ISLAM DAN INOVASI

image: australiannationalreview.com
image: australiannationalreview.com

ISLAM DAN INOVASI
Oleh Said Muniruddin

“Mengapa sedikit sekali orang Islam yang sukses sebagai pengusaha?” Berbagai perangkingan orang-orang terkaya di dunia, seperti laporan FORBES 2016, selalu menempatkan pebisnis-pebisnis non muslim sebagai orang-orang terkaya di dunia (http://www.forbes.com/billionaires/list/). 

Top 10 terkaya muncul nama-nama berikut; beserta nilai bersih kekayaan, nama perusahaan, dan asal negara mereka. Bill Gates ($75 T, Microsoft, USA), Amancio Ortega ($67 T, Zara, Spain), Warren Buffett ($60.8 T, Berkshire Hathaway, USA), Carlos Slim Helu ($50 t, Telecom, Mexico), Jeff Bezos ($45.2 T, Amazon.com, USA), Mark Zuckerberg ($44.6 T, Facebook, USA), Larry Elison ($43.6 T, Oracle, USA), Michael Bloomberg ($40 T, Bl0omberg, USA), Charles Koch ($39.6 T, diversified, USA), David Koch ($39.6 T, diversified, USA). Semuanya non muslim.

Mengapa para pengusaha muslim belum berada dalam daftar orang-orang terkaya dunia? Kemungkinan salah satu jawabannya adalah, karena masih rendahnya budaya inovasi dalam dunia muslim. Inovasi merupakan kata kunci yang membuat sebuah bisnis terus maju dan berkembang dalam dunia yang terus berubah. Berbagai produk inovatif mulai dari yang sederhana sampai kepada yang higtech, diproduksi oleh negara-negara maju yang para pebisnisnya adalah non muslim.

Mengapa orang Islam sekarang tidak begitu inovatif? Salah satu kemungkinan jawabannya adalah, karena keyakinan orang Islam sendiri bahwa agamanya “sudah sempurna”, sehingga lupa untuk terus memperbaiki diri dan masyarakatnya. Pemahaman yang keliru tentang “sempurna” cenderung menghalangi inovasi. Apalagi jika menganggap semua model muamalah sudah lengkap rumusannya dalam kitab-kitab terdahulu. Maka kemampuan berfikir menjadi terbelenggu. Padahal inovasi yang melahirkan berbagai bentuk baru dari produk, sains dan teknologi; akarnya adalah kemerdekaan berfikir. Konon lagi jika cara beragama cenderung kewahabian, maka setiap inovasi dalam kehidupan yang bernuansa religius akan diancam sebagai bid’ah. Maka umat akan terus hidup dalam ketakutan untuk melakukan perubahan, serta melunturkan spirit inovatif dalam proses bisnis.

Selain itu juga ada doktrin agama yang melarang untuk “memperjual belikan agama.” Ini mungkin juga ikut menjadi alasan mengapa lulusan sekolah-sekolah agama seperti dari Pesantren dan IAIN sedikit yang menjadi pebisnis sukses. Doktrin-doktrin seperti ini membuat mereka takut untuk ‘menjual’ ilmu-ilmu agama mereka dalam model-model bisnis yang inovatif. Sebab, dalam bisnis semua bisa “diuangkan.” Tentunya dengan berpedoman pada nilai moral dan etika.

Selanjutnya, agama sejauh ini masih dimengerti secara parsial dengan ritual semacam syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Jihad di bidang pengelolaan sumberdaya ekonomi dan bisnis belum dipahami sebagai bagian dari rukun Islam. Akibatnya, kita terus menjadi orang-orang yang taat beragama, tapi terjajah.

Semua ini masih berupa hipotesa. Perlu kajian lebih dalam. Mungkin ada faktor-faktor non-ideologis lainnya yang menarik untuk kita diskusikan*****

Next Post

BUKAN PERKARA LAPAR

Sun Jun 5 , 2016

Kajian Lainnya

%d bloggers like this: