menggunakan kata “sembunyikan” pada judul diatas. Sebab, ada sesuatu yang tidak diungkapkan peneliti ekonomi Amerika kelahiran Perancis yang berusia 46 tahun yang baru saja menerima Hadiah Nobel itu.

Sama seperti kebanyakan peneliti “normatif” lainnya, temuan Esther Duflo hanya sekedar permainan statistik untuk menggambarkan kontribusi positif dari program pembangunan masif 61.000 sekolah dasar pada periode 1973-1978 pemerintahan orde baru. Padahal, kalau dikaji secara lebih kritis dan terbuka, program ini tidak jauh berbeda dari “politik etis” Hindia Belanda terhadap negeri yang sedang diperasnya.

Duflo terlalu naive. Mungkin ia terlalu muda ketika meneliti Indonesia saat menyelesaikan program doktoralnya di Department of Economics, MIT. Atau terlalu sungkan melihat sisi politis dari apa yang sedang dikajinya. Ada sesuatu yang tidak ia ketahui atau mungkin tidak ia ungkapkan. Secara sederhana, ia hanya sekedar ingin membuktikan bahwa “pendidikan berpengaruh terhadap peningkatan upah”. Yang dalam kasus Indonesia ia tunjukkan peningkatan pendapatan sebesar 6.4 – 9.1 persen (atau rata-rata internal rate of return sebesar 7 persen).

Lagi-lagi. Kata “upah” (wages) menjadi nama untuk variabel pilihan sang peneliti. Bukan “kesejahteraan” pada makna yang lebih tinggi. Kelihatan sekali, paradigma pembangunan yang ingin dicapai adalah industrialisasi dan produksi yang tentunya membutuhkan tenaga upahan.

Artinya, politik pendidikan terlihat diarahkan untuk meningkatkan kesempatan bagi rakyat untuk sedikit lebih cerdas guna memadai untuk dipekerjakan. Rakyat bukan untuk dibuat kritis, skilful, berdaya dan mandiri. Rakyat seperti dipersiapkan untuk jadi buruh yang tidak terlalu bodoh, guna membantu korporasi-korporasi yang dikuasai segelintir orang dalam lingkar kekuasaan. Jaringan Suharto bahkan sampai hari ini masih menguasai lahan dan sumber daya alam Indonesia secara masif. Prabowo juga sempat ‘dikuliti’ pada Pilpres kemarin karena hal ini.

Melalui kebijakan yang turut dibuat para teknokrat kaki tangan ideologi asing, sejak awal orde baru, rakyat terlihat seperti sedang dididik untuk menjadi buruh pada perusahaan dan proyek-proyek asing Amerika cs yang sejak tahun 1970an mulai dibuka pintu untuk mengelola kekayaan di negeri ini. Komunis ditentang. Kapitalis diundang.

Disisi lain, maraknya pembangunan infrastruktur pendidikan dasar juga dapat kita lihat sebagai kebijakan politik untuk memperbaiki citra orde baru dalam pengembangan sumberdaya manusia. Pemerintah ingin meningkatkan angka literasi yang bahkan sampai tahun 1980an masih berkisar pada angka 72 persen (untuk usia 10 tahun ke atas) dan 68 persen (untuk usia 15 tahun ke atas).

Itulah mengapa saya menyebut pembangunan pendidikan melalui Inpres No. 10 tahun 1973 sebagai bagian dari “politik etis” ala kompeni. Rakyat yang bodoh dan banyak buta huruf sejak era sebelumnya perlu sedikit di upgrade kapasitasnya. Tapi bukan untuk mampu berdiri di atas kaki sendiri dan mengelola kekayaan negerinya. Tapi untuk jadi buruh yang tidak bodoh-bodoh amat.

Kerjaan Belanda kan begitu. Rakyat terus diperas. Tapi kesempatan untuk dididik pada level rendah tetap harus dibuka. Kalaupun harus di upgrade ke tingkat lebih tinggi, ya disekolahkan ke Belanda. Supaya ideologinya jadi sama. Orde Baru juga begitu. Sekolahkan orang-orang ke Amerika. Lalu pulangnya mulai menerapkan kebijakan-kebijakan ekonomi seperti sengaja disiapkan untuk gagal dan menggagalkan sebuah negara (“Confessions of an Economic Hit Man”, John Perkins, Berrets-Koehler Publisher, 2004). Kelihatannya, teori-teori ekonomi inilah yang masih kita kunyah di ruang-ruang kuliah.

Pada akhirnya, setelah 20 tahun selesai dengan studi ekonomi parsialnya (tanpa mengungkap unsur political economy di Indonesia) Duflo pada Senin 14 Oktober 2019 dianugerahi Noble Prize dalam bidang ekonomi. Sementara perekonomian dan kekuasaan orde baru, 25 tahun setelah menginisiasi program infrastruktur SD Inpres yang disebut Profesor dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) ini sebagai terobosan inovatif yang berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat, ambruk!

Akhirul kalam, saya tidak ingin sepenuhnya sinis atas program pemerintah kita dimasa lalu. Apresiasi juga perlu kita berikan kepada Suharto dan Ordenya. Pencanangan program rekonstruksi sekolah secara masal pada akhir Repelita Pertama ini memang membuka akses pendidikan secara menyeluruh dan murah pada anak bangsa. Atas ide unggulannya, pada tahun 2003, lima tahun sebelum dijatuhkan, Pak Harto mendapat Avicenna Medals dari Unesco. Walaupun sebenarnya (“Basic Needs in Indonesia: Economics, Politics and Public Policy”, Syahrir, Institute of Southeast Asian Studies, 1986) program-program pemerataan keadilan ini lahir setelah menyahuti tuntutan pemerataan keadilan oleh gerakan-gerakan sipil kemahasiswaan yang memuncak pada tahun 1974.

Selamat Ms.Duflo. Disertasi anda tentang Schooling and Labor Market Consequences of School Construction in Indonesia (Department of Economics, MIT: May 15, 1999) setidaknya mengingatkan kita kembali akan pentingnya unusual policy experiment to eridicate poverty. Penguasaan kompeni atas sumberdaya alam kelihatannya akan terus berlanjut. Namun kita tetap butuh program-program yang unik dan strategis pada sektor tertentu guna sedikit mendongkrak pendapatan masyarakat yang sedang kita jajah.*****

One thought on “APA YANG DUFLO SEMBUNYIKAN? (Kritik Terhadap Disertasi Peraih Nobel Ekonomi 2019)

  1. Mungkin review anda bagus terhadap Disertasi Duflo. Tetapi anda juga jangan keluar dari konteks. Bahwa disertasi tsb tidak menjamah wilayah politik ataupun masabpenjajahan sebagaimana anda sebutkan (walaupun thesis anda masih dapat didiskusikan kebenarannya). Anda juga menjadi naivev kalau terlalubmenyorot dengan sinis thd pembanguna sekolah berdasarkan inpres tsb. Cobalah berpikir sedikit positif, berapa ribu desa di Indonesia ini yang sejak jaman merdeka dan orde lama belum dapat mendapatkan pendidikan yang layak. Jangankan tingkat pendidikan tinggi diploma atau sarjana, level SD/SMP saja sangat sulit. Argumen saudara mengatakan itu naive dapat anda sampaikan kalau intruksi itu dikeluarkan sekarang. Dimana masa ini pembangunan pendidikan sdh cukup bagus bahkan hingga pendidikan doktoral (PhD).

Comments are closed.

Next Post

SEAKAN-AKAN MELIHAT ALLAH

Fri Oct 18 , 2019
Seakan-akan […]

Kajian Lainnya