SUAMI YANG BERSETAN


“Jurnal Tasawuf Akhir Zaman” | PEMUDA SUFI | Artikel No.53 | Juli 2021


SUAMI YANG BERSETAN
Oleh Said Muniruddin | Rector | The Zawiyah for Spiritual Leadership

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Malam itu, semua terlihat sempurna. Pulang dari kantor sudah agak Magrib. Saya mandi. Sholat. Lalu duduk santai, menunggu santap malam.

“Mau coba daging kecap, Bang?”, tanya istri. “Hmmm.. pasti enak sekali. Ayo cepat bawa sini”, jawab saya. Rasa lapar bercampur baur dengan harapan akan kelezatan hidangan. Keluarga dari pihak istri memang rata-rata ahli masak.

“Bak budik!”, gumam saya dalam hati. Ini daging sapi atau ban mobil. Sudah setengah mati saya gigit, kok dagingnya gak putus-putus. Suasana hati yang tadinya ceria, tiba-tiba berubah. Naik tensi darah saya. “Apa ini dek? Apa gak ada yang lebih keras lagi?”, hardik saya. “Iya bang, dagingnya memang keras. Karena irisannya tebal-tebal”, sebutnya. “Kalau dagingnya keras, ya ditumbuk-tumbuk dikitlah biar hancur!!”, Saya mengomel. Marah.

Istri mengambil daging yang tersisa. Membawanya ke dapur untuk di tumbuk dan di goreng ulang. Sementara itu, saya menghabiskan nasi yang tersisa dengan rasa kesal. Selesai makan, tanpa menunggu daging tuntas di oleh kembali, saya berangkat pergi. Bahkan lupa minum. “Kok bisa masakannya kacau begitu”, saya bergumam.

Terasa betul, saat itu, suhu mata saya agak panas. Temperatur tubuh juga agak mendidih. Rasionalitas menurun drastis. Yang hidup hanya emosi. Di tengah jalan, tiba-tiba saya tercengang. Lalu berteriak sendiri dalam mobil: “ASTAGHFIRULLAH”.

Saya baru menyadari, ternyata tadi sedang kena serangan setan. Sebab musababnya begitu sepele. Daging sedikit keras, lalu jadi masalah. Temperamen berubah. Istri pun kena marah. Padahal ia sudah susah payah memasak. Kalau kita nasehati baik-baik sambil lucu-lucuan, sebenarnya kan bisa. Tapi tidak. Setan sudah keburu menguasai “aliran darah”. Sehingga tensi saya menjadi tinggi. “Pandai setan itu”, kata GURU.

Sebenarnya sudah jarang saya mengalami hal-hal seperti itu. Tapi malam itu, setan berhasil masuk. Saya beristighfar tak putus sepanjang jalan. Sambil menertawai diri saya sendiri: “bodoh kali aku”. Saya telpon istri dan meminta maaf. “Tadi itu bukan Abang dek. Tapi setan Abang”, sedikit berapologi.

***

Saudara-saudara, keributan dalam rumah tangga, itu semua kerjaan setan. Hawa panas setan masuk dalam “aliran darah” suami. Mulailah ia melihat berbagai kelemahan dalam diri istri. Bahkan salahpun dicari-cari. Lalu berujung ribut. Melempar dan memukuli istri. Sampai terjadi perceraian.

Si istri pun demikian. Banyak juga yang bersetan. Selalu melihat suaminya dengan rasa curiga. Cemburu dan was-was. Bahkan suka marah-marah. Kalau lagi di rumah, si suami bisa merasa seperti sedang dibenam di kerak neraka. Istri yang cantik berubah rasa jadi nenek lampir. Bahasanya kasar penuh sindiran. Ribut di rumah bahkan di up-datenya ke status WA, facebook, instagram.

Hidup tidak selalu sempurna. Selalu ada celah kurang dan salah. Baik pada diri istri maupun suami. Disinilah setan bermain. Dia menggiring emosi kita untuk bertengkar. Kalau salah memang harus saling mengingatkan. Tetapi dengan cara beradab. Kalau salah cara, malah bisa menyinggung perasaan pasangan. Cara-cara mendidik yang tidak beradab juga bagian dari kerjanya setan. Halus cara main kawan itu.

Betapa banyak kekerasaan terjadi dalam rumah tangga (KDRT). Itu semua ulah setan. Kan sudah dikatakan oleh Nabi, salah satu kerjanya setan adalah merusak rumah tangga orang.

Pokoknya begini. Sederhana saja. Kalau tiba-tiba anda marah dengan istri (suami), kemungkinan besar anda sedang berubah jadi setan. Sesekali memang terjadi. Normal itu. Tapi, kalau makin sering anda marah dan gondok dengan istri (suami), makin permanen anda jadi setan. Apalagi kalau dikombinasikan dengan alkohol dan sabu-sabu, jadi setan betulan anda. Pada level pemarah ini, berlaku pepatah: “barang siapa mengenal dirinya, maka dia akan mengenal setan”. Karena, dirinya itulah setan.

Berbeda dengan mereka yang “aliran darahnya” sudah netral dari pengaruh setan, berlaku hadis: “barang siapa mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhan”. Pada diri orang-orang yang sudah mampu mengendalikan diri, aura ketuhanan sangat kentara. Sifatnya penuh kasih sayang. Toleran. Melihat perbedaan sebagai Rahmat Tuhan.

***

Saudara-saudara sekalian, setan tidak hanya menyasar rumah tangga. Ia juga menyasar masjid dan forum-forum pengajian. Masuk ke darah ustadz dan ulama. Maka kita melihat banyak agamawan yang mainstream dakwahnya hanya melihat salah pada diri saudaranya. Salah menurut perspektif dan riwayat yang ia miliki. Tanpa mau tau riwayat yang orang lain juga punya. Lalu kerjanya marah-marah. Memaki-maki pada setiap tausiyah. Ini haram. Itu haram. Ini bid’ah. Itu bid’ah. Ini musyrik. Itu musyrik. Itu saja kerjanya. Setan itu. Halus kerjanya.

Saya juga melihat betapa banyak kawan-kawan kami yang tidak pernah tinggal sholat. Rajin betul mengaji. Tapi ya itu. Hidupnya tidak tenang. Hobinya nyindir orang terus. Kritis betul. Apa yang ia lihat salah semua. Saya khawatir, makin banyak beribadah, makin bersetan kita. Karena usaha sungguh-sungguh untuk menyucikan jiwa tidak ada.

Saya juga seperti itu. Pernah suatu ketika, derajat setan dalam diri saya begitu tinggi. Faktor usia, beban hidup dan pekerjaan membuat kita semakin bersetan. Begitu pulang ke rumah, terjadi perselisihan dengan istri dan anak-anak. Bahkan pada hal-hal sepele.

Sampai suatu saat pada April 2018 saya pergi ke suatu tempat yang dipenuhi malaikat. Disana saya mengalami suatu bentuk “kematian”. Sesampai di rumah, istri terkejut. Katanya saya kok sudah baik sekali. Kemampuan ridha terhadap istri sudah sangat besar. Saya sendiri juga merasa aneh. Kok semakin adem perasaan saya dengan istri.

Ternyata benar kata Guru. Sebuah bentuk “kematian” yang kita tempuh dalam proses sufistik, bisa berpengaruh signifikan terhadap peningkatan kualitas kebahagiaan dalam rumah tangga. Saya juga melihat banyak teman yang rumah tangganya amburadul, setelah menjalani “kematian” serupa, hubungan mereka menjadi sangat intim. Begitulah. “Kematian iradhi” dalam prosesi irfani, ketika dibimbing oleh seorang Guru yang membawa pancaran Nur Ilahi, mampu mematikan iblis paling kasar dalam diri kita.

Namun iblis dan setan dalam diri kita bukan hanya satu. Ada banyak sekali. Itu semua hijab dalam mencapai Tuhan sebagai sumber kebahagiaan abadi. Untuk itulah diperlukan proses penyucian terus menerus, sampai kita benar-benar sampai pada maqam ridha dan diridhai. Maqam pencerahan ruhani. Maqam para nabi dan wali-wali. Maqam orang-orang yang membawa rahmat dan kebahagiaan, bukan musibah dan penderitaan, bagi orang lain.

Saya bukan orang suci. Justru kapasitas spiritual saya masih rendah sekali. Buktinya, malam itu, setan yang dulu pernah menemani hari-hari saya (sehingga mudah tersinggung), balik lagi. Kita mesti terus mensucikan diri, agar tidak menjadi wadah bagi setan. Tidak menjadi sumber kekacauan bagi semesta. Tapi ada satu hal yang pasti, tanpa pertolongan Allah, kita tidak akan pernah mampu menghadapi makhluk yang sangat cerdas ini!

***

Sehari kemudian istri mengklarifikasi: “Bang, daging yang keras semalam itu bukan adek yang masak. Tapi orang lain”. ASTAGHFIRULLAH.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

💥 powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Zawiyah for Spiritual Leadership
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web: saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG: @saidmuniruddin

Next Post

MENUHANKAN ALLAH: SEKEDAR TAU NAMA, ATAU HARUS TERHUBUNG DENGAN-NYA?

Sun Aug 1 , 2021
“Jurnal […]

Kajian Lainnya