NILAI ISLAM HANYA “2T”

image: “inna akramakum ‘indallahi atqakum” (deviantart.com)

Nilai Islam hanya “2T” 
Oleh Said Muniruddin

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Ada sedikit mukaddimah untuk memahami pernyataan “Islam itu hanya bernilai 2T”. Ini terkait teori manusia sebagai makhluk sosial sekaligus makhluk individual. Sebagaimana tersebut dalam QS. Al-Hujurat 13:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al-Hujurat: 13). 

Pertama, kita dijadikan Allah “berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling kenal-mengenal.” awal ayat ini menjelaskan kita semua sebagai makhluk sosial. Sebab, “kenal mengenal” merupakan bentuk kesalehan sosial (social capital) yang paling dibutuhkan dalam semua bentuk pembangunan. Persaudaraan universal, toleransi, dan demokrasi terbangun dari aspek saling memahami perbedaan. Kita tidak dituntut untuk sama. Kita hanya dituntut untuk punya kesepahaman. Pada dimensi ini kita harus rajin membangun komunikasi, silaturahmi dan kerjasama dengan semua.

Salah satu tantangan terberat yang dihadapi Nabi SAW dalam membangun entitas “ummah” adalah menyatukan pertikaian antar suku. Masing-masing merasa diri paling benar. Saling serang. Tantangan yang sama masih kita hadapi sampai sekarang. Suku Sunni bertikai dengan suku Syiah. Suku dayah bertikai dengan suku universitas. Suku Prabowo bertikai dengan suku Jokowi, dan seterusnya. Kita masih terus membutuhkan makhluk-makhluk sosial yang mewarisi sifat-sifat kenabian untuk menundukkan dimensi “aku” pada diri setiap manusia sehingga tercipta kedamaian di dunia. Sumber kekacauan dalam masyarakat adalah “ego” (aku).

Disatu sisi, kita semua sebagai pribadi terlahir dengan ego. Dengan ego kita bersaing dan maju. Ego merupakan dimensi “individualitas” yang membuat seseorang memiliki sifat merdeka dan bebas memilih. Ego adalah kenyataan primer, hak asasi pertama dan terakhir bagi kemanusiaan. Kita masuk syurga atau neraka, misalnya, bukan karena kehendak Allah. Tapi karena pilihan kita sendiri. Allah tidak pernah bisa disalahkan. Karena kita sebagai “wakil-Nya di bumi” telah diberikan sebuah kekuatan alamiah untuk “berkehendak” (ego atau free-will) sesuai kepentingan masing-masing.

Namun, ketika kehendak “diri” kita tidak selaras dengan kehendak Allah, terjadilah anarkhi. Jika semua individu memajangkan egonya, sudah pasti terjadi benturan di alam dan masyarakat. Sehingga kita butuh sesuatu untuk mengontrol “ego.” Sesuatu itu adalah aturan dan etika. Baik berupa hukum-hukum syari’ah (Qur’an), maupun norma-norma yang dimensi rasional dan spiritual untuk membangun etika sosial.

Sekilas kita mengira dengan “ego”-lah kita menjadi manusia (yang bebas). Padahal ego juga bisa memenjarakan kita. Ego punya potensi syaithaniyyah, sering disebut sebagai “syaitan” dalam diri (QS. ). Itulah ego yang tidak terkendali. Ego yang akan memakan manusia lainnya. Dan ini sama halnya dengan akal. Disatu sisi, ia memberi kita kekuatan untuk berfikir. Dengan itu kita menjadi manusia. Namun lagi-lagi, fikiran tidak punya batas. Kita akan dibuat lelah olehnya. Demikian juga dengan ego (kebebasan). Sebebas-bebasnya orang berkeliaran, ia tetap ingin damai dalam sebuah lingkaran yang terbatas (bisa jadi itu rumahnya, keluarganya, kampungnya, dan sebagainya).

Makanya, sebaik-baik manusia adalah yang “ego”-nya sudah mendapat rahmat dari Allah (QS. Yusuf: 53). Inilah bentuk spiritualitas yang dibangun Yusuf as terhadap dirinya. Kita mengenal ia sebagai sosok pemimpin, punya jabatan yang tinggi dalam kerajaan. Ia memiliki sensitifitas sosial yang tinggi. Dialah yang membuat perencanaan dan mengelola negeri sehingga Mesir terhindar dari krisis pangan. Dia makhluk yang sangat sosial. Namun disisi lain, ia merupakan individu yang berhasil “memenjarakan” diri (ego)-nya. Sehingga egonya senantiasa dalam ridha Allah:

وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan aku tidak membebaskan ‘diriku’ (nafs/ego), karena sesungguhnya ‘diri’ (nafsu/ego) itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang” (QS. Yusuf: 53).

Inilah jenis manusia kedua yang disebut pada penghujung Al-Hujurat 13, makhluk yang memiliki kesalehan individual (bertaqwa). Jadi, selain menekankan arti penting dari kesalehan sosial (kenal mengenal antar sesama), Al-Hujurat 13 juga menegaskan urgency akan kesalehan individual (ketaqwaan personal). “Yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah yang paling bertaqwa”

Taqwa adalah kemampuan personal untuk merasakan kehadiran Allah (omnipresent). Dimensinya sangat personal karena bersifat “rasa”. Orang-orang yang sudah punya kemampuan “merasakan” kehadiran Allah disebut sebagai orang-orang memiliki kemuliaan atau “karamah” (dalam ayat disebut dengan akramakum). Yang paling mulia diantara kamu disisi-Ku adalah yang bisa merasakan kehadiran-Ku. Dalam agama, kemampuan merasakan ini terjadi karena sudah “taqarrub” (dekat dengan Allah). Tentunya sebagaimana yang dialami Yusuf as, hanya pada saat sudah dekat dengan Allah kita baru bisa mengkonfirmasikan ego kita agar sesuai dengan Kehendaknya. Secara batiniah kita diberi petunjuk mana yang boleh dan mana yang tidak boleh.

Saya menemukan metode tazkiyatun nafs untuk mensinergikan “ego pribadi” dengan “kehendak Allah” dalam tarekat. Tentu saya masih sangat jauh dari sempurna. Juga masih jauh sekali dari Allah. Dan tentu tidak ragu sedikitpun kalau saya menyebut diri saya sebagai murid paling bodoh. Belum seujung kukupun ilmu yang maha luas ini saya ketahui. Namun atas bimbingan Mursyid, disinilah kami mulai memahami dan merasakan sendiri, ternyata kita masih bisa terkoneksi “langsung” dengan Allah. Setiap kehendak (ego) kita bisa dikonfirmasikan kepada Allah SWT. Dalam tasawuf, pengalaman ini juga disebut sebagai muraqabah. Melalui sebuah sinyal rahasia (ilham) kita bisa mengetahui apakah Allah memberi kita izin (rahmat) untuk melakukan sesuatu atau tidak. Seperti dijelaskan dalam surah Yusuf 53 di atas.

Sulit menjelaskan pengalaman ruhani ini secara lebih rinci. Selain khawatir menjadi bahan diskusi negatif bagi yang awam, hal-hal seperti ini hanya patut untuk anda rasakan sendiri (jika anda bersedia menempuh riyadhah ruhani yang sama seperti yang dilakukan para nabi dan orang-orang shaleh lainnya).

Kesimpulan. Surah Al-Hujurat 13 menekankan arti penting kita sebagai manusia. Kita diciptakan dengan harapan memiliki dua kesalehan: sosial dan individual. Secara sosial kita harus menyatu dengan berbagai keragaman masyarakat dan bangsa (ta’aruf). Sementara secara individual, kita harus “menyatu” dengan Allah SWT (taqwa). Inilah maksud saya “Islam itu hanya bernilai 2T: Ta’aruf dan Taqwa.” Pada keduanya terkandung totalitas keislaman kita, hablumminannas dan hablumminallah.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

Next Post

ULAR JINAK

Sat Nov 3 , 2018
ULAR […]

Kajian Lainnya