“KON LON”


Jurnal Pemuda Sufi” | Artikel No. 31 | Mei 2022


KON LON”
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. “Kon Lon”. Itu bahasa Aceh. Bahasa Inggrisnya: “Not Me” (bukan saya). Sebuah penyakit halus. Endemi yang biasanya menyerang orang-orang besar (intelektual/ulama/politisi).

Kenapa disebut “penyakit halus”?

Karena, ketika seseorang menggunakan bahasa ini, seolah-olah sikapnya “merendah”. Padahal, itu bentuk “sombong” yang dibungkus baju spiritual. Setan yang tawadhuk.

“Meu’ah beh.. nyoe kon lon peugah droe hebat that, jalan di gampong droe neuh, meunye hana peng aspirasi lon, trok an jinoe hana lheuh lom”. Itu contoh “Not Me”.

“Meu’ah.. nyoe kon lon peuhayeu-hayeu droe beh, meunye masalah jak beut, lon ka tamat sampoe glah sikureung”. Itu contoh lain “Not Me”.

“Bukan menyombongkan diri ya, kampus ini, pada masa saya lah berhasil memperoleh akreditasi A”. Itu bentuk “Not Me” lain.

“Bukan ingin mengatakan Abang hebat kali ya? Tapi, masa Abang dulu dek, organisasi kita ini bisa Abang buat disegani dimana-mana”. Bagian dari “Not Me” juga.

Ada 1001 macam “Not Me”. Termasuk seperti disampaikan Guru kita. Bahwa ada diantara manusia yang merasa rendah hati, merasa bukan siapa-siapa. Tapi, manakala tidak disebut al-mukarram, lupa dipanggil sebagai kharismatik, atau lupa dibubuhi titel profesor doktor dan haji; marah dia. Itu juga ragam dari “Not Me”. Banyak cara untuk berlaku ‘ujub. Termasuk dengan cara “merendahkan diri”. Rendah hati, tanpa unsur Allah (ikhlas), itu sombong (ego).

Jadi, bentuk “ego” (aku) tidak hanya muncul dalam bentuk direct “Lon” (Me): “cuma saya yang berkualitas, sayalah yang telah meluluskan kalian, sayalah yang pertama mengatakan ini, saya.. saya.. saya..”.

Itu contoh direct ego. Polanya masih kasar. Bagi yang profesional, kesombongan sering diperhalus dalam bentuk indirect “Kon Lon” (Not Me). Banyak orang merasa merendah, padahal itu akal-akalan, tipuan setan. Setan tidak hanya bisa berbuat keburukan, tapi juga mampu mereplika hal-hal baik.

Ulama terdahulu bahkan ada yang sampai menghilangkan/menyembunyikan nama saat menulis sebuah risalah. Hanya untuk menekan sifat sombong yang mungkin muncul dalam berkarya. Sekarang, tanpa ada nama, sulit kita menulis. Karena memang untuk mencari kum dan nama.  Namun tidak semua tulisan tanpa nama itu bagus. Banyak tulisan yang sifatnya provokatif/hoaks justru dengan sengaja menghilangkan namanya.

Tanpa mengenal Tuhan, dimensi “aku” (baik dalam bentuk “Me” ataupun pola lebih halus “Not Me”) akan selalu muncul.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

💥 powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN
The Zawiyah for Spiritual Leadership
YouTube: https://www.youtube.com/c/SaidMuniruddin
Web:
 saidmuniruddin.com
fb: http://www.facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter & IG@saidmuniruddin

Next Post

SUDAH 1400 TAHUN, AGAMA HARUS DI UPGRADE

Thu May 19 , 2022
“Jurnal […]

Kajian Lainnya